Situs Rumah Alm. Ni Nyoman Rai Serimben

0
1002

Secara administrasi rumah Alm. Ni Nyoman Rai Serimben dan Pura Bale Agung termasuk dalam wilayah Dusun Bale Agung, Desa Paket Agung, Kecamatan Buleleng. Area rumah ini berdampingan dengan Pura Bale Agung yang ada di sebelah timurnya. Rumah alm. Ni Nyoman Rai Serimben merupakan salah satu bangunan diantara sekian banyak bangunan yang ada di pekarangan tersebut. Untuk memasuki pekarangan komplek perumahan ini melalui sebuah gapura yang ada  di sisi utara pekarangan. Saat ini komplek perumahan ini dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan sekian banyak bangunan rumah di dalamnya. Salah satunya dikatakan merupakan rumah yang pernah ditempati oleh Ni Nyoman Rai Serimben pada waktu kecil. Bangunan rumah yang dimaksud berada di sisi barat, diapit oleh bangunan lainnya. Saat ini rumah dalam kondisi rusak. Selain keberadaan rumah tersebut, di pekarangan ini juga terdapat gapura, bangunan gedong yang memiliki kriteria cagar budaya. Di sebelah timur pekarangan ini merupakan area Pura Bale Agung yang di dalamnya terdapat bangunan dan struktur yang juga memiliki kriteria cagar budaya.

Mungkin selama ini tidak banyak yang mengupas sosok Ni Nyoman Rai Serimben. Padahal perempuan ini secara tak langsung memiliki andil dalam berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ya, Serimben, yang merupakan perempuan kelahiran Lingkungan Bale Agung, Kelurahan Paket Agung, Buleleng itu, adalah ibu kandung dari Ir. Soekarno, sang proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia. Tak mudah melacak kisah kehidupan Rai Serimben di Bale Agung. Minimnya catatan sejarah, menyebabkan sosok Rai Serimben kurang begitu dikenal. Namanya baru dikenal dan banyak muncul dalam catatan media-media di Indonesia, setelah Soekarno menduduki kursi kepresidenan. Sebelum itu praktis tidak ada catatan yang muncul.

Saat ini ada dua orang penutur yang juga tokoh di Lingkungan Bale Agung, yang paham betul dengan kisah hidup Rai Serimben. Mereka adalah Gede Pastika dan Made Hardika. Keduanya mempertahankan cerita yang berasal dari tutur pendahulunya. Keduanya mempertahankan cerita itu dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan sederhana, termasuk dalam bentuk rekaman suara.

Tak ada data sahih soal kelahiran Nyoman Rai Serimben. Namun dia diperkirakan lahir pada tahun 1881 silam. Serimben berasal dari keluarga rohaniawan yang mengurus masalah keagamaan dan adat istiadat di Pura Bale Agung. Ayahnya, I Nyoman Pasek adalah pemangku di Pura Bale Agung. Sementara ibunya, Ni Made Liran adalah wanita Bali yang mengurus masalah upakara dan upacara di Pura Bale Agung. Dari pasangan I Nyoman Pasek dan Ni Made Liran, lahirlah I Made Pasek dan Nyoman Rai Serimben. Tidak banyak yang tahu bahwa Serimben lahir dari keluarga yang bisa dikatakan broken home. Ayahnya memiliki istri kedua yang bernama Ni Sukenyeri.

Ni Sukenyeri dan Ni Made Liran sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan, karena memang pada saat itu perkawinan di perbekelan (istilah desa pada zaman tersebut) Bale Agung hanya berlangsung antar kerabat saja. Karena tidak mau dimadu, Ni Made Liran memilih pulang ke rumahnya semasa gadis. Antara rumah Ni Made Liran semasa gadis dengan semasa menikah dengan I Nyoman Pasek, jaraknya tak sampai 40 meter. Dari cerita turun temurun, menurut Hardika, Serimben tinggal bersama ayahnya I Nyoman Pasek, hingga usia lima tahun saja. Selebihnya ia tinggal bersama ibunya di rumah semasa gadis. Begitu ibunya mangkat, Serimben diasuh oleh Ni Ketut Nesa yang tak lain adik dari Ni Made Liran.

Sejak usia lima tahun hingga akhirnya menikah dengan Raden Soekemi Sosrodiharjo, Nyoman Rai Serimben diasuh oleh Ni Ketut Nesa. Semasa remaja, Nyoman Rai Serimben lebih banyak beraktivitas di Lingkungan Bale Agung. Serimben tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Karena berasal dari keluarga pemuka agama, Serimben juga banyak bersentuhan dengan kegiatan adat dan keagamaan. Ia diketahui bergabung dengan pesaren atau Sekaa Truni pada masa itu. Tugasnya di pesaren adalah menarikan tari rejang yang sakral setiap kali piodalan di Pura Bale Agung. Selain itu ia juga lebih banyak menenun membuat kain songket atau kain endek.

Singkat cerita Nyoman Rai Serimben bertemu dengan Raden Soekeni Sosrodiharjo pada tahun 1890-an. Raden Soekeni yang saat itu ditugaskan sebagai guru di Sekolah Rakyat (SR) 1 Singaraja – kini SDN 1 Paket Agung – oleh pemerintahan kolonial, jatuh cinta pada Serimben saat melihat Serimben menari rejang di Pura Bale Agung, tepat saat umanis galungan. Soekeni yang memiliki darah biru dari Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga sudah sering melihat Serimben saat menenun. Keduanya kemudian kawin lari. Kawin lari adalah hal yang sangat ditentang oleh penglingsir di Bale Agung. Pernikahan itu dianggap melanggar tradisi yang ada, karena di Bale Agung, wanita tak boleh dipersunting pihak luar.

Pernikahan itu pun menyebabkan Raden Sukemi harus menjalani persidangan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menganggap Sukemi menyebabkan kegaduhan di masyarakat, kegelisahan para tokoh, dan kekacauan pada sistem tatanan adat di Bale Agung. Soekeni saat itu dijatuhi sanksi denda sebesar 40 ringgit, karena terbukti menyebabkan kegaduhan. Salah satunya melakukan pernikahan dalam tradisi Jawa, tanpa persetujuan keluarga, atau yang kini dikenal dengan kawin lari. Denda itu akhirnya dibayar Nyoman Rai Serimben dengan perhiasan yang ia miliki. Soekeni dan Serimben akhirnya tinggal di wilayah perbekelan Banjar Paketan, tepatnya di rumah Pan Sedana Mertia. Sejak kawin lari, Serimben pun tak pernah pulang ke rumah gadisnya di perbekelan Bale Agung, meskipun jaraknya tak seberapa jauh. Rumah yang ditinggali Soekeni dan Serimben sempat roboh karena usianya yang sudah terlampau tua. Namun rumah itu kembali dibangun dalam bentuk yang persis sama, hanya bahan bangunannya yang berbeda. Rumah itu kini dimiliki Komang Suma Artana, yang juga Kepala Lingkungan Banjar Paketan. Semasa tinggal di rumah tersebut, Nyoman Rai Serimben melahirkan anak pertamanya, yakni Soekarmini. Raden Soekeni Sosrodiharjo, Nyoman Rai Serimben, dan Soekarmini akhirnya diboyong ke Surabaya pada tahun 1900. Hingga akhirnya ia melahirkan Ir. Soekarno di Jalan Kepandean, dekat Paneleh, Surabaya, pada 6 Juni 1901. Serimben pun tak pernah kembali lagi ke rumah gadisnya hingga mangkat pada Jumat Kliwon, 12 September 1958