Sejarah Desa Sanding, Tampaksiring, Gianyar

0
5211

Berdasarkan keberadaan tinggalan arkeologi berupa sarkofagus yang ditemukan di Dusun Padangsigi, dapat dikatakan wilayah Desa Sanding sudah dihuni oleh manusia pada masa Megalitik. Masa Megalitik merupakan suatu masa yang dicirikan oleh penggunaan bahan atau struktur yang terbuat dari batu-batu besar (megalit) sebagai penciri utama tinggalannya, seperti menhir, dolmen, punden berundak dan sarkofagus. Sarkofagus merupakan peti batu atau keranda mayat yang dibuat dari batu utuh yang diberi tutup, sehingga sarkofagus terdiri dari dua bagian, yaitu bagian wadah dan penutup. Kata sarkofagus berasal dari bahasa Yunani “sarx” yang berarti daging, dan “phagein” yang artinya pemakan. Secara sederhana sarkofagus artinya pemakan daging atau batu pemakan daging. Dari sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalam peti batu tersebut terdapat mayat, mungkin maksud pemakan daging merujuk kepada fungsi peti batu tersebut sebagai tempat penyimpanan jenazah.

Peti batu ini sudah dikenal masyarakat pulau Bali sejak zaman logam  (Perundagian). Hal ini dibuktikan dengan diketemukan benda-benda sebagai bekal kubur di dalam sarkofagus yang kebanyakan terbuat dari perunggu dan logam lainnya. Sarkofagus di Bali pada umunya berukuran antara 80-140 centimeter dan ada juga yang berukuran besar hingga lebih dari 2 meter. Di dalam kubur batu selain jenazah, juga disertakan barang-barang berharga yang disenangi si mati dan juga bekal kubur lainnya yang menjadi bagian tradisi.  Tidak sembarangan orang dikubur dalam sarkofagus, hanya mereka yang mempunyai posisi dan status sosial penting yang dikuburkan menggunakan peti batu tersebut. Hal ini mencerminkan status sosial orang yang dikubur.

Posisi sarkofagus mengarah ke sebuah gunung, karena gunung dipercaya sebagai tempat bersemayam nenek moyang, sehingga diharapkan akan memberi berkah. Menurut kepercayaan masyarakat Bali sarkofagus juga dipercaya memiliki kekuatan magis atau gaib. Sarkofagus memiliki berbagai jenis bentuk dan hiasan yang berbeda. Selain bentuk kotak panjang, ada juga sarkofagus yang memiliki bentuk seperti lesung, perahu, kura-kura, dan berhiaskan kedok muka. Sarkofagus Sanding berbentuk bulat lonjong (oval) dengan hiasan kedok muka.

Kehidupan masyarakat Sanding berlanjut pada masa berikutnya, yaitu pada masa sejarah. Bukti fisik dari masa Hindu Bali dibuktikan dengan keberadaan inskripsi atau tulisan Bali Kuno pada yoni yang tersimpan di Pura Puseh Desa Sanding yang terbaca angka tahun 1312  caka.  Juga berdasarkan atas keberadaan arca yang tersimpan di Pura Masceti yang diperkirakan berasal dari masa Bali Madya (abad XIII-XIV M). Kehidupan masyarakat Sanding berlanjut ke masa Bali Pertengahan, masa pasca penaklukan Bali oleh Majapahit.

Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir di Gelgel, ada seorang tokoh bernama Bujangga Anglayang yang mengungsi ke Sanding. Di Sanding tokoh ini menikah dan berputra seorang laki-laki yang diberi nama Bang Sanding yang selanjutnya akan menggantikan Bujangga Anglayang sebagai dukuh Sanding. Bang Sanding berputra empat orang, yaitu Sang Sanding, Dukuh Mayasan, Dukuh Mawang dan Dukuh Dadapan.

Diceritakan Padukuhan Sanding mendapat serangan dari Raja Gelgel, yang dipimpin oleh Arya Kepakisan, Pasek Gelgel, Arya Kebon Tubuh, Arya Penatih, dll. Untuk menghindari serangan tersebut, semua penduduk Sanding diungsikan ke Camenggawon (Sukawati), ada juga ke Bukit Kunyit (Kulu). Bumi Sanding menjadi kosong hanya anggota pasukan Gelgel yang berjaga-jaga di Sanding.  Pada tahun 1573 C (1651 masehi), terjadilah perang antara Dalem Dimade (Raja Gelgel) dengan I Gusti Agung Maruti. Dalam peperangan tersebut Dalem Dimade mengalami kekalahan. Beliau beserta 2 anaknya (I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe) menyelamatkan diri menuju Guliang. Di daerah Guliang inilah akhirnya Dalem Dimade wafat. Setelah sekian lama di Guliang Dewa Pemayun dan Dewa Jambe berpisah. Dewa Jambe pindah ke Sidemen Karangasem, dan Dewa Pemayun  pindah ke Bukit Tampaksiring. Beliau berputra 3 orang, yaitu Dewa Pemayun Putra (pindah ke Pejeng), Dewa Pemayun Made (pindah ke Blahbatuh) dan Dewa Pemayun Anom (pindah ke Pulagan lalu ke Blimbing sampai akhirnya di Tampaksiring).

Di Tampaksiring Dewa Pemayun Anom meluaskan kekuasaan sampai di sebelah selatan Bukit (di bekas desa yang ditinggalkan oleh para dukuh dahulu) dan Kulub. Di sebuah tempat yang agak tinggi dijadikan tempat kandang kuda, dimana pada zaman belakangan bekas kandang kuda ini dijadikan Pura Masceti. Perluasan kekuasaan ini mengakibatkan perselisihan dengan Dewa Pemayun Putra yang berkuasa di Pejeng. Karena merasa tidak kuat Dewa Pemayun Anom minta perlindungan kepada Raja Gianyar. Untuk melerai pertikaian tersebut, Raja Gianyar, Dewa Manggis  Api, memberikan putra dan keponakannya untuk membuat benteng (wilayah pertahanan) di perbatasan kedua wilayah antara Pejeng dengan Tampaksiring, yaitu di Sanding (di bekas desa yang telah ditinggalkan oleh penduduk Sanding dahulu).

Dewa Pemayun Anom dijaga oleh 4 orang pacek beserta pengiringnya.  Tiga orang pacek berasal dari daerah Bitra dan ditempatkan di benteng timur. Tempat ini selanjutnya dikenal dengan nama Sanding Bitra.  Pacek di sebelah barat Sanding Bitra (tengah) berasal dari Desa Serongga Tengah. Tempat ini selanjutnya disebut Sanding Serongga. Bersamaan itu pacek paling barat didatangkan dari Abianbase. Pasukan ini disebut Sanding Abianbase. Pasukan dari Gianyar tersebut berangkat ke Sanding tahun 1854. Setelah perselisihan antara Tampaksiring dan  Pejeng dapat diatasi, kembali dikirim pacek atas nama Puri Gianyar, yang disebut Sanding Gianyar (Sanding Gede) (Bratha, 2002 : 3-31).