Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda

0
5313

Ditulis oleh Drs. I Made Purna, M.Si

(Sudah dimuat pada buletin Sudamala tahun 2017)


Merujuk terhadap konveksi untuk perlindungan warisan budaya tak benda yang menyatakan bahwa proses globalisasi dan transformasi sosial menyebabkab terjadinya gejala sikap tidak toleran, juga menimbulkan ancaman serius yang dapat mengakibatkan kemerosotan, kepunahan dan kehancuran warisan budaya tak benda. Warisan budaya tak benda yang dimaksud fakam konversi tersebut adalah berbagai reprentasi, ekspresi, pengetahuan keterampilan serta instrument-instrumen, objek, artefak dan lingkungan budaya yang terkait meliputi berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu, perseorangan yang diakui sebagai bagian warisan budaya mereka.

Warisan budaya tak benda wujudnya antara lain : tradisi dan ekspresi lisan, bahasa, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, ritus, perayaan-perayaan, pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam semesta, kemahiran kerajinan tradisional, naskah kuno.

Sistem warisan budaya tak benda ini diwariskan dari generasi ke generasi, secara terus menerus, dicuptakan kembali oleh berbagai komunitas dan kelompok sebagai tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksi mereka dengan alam, serta sejarahnya dan memberikan mereka makna jatidiri dan keberlanjutan unjtuk memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan kreatifitas manusia.

 

  1. Prinsip-Prinsip Dasar Konsep Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda

Kata pelestarian sudah dikenal umum baik dikalangan akademis, birokrat, dan masyarakat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menurunkan tiga arti untuk kata “lestari”: (1) seperti keadaan semula; (2) tidak berubah ; (3) kekal. Ketiga arti kata ini mungkin masih tepat digunakan dalam pemahaman terhadap produksi budaya bersifat fsik (tangible) seperti BCB. Akan tetapi produk budaya yang bersifat tan benda (intangible) seperti dalam bentuk seni dan tradisi (yang lebih menekankan dalam bentuk ide, konsep, norma) ketiga arti tersebut sangat berlawanan dengan sifat seni dan tradisi yang hidup. Bila arti kata lestari itu kita terapkan kepada pelestarian seni maupun tradisi, maka kebudayaan suatu masyarakat akan mendeg, tidak hidup sejajar dengan perkembangan budayanya. Sebab kesenian, maupun tradisi apapun tidak ada tidak mengalami perubahan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menurunkan tiga kata “melestarikan” yaotu : (1) menjadikan (membiarkan) tetap tidak berubah; (2) membiarkan tetap seperti keadaan semula : (3) mempertahankan kelangsungan (hidupnya). Arti yang pertama dan kedua memandegkan kreativitas seni, maupun tradisi. Sedangkan arti yang ketiga masih dapat ditafsirkan bagaimana kreativitas seni maupun tradisi berkiprah untuk melangsungkan hidup suatu jenis kesenian maupun tradisi lainnya.

Bagi masyarakat yang mengartikan pelestarian sebagai usaha dalam membuat sesuatu tidak berubah, seperti keadaan semula, mungkin produk budaya harus seperti keadaan semula. Peninggalan budaya nenek moyang yang berupa fisik (BCB) sajalah yang cocok diperlakukan seperti itu. Misalnya candi, pura, puri, rumah adat, keris, peralatan dari perunggu, atau mas dan perak dan lain sebagainya. Tetapi tidak untuk tari, sastra, musik, tatacara, upacara dan lain sebagainya. Golongan yang kedua ini ada yang memang harus memeng dijaga kelestariannya sedapat mungkin, tetap digunakan sebagai bahan baku karya seni baru. Artinya pelestarian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah membuat sesuatu berkelanjutan.

 

  1. Memahami Konsep Tradisi dalam Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda

Dalam percakapan sehari-hari “tradisi” sering dikatikan dengan pengertian kuna, ataupun dengan sesuatu yang bersifat sebgai warisan nenek moyang. Edward Shils dalam bukunya yang berjudul Tradision (1981) telah membahas pengertian “tradisi” itu secara panjang lebar. Pada intinya ia menunjukkan bahwa hidupnya suatu masyarakat senantiasa didukung oleh tradisi, namun tradisi itu bukanlah sesuatu yang statis.

Kalau kita berbicara tradisi hal-hal yang harus diperhatikan :

  1. Waktu/masa

Arti yang paling dasar dati kata tradisi, yang berasal dari kata trditium adalah sesuatu yang diberikan atau diteruskan dari masa lalu ke masa kini. Dari arti dasar ini dapat dipermasalahkan selanjutnya, seberapa panjangkah waktu/masa yang menjadi satuan untuk melihat penerusan tradisi tersebut. Ternyata panjangnya waktu/masa ini relatif. Satuan masa itu bisa sangat panjang seperti misalnya suatu zaman yang ditandai oleh sistem kepercayaan atau sistem social yang berbeda. Contoh dari satuan yang sangat panjang ini terdapat pada ungkapan seperti: “Penghormatan kepada raja pada jaman Islam di daerah itu untuk sebagian masyarakat masih meneruskan tradisi zaman Hindu-Budha”. Satuan masa itu dapat pula lebih pendek, misalnya meli[uti masa pemerintahan seorang raja, seperti yang dapat dicontohkan oleh ungkapan : “Sultan HB IX mengembangkantradisi tari Yahya dengan menciptakan Beksan Golek Menak sebagai varian tekhnik baru atas dasar tehnik tari Yogya yang telah mantap”

Disamping satuan-satuan masa yang kurang lebih berkaitan dengan kesatuan-kesatuan ppilitis kenegaraaan itu, istilah tradisi juga dapat digunakan untuk satuan yang lebih kecil, seperti angkatan murid dalam suatu sekolah. Contoh penggunaannya dalam ukuran ini adalah ; “Sejak angkatan 1985 tradisi Mapras tidak lagi disertai penggundulan kapan”

  1. Batas wilayah cakupan

Tradisi itu, disamping dapat dibahas dari sudut panjangnya rentang waktu yang diliputinya, juga dapat dilihat dari segi batas-batas wilayah cakupnya. Suatu tradisi dapat dilihat sebagaian mempunyai pusat tertentu, dan dapat pusat itulah ia memancarkan selama proses pemancaran itu dapat terjadi penganekaragaman variasi. Semakin kepinggir semakin banyak perbedaan dengan apa yang terdapat di pusat tradisi. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa jarak antara hal ini perlu diperhatikan bahwa jarak antara pusat dan pinggir itu tidak selalu ditentukan oleh geografis, melainkan juga oleh tingkat sarana komonikasi antara keduanya, baik dalam hal kecepatannya maupun ketepatannya. Dikawasan pinggiran terdapat kemungkinan untuk membaurnya ciri-ciri berbatasan pinggiran. Pembauran antar tradisi di kawasan pinggir (dari dua tradisi berdampingan) itu cenderung bersifat evolusionistik dan tanpa dorongan niat-niat pembaruan secara sadar. Tumbuhnnya tradisi khas perbatasan ini tampak misalnya pada apa yang terdapat di Bali dan Sasak seperti tradisi lisan Cakepung dan sebagainya.

 

  1. Pertemuan tradisi dan pusat tradisi

Berbeda dengan itu adalah pertemuan dua tradisi yang terjadi di pusat. Masuknya suatu pertemuan dua tradisi biasanya terlihat dengan jelas sebagai berhadapan dua tradisi yang berbeda. Apa yang berasal dari luar diterima sebagai suatu warisan baru yang tiba-tiba datang. Masuknya tradisi baru itu mempunyai tiga kemungkinan akibat ; (1) yang baru itu menjadi satu khasanah tambahan disamping yang lama; (2) yang baru itu memberi pengaruh ringan kepada tradisi setempat yang telah mengakar, tanpa mengubah citra dasar tradisi setempat itu ; (3) tradisi baru berpengaruh cukup kuat terhdap tradisi lama dalam bidang yang sama, sehingga menjadi suatu bentuk baru. Contoh kuat yang dirasakan pada masyarakat Bali yaitu sistem pembakaran mayat dari menggunakan kayu api ke teknologi kompor.

  1. Perubahan

Suatu hal yang perlu disadari dalam melihat masalah tradisi ini adalah kenyataan bahwa sesungguhnya dalam rangka perjalanan suatu tradisi senantiasa terjadi perubahan internal. Kalau perubahan itu masih dirasakan berada dalam batas-batas toleransi, maka orang merasa atau beranggapan bahwa tradisi yang ini seharusnya membuka mata untuk mengakui bahwa memelihara tradisi, atau ketakanlah memelihara warisan budaya bangsa pada khususnya, tidak harus berarti membekukannya.

Memahami Konsep Sejarah dalam Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda

Dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lamapau hanya terdapat dalam ingatan orang-orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya komonikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa masa lampau. Proses ini disebut rekontruksi sejarah atau dalam ilmu sejarh disebut dengan Historiografi.

 

Dalam pengelolaan pelestarian sejarah, bukan sejarahnya maupun peristiwanya yang harus dilestarikan. Melainkan nilai-nilai sejarah yang terdapat dalam peristiwa tersebut. Peristiwa sejarah cukup sekali terjadi, akan tetapi nilai-nilai dari peristiwa tersebut akan hidup sepanjang jaman. Hal ini sengat dipengaruhi oleh umat manusia sebagai cermin hidup.

Di dalam pengelolaan pelestarian yang sifatnya tak benda yang diharapkan adalah menghasilkan

  1. Kualitas produk budaya ( bukan jumlah produk budaya)
  2. Konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma
  3. Pencitraan suatu pemikiran dari suatu masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan
  4. Untuk menghasilkan pengelolaan pelestarian yang optimal tentu didasari oleh kajian