Tradisi Megalitik di Bali

0
11922
Tahta Batu di Pura Batur Kalembang, Tabanan

Penelitian terhadap tradisi megalitik di daerah Bali hingga sekarang belum dilakukan secara tuntas, sehingga pengetahuan mengenai tradisi megalitik di Bali terbatas. Penelitian dimulai dengan ditemukannya beberapa buah sarkofagus yang sudah tidak lengkap lagi, karena ada yang dirusak sengaja oleh masyarakat karena tidak mengetahui apa benda aneh tersebut dan ada juga dirusak secara tidak sengaja. Lokasi temuan tersebut berada di Manuabe (Gianyar), Petang (Badung), Susut (Bangli), dan Beng (Gianyar). Temuan beberapa buah sarkofagus pernah ditulis oleh P. de Kat Angelino (1921), E. Evertsen (1925),  P. A. J. Mooijen (1928), V. E. Korn (1928), P. V. van Stein Callenfels (1930), dan H. R. van Heekeren yang terutama memberikan data penelitian tentang penemuan atau penyelidikan terhadap sarkofagus (Heekeren, 1958: 54-56). Penelitian terhadap sarkofagus yang telah ditemukan, berhasil menyusun tipologi sarkofagus Bali menjadi dua tipe yaitu sarkofagus berukuran kecil dan sarkofagus berukuran besar. Di antara temuan sarkofagus, ada yang berisi tonjolan pada sisi samping, depan ataupun belakang (Sutaba, 1980: 25-27).

Setelah tahun 1960, penemuan sarkofagus semakin bertambah banyak, ditemukan tersebar hampir di seluruh Bali antara lain Kabupaten Gianyar di Desa Mas, Tegalalang; Kabupaten Klungkung di Desa Bajing, Sengguan; Kabupaten Bangli di Desa Tamanbali, Bunutin; Kabupaten Karangasem di Desa Nongan; Kabupaten Buleleng di Desa Poh Asem, Tigawangsa; Kabupaten Jembrana di Desa Pangkungliplip, Ambyarsari; Kabupaten Tabanan di Desa Pujungan, dan Kabupaten Badung di Desa Petang, dan Plaga. Pada waktu itu sebanyak 87 buah sarkofagus berhasil dikumpulkan, baik yang lengkap maupun yang fragmentaris. Di antara temuan itu, ada yang berisi bekal kubur yaitu gelang perunggu, tajak perunggu, dan manik-manik. Banyaknya temuan yang masih memiliki masalah yang perlu dikaji, yaitu masalah-masalah tipologi, difusi, dan latar belakang adat penguburan dengan sarkofagus. Dengan penelitian yang seksama, R. P. Soejono (1977: 30-169; 246-270) telah berhasil memecahkan masalah-masalah di atas.

Secara tipologis, Soejono telah mengklasifikasikan sarkofagus Bali kedalam tiga tipe yaitu sarkofagus yang berukuran besar, madya, dan kecil. Mengenai pendiri sarkofagus diduga, bahwa adat penguburan dengan sarkofagus ini dibawa oleh pendatang dari Asia Tenggara yang datang ke Indonesia melalui pelayaran samudera. Lebih jauh dikatakannya, bahwa penguburan dengan sarkofagus adalah suatu penghormatan kepada nenek moyang yang sudah meninggal dunia. Pola hias kedok muka atau muka manusia telah dipahatkan pada tonjolan beberapa buah sarkofagus tertentu. Tonjolan-tonjolan yang berhias kedok muka ini, tidak semata-mata hanya berfungsi dekoratif atau estetis, tetapi juga berfungsi magis-simbolis sebagai lambang yang dipandang mempunyai kekutan gaib, yang mampu melindungi arwah orang yang meninggal, dan dikuburkan dalam sarkofagus itu. Kecuali yang berhias kedok, ada juga tonjolan yang berbentuk geometris, yang diduga berfungsi praktis yaitu untuk mengikatkan tali pada waktu sarkofagus itu diangkut ke tempat pemakaman. Kemungkinan ini tampaknya tidak terlalu meyakinkan, karena tidak sebanding dengan besarnya sarkofagus itu, terutama yang tergolong tipe besar, dan madya (Soejono, 1977: 79-169; 246-270).

Sarkofagus Abiansari
Sarkofagus Abiansari

Selain temuan sarkofagus, seorang ahli antropologi budaya yaitu Miguel Covarrubias, juga melakukan penelitian di desa-desa pegunungan bagian barat Kintamani (Bali) memberitakan adanya bentuk-bentuk megalitik seperti arca batu, bangunan teras berundak berbentuk piramida di Desa Selulung, Batukaang, dan Catur. Dikatakannya, bahwa bentuk-bentuk megalitik di atas menunjukkan ciri Indonesia asli (purely Indonesian in character). Di samping itu juga disebutkan adanya bangunan berundak berbentuk piramida di Desa Batukandik (Nusa Penida, Klungkung), ukiran-ukiran kayu yang aneh (strange carvings in wood), ukiran kepala kerbau di Desa Satra, dan temuan arca di Desa Batukaang, dan Pangajaran (Kintamani). Sehubungan dengan bentuk-bentuk megalitik tersebut di atas, Convarrubias berpendapat, bahwa benda-benda itu mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pemujaan arwah leluhur (Convarrubias, 1972: 27; 167-168).

Penelitian yang dilakukan di desa-desa tersebut di atas, seperti penelitian tradisi megalitik di Kintamani, yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, kemudian dilanjutkan oleh Hadimuljono dan Sutaba. Hadimuljono (1969) meneliti bentuk-bentuk megalitik seperti menhir, sarkofagus, bangunan berundak dan dolmen. Hampir semua temuan ini kecuali sarkofagus hingga sekarang masih berfungsi sakral. Penelitian terhadap unsur-unsur prehistori, terutama yang berasal dari masa perkembangan tradisi megalitik, yang dilakukan oleh Sutaba (1980) yang menemukan hiasan tanduk kerbau di Tugeh Bale Agung di Desa Manikliyu. Penelitian tradisi megalitik di Tenganan Pegringsingan yang dilakukan oleh Soejono, dilanjutkan lagi oleh Darsana dan Sutaba. Sutaba  khusus meneliti tentang kekunaan yang terdapat di Pura Puseh (Sutaba, 1977: 182-192). Penelitian di Tengenan Pegringsingan ini, kemudian dilanjutkan oleh Darsana, terutama terhadap semua pura yang memiliki unsur-unsur tradisi megalitik dan Darsana akhirnya sampai pada pengelompokan sebagai berikut.

  1. Batu Jaran, peninggalan ini berupa monolit yang besar, berbentuk segi empat panjang dan tidak beraturan. Sebagian batu ini tertanam dalam tanah.
  2. Kakidukun, adalah sebuah monolit berbentuk kemaluan (phallus) kuda.
  3. Batutaikik, peninggalan ini berupa monolit, yang besar dan bulat telur, sebagian batu ini masih tertanam dalam tanah.
  4. Batukeben, peninggalan ini berupa tumpukan tiga buah batu besar.
  5. Rambutpule, peninggalan ini berupa onggokan batu-batu, dengan susunan sebuah batu besar sebagai alasnya dan di atasnya terdapat kira-kira sepuluh batu kecil.
  6. Penimbalan, peninggalan ini berupa monolit yang besar dengan bentuk segi empat (Darsana, 1980: 1-11).

Penelitian tradisi megalitik di desa yang tergolong Bali Aga yang telah dilakukan oleh Soejono dilanjutkan lagi oleh Sutaba. Penelitian yang dilakukan di wilayah Sembiran, Buleleng bagian timur, ternyata mempunyai tradisi megalitik yang menarik. Sutaba meneliti 20 buah pura milik desa, dan ternyata 17 buah pura diantaranya mempunyai corak megalitik yang menarik, sedangkan 3 buah pura sisanya tidak memiliki ciri-ciri megalitik. Berdasarkan unsur-unsur megalitik yang ditemukan di sana, Sutaba berhasil mengklasifikasikan pura-pura di Desa Sembiran kedalam 4 kelompok, sebagai berikut.

  1. Pura yang mempunya sebuah batu tegak atau lebih, misalnya Pura Sanghyang Kedulu.
  2. Pura yang berisi batu besar dan kecil, misalnya Pura Dalem, dan Pura Jampurana.
  3. Pura yang berbentuk teras piramida, misalnya Pura Pelisan, dan Pura Janggotan. Bentuk ini mempunyai variasi-variasi yaitu teras piramida yang berisi batu tegak di puncaknya, misalnya Pura Ngudu, Pura Suksuk, dan Pura Sanghyang Tegeh. Bentuk variasi lainnya, ialah teras piramida dengan batu besar dan batu tegak, misalnya Pura Empu.
  4. Pura-pura dalam bentuknya yang lain dan tidak tergolong bentuk-bentuk tersebut di atas, antara lain berbentuk tumpukan batu kali, susunan keping batu yang tidak teratur, misalnya Pura Tegalangin, dan Pura Sang Hyang Sakti. Bentuk ini mempunyai juga variasi misalnya berupa susunan atau tumpukan kepingan batu dengan menhir seperti Pura Pintu (Sutaba, 1985: 12-13).

Sementara itu di Desa Poh Asem, Seririt (Buleleng Barat) ditemukan sebuah batu besar (monolit). Batu tersebut dianggap keramat oleh penduduk setempat. Tidak jauh dari tempat penemuan batu besar (monolit) ditemukan pula sebuah arca primitif yang dibuat dari batu koral dengan ciri-ciri matanya bundar, telinganya panjang, kedua lengan tanpa tangan menyilang di dada, dan bagian atas kepalanya berbentuk bulat gepeng dan juga ditemukan dua buah sarkofagus yang terletak berjejer dengan orientasi ke arah Gunung Batukaru. Berdasarkan kenyataan ini dapat diduga bahwa arca primitif tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan penguburan menggunakan sarkofagus di tempat itu, dan arca primitif di Poh Asem adalah arca nenek moyang pertama yang ditemukan di daerah Bali, yang berkaitan dengan pemujaan arwah nenek moyang (Sutaba, 1980: 27-37).

Temuan lain dari tradisi megalitik yaitu ditemukan di Desa Gelgel (Klungkung). Peninggalan tradisi megalitik yang terdapat di Gelgel telah disinggung sepintas lalu oleh Van der Hoop dan Bernet Kempres pada tahun 1977. Penelitian di Desa Gelgel juga dilakukan oleh Tjokorda Istri Oka yang melakukan penelitian terhadap tahta batu. Dalam penelitian ini, kecuali tahta batu juga ditemukan bentuk megalitik lainnya antara lain, ialah menhir, susunan batu kali, batu silindris, batu yang permukaanya rata, dan halus, batu dakon, arca-menhir, heating batu, dan palung batu. Berdasarkan penelitiannya, Oka sampai kepada simpulan, bahwa Desa Gelgel dapat dianggap sebagai suatu pusat tradisi megalitik yang penting di daerah Bali, dan sebagian besar di antara bentuk-bentuk megalitik di sana masih berfungsi sakral. Simpulan ini diperkuat oleh temuan berbagai bentuk megalitik di desa tetangganya yaitu di Desa Tojan, Kamasan, dan Sampalan antara lain, ialah menhir, tahta batu, lumpang batu, dan batu alam (Oka, 1977: 26-50).

Sejak ditemukannya arca nenek moyang di Desa Poh Asem, dan arca-menhir di Desa Gelgel, berita mengenai temuan arca semacam ini terus berkembang dari desa-desa. Di Desa Depaa, Kubutambahan (Buleleng) secara kebetulan penduduk setempat menemukan dua buah arca bercorak megalitik yang berhubungan erat dengan pemujaan arwah nenek moyang (Sutaba, 1982: 103-118). Temuan lainnya yaitu delapan buah arca megalitik yang disimpan di dalam beberapa buah pura di Desa Paguyangan, Badung (Taro, 1984). Selanjutnya menyusul puluhan arca bercorak megalitik di Pura Besakih di Desa Keramas, Blahbatuh (Gianyar), dan diantaranya ada yang memperlihatkan alat kelamin baik laki-laki maupun wanita. Hingga saat ini temuan di atas masih berfungsi sakral bagi penduduk setempat antara lain berkaitan dengan upacara kematian, yang dapat dianggap sebagai suatu sisa-sisa yang masih hidup dari fungsinya yang lama, walaupun sudah mengalami perubahan atau penyesuaian dengan keadaan setempat. Kecuali itu, arca tersebut di atas juga menjadi media untuk memohon kesembuhan bagi anggota masyarakat yang sedang sakit, dan kesembuhan bagi binatang peliharaan yang sedang sakit. Pura Besakih ini merupakan tempat pemujaan hanya bagi sekelompok keluarga, dan dengan demikian dapat diduga, bahwa arca-arca tersebut di atas adalah lambang nenek moyang yang dihormati (Mahaviranata, 1982: 119-127).

Berkenaan dengan temuan di atas, kenyataan yang amat penting, ialah arca-arca itu masih tetap berfungsi sakral, juga hampir semuanya disimpan di dalam pura-pura tertentu. Tidak jarang terjadi, bahwa temuan di atas bercampur dengan kekunaan yang berasal dari masa meluasnya pengaruh agama Hindu di daerah Bali. Kenyataan ini membuktikan terjadinya suatu kesinambungan kehidupan sosial-budaya, walaupun perubahan atau penyesuaian tidak dapat dihindarkan karena datangnya pengaruh yang baru atau karena kepentingan masyarakat sesuai dengan keadaan. Di lain pihak jumlah arca-arca megalitik yang semakin bertambah, dan mungkin setiap saat akan bertambah lagi, merupakan suatu kumpulan data arkeologis yang penting dalam studi tentang berbagai tradisi megalitik di daerah Bali khususnya, dan Indonesia pada umumnya, untuk melengkapi gambaran tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat megalitik di masa lampau (Sutaba, 2001: 90-91).

Dalam penelitian selanjutnya ternyata, tahta batu tidak hanya ditemukan di Desa Gelgel, dan sekitarnya, tetapi ditemukan juga di tempat lainnya, yaitu di Kabupaten Tabanan. Di desa-desa yang memiliki tahta batu dalam jumlah besar di Desa Rejasa, ditemukan sejumlah tahta batu bertingkat yang terdiri atas beberapa lapis batu, dengan sandaran tangan di sisi sampingnya (kanan dan kiri), dan dengan batu tegak di puncaknya sebagai sandaran (Sumartika, 1985: 30-37).

Tahta batu tersebut di atas berbeda dengan tahta batu di desa-desa yang memiliki sedikit tahta batu, yang pada umumnya terdiri atas sebuah atau lebih batu berdiri sebagai sandaran, dan batu darat (sebuah atau lebih) alas tempat duduk, tanpa sandaran tangan, dan juga tanpa menhir di depannya. Menarik perhatian, ialah nama-nama tahta batu yang amat khas di Bali, misalnya Pelinggih Bhatara Puseh, Bhatara Dalem, Jero Wayan, dan Jero Nyoman, Persimpangan Batu Belig, Tamba Waras, dan Muncak sari. Sistem religi semacam ini mencerminkan kepercayaan kepada kekuatan alam misalnya kekuatan gunung. Kecuali tahta batu, di desa-desa yang kaya akan tahta batu ditemukan juga bentuk-bentuk megalitik lainnya seperti menhir, dan monolit yang dipandang sebagai media pemujaan yang keramat bagi penduduk setempat (Sumartika, 1985: 80-83).

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terhadap tradisi megalitik di daerah Bali hingga dewasa ini seperti diuraikan di atas ternyata di daerah Bali masih dijumpai tradisi megalitik berlanjut yang menonjol, tidak saja menurut perhitungan kuantitatif, tetapi juga berdasarkan perhitungan kualitatif terhadap bentuk-bentuk, dan persebarannya. Berdasarkan simpulan sementara, karena penelitian terhadap tradisi megalitik belum tuntas, maka dapat diduga bahwa unsur-unsur megalitik yang menduduki tempat yang penting di daerah Bali adalah sarkofagus, arca megalitik, dan tahta batu (Sutaba, 1991 dalam Sutaba, 2001: 96).

Di Bali, tradisi pemujaan terhadap roh leluhur masih tetap berlanjut hingga sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa contoh seperti berikut.

  1. Adanya pura yang berciri genealogis, seperti sanggah atau pemrajan, panti, paibon, dan
  2. Pada pelaksanaan Panca Yadnya (lima jenis upacara) ada satu diantaranya yang disebut Pitra Yadnya, yaitu upacara untuk memuja leluhur, antara lain Ngaben dan Memukur. Setelah upacara tersebut selesai dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka atman dipandang suci dan mengambil tempat di sanggah/pemrajan serta dipuja oleh keturunannya masing-masing dalam bentuk sanggah kemulan.
  3. Selanjutnya dalam perkembangan seni arca dan bentuk arsitektur bangunan-bangunan di tempat-tempat keramat masih dapat ditunjukkan ciri-ciri megalitik yang kuat. Bangunan-bangunan tahta batu yang terdapat di Desa Penebel, Sembiran, dan Gelgel dapat dipandang kelanjutan dari pada bangunan teras piramida di masa prasejarah (Ardana, 1974: 18-23).

Berdasarkan laporan-laporan penelitian mengenai unsur-unsur megalitik dari berbagai tempat di daerah Bali, maka dapat ditarik beberapa simpulan mengenai tradisi megalitik di daerah Bali yaitu pada dasarnya tradisi megalitik memiliki bentuk yang sederhana sekali, baik yang belum mendapat pengaruh dari Hinduisme maupun yang sudah mendapat pengaruh dari Hinduisme. Fungsi unsur-unsur megalitik tersebut pada dasarnya memiliki kepercayaan terhadap kekuatan roh leluhur yang dipandang sebagai konsepsi kepercayaan megalitik. Fungsi peninggalan tradisi megalitik berupa tahta batu, menhir dan batu-batu alam masih difungsikan dalam tradisi masyarakat Bali, dan unsur-unsur megalitik itu mempunyai nilai religius-magis sebagai sarana untuk pemujaan terhadap roh leluhur.