PELESTARIAN CAGAR BUDAYA MEMBANGUN KETAHANAN BUDAYA BANGSA

0
2900
Tahta Batu di Pura Batur Kalembang, Tabanan

I Made Sutaba

Indonesia dalam lintasan sejarah

Tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini, bangsa Indonesia  telah melewati masa sejarahnya yang sangat panjang. Perjalanan sejarah ini, terbukti dari temuan penting berupa cagar budaya (cultural heritage), situs arkeologi dan sejarah (archaeological and historical sites) dan lain-lainnya, yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Sumbawa, Sumba, Papua dan lain-lainnya. Penyelidikan arkeologi yang telah dilakukan selama ini menunjukkan, bahwa Indonesia adalah salah satu negeri yang sangat kaya akan cagar budaya yang beraneka ragam, baik bentuk maupun fungsinya. Berdasarkan analisis kuantitatif dan kualitatif, maka cagar budaya ini dapat dianggap sebagai sumberdaya arkeologi (archaeological resources) yang sangat potensial, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga dapat dihitung sebagai warisan budaya bangsa yang tidak ternilai.

Sarkofagus (koleksi BPCB Bali)

Kajian cagar selalu menarik perhatian, baik karena bentuk maupun fungsinya yang sangat variatif atau ada suatu signifikansi yang dikandungnya. Menghadapi keadaan semacam ini, maka para ahli arkeologi telah berhasil menyusun suatu pengelompokkan  cagar budaya  antara lain, ialah berdasarkan bahan-bahannya, yaitu ada yang dibuat dari batu, kayu atau bambu dan logam. Pengelompokkan lainnya, ialah berdasarkan kronologi atau zamannya, yaitu cagar budaya yang berasal dari zaman prasejarah, seperti dolmen, menhir, sarkofagus dan yang berasal dari zaman sejarah adalah prasasti, arca-arca kuno, candi dan lain-lainnya. Selain itu, cagar budaya dapat juga digolongkan tangible (bendawi), yang dapat disaksikan dengan kasat mata, sebagian lagi adalah yang intangible (tidak bendawi), seperti perilaku, sikap masyarakat dan lain-lainnya.

Prasasti Bedulu

Para ahli arkeologi juga mengelompokkan cagar budaya itu sebagai benda-benda moveable (dapat dipindahkan) dan yang immoveable (tidak dapat dipindahkan dari tempat aslinya), karena bentuknya yang sangat monumental atau karena ada pertimbangan lainnya, seperti Candi Borobudur,  Pura Besakih dan lain-lainnya.

Tahta Batu di Pura Batur Kalembang, Tabanan

Cagar budaya masih dapat juga digolongkan berdasarkan fungsinya pada waktu ditemukan oleh para peneliti atau oleh masyarakat setempat di antaranya, adalah cagar budaya yang sudah tidak lagi berfungsi  sakral atau sudah kehilangan fungsinya yang primer (dead monuments), sehingga  menjadi barang-barang profan. Perubahan fungsi cagar budaya semacam ini dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu karena telah terjadi suatu perubahan pandangan masyarakat atau karena umurnya sudah sangat tua dan mungkin masih ada lagi faktor-faktor lainnya. Sebagian lagi ada sejumlah cagar budaya yang masih berfungsi sakral  bagi masyarakat setempat ketika diteliti, bahkan ada yang masih berlanjut sampai sekarang (sacred living monuments), seperti sebagian dari tahta batu yang terdapat di Kabupaten Tabanan dan sejumlah arca nenek moyang di Kabupaten Gianyar. Berkaitan erat sekali dengan penggolongkan cagar budaya seperti dikemukakan di atas, perlu kiranya dicatat di sini, bahwa cagar  budaya itu mempunyai  karakteristik  yang  amat spesifik, yaitu terbatas (finite) dalam jumlah, langka, rapuh, fragmentaris atau tidak pernah lengkap atau utuh dan tidak ada duanya. Dengan mengetahui karakteristik cagar budaya yang serba terbatas seperti disebutkan di atas, maka para ahli arkeologi tentu akan melaksanakan segala tindakan atau kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah  kearkeologian yang lazim berlaku.

Pesan-pesan  sejarah 

Cagar budaya Indonesia sebagai bukti-bukti atau dokumen sejarah tentu mengandung sejumlah pesan-pesan yang pada suatu saat akan merefleksikan  hubungan bangsa kita dengan lingkungan alam di sekitarnya dan juga relasinya dengan kelompok-kelompok  sosial lainnya.  Oleh karena cagar budaya ini  bersifat jamak, maka cagar budaya ini dapat dikaji secara multidisipliner untuk mendapat gambaran yang lebih luas.  Sebagai bagian dari kebudayaan bangsa, cagar budaya ini adalah warisan budaya bangsa yang mengandung nilai-nilai sosial-budaya yang penting. Di samping itu, cagar budaya dapat juga dianggap sebagai akar budaya bangsa (national cultural roots) yang sudah membangun jatidiri bangsa kita yang diwarnai oleh corak lokal atau kearifan  lokal yang khas. Sebagai akar budaya bangsa, cagar budaya  ini tentu  menjadi sangat potensial bagi pembangunan bangsa  kita ke depan.

Kecuali untuk menyusun kembali sejarah bangsa dan membangun jatidiri bangsa seperti dipaparkan di atas, cagar budaya Indonesia mempunyai manfaat  penting yang tidak sedikit dalam menghadapi  pengaruh budaya global, multikultural, pembangunan industri pariwisata (budaya) dan lain-lainnya yang tidak akan pernah berhenti, karena terdapat peluang yang sangat besar untuk memanfaatkan teknologi  informatika yang sangat canggih. Di antara manfaat cagar  budaya yang perlu  dicermati, ialah untuk membangun  kesadaran sejarah bangsa, membangun  budaya sendiri dalam rangkuman bhineka tunggal ika dalam NKRI. Dalam hal ini    pembangunan ketahanan budaya, national and character building seyogianya dilaksanakan oleh Pemerintah secara terencana dan berkelanjutan dengan memberdayakan segenap bangsa melalui segala jalur yang tersedia, seperti pendidikan dan lain-lainnya dan dengan menerapkan berbagai strategi yang dipandang perlu dan berguna.

Pelestarian  cagar  budaya 

Sampai sekarang sebagian dari masyarakat di Tanah Air kita masih  mempertanyakan pelestarian cagar budaya, yang tidak jarang memerlukan  tenaga, biaya, sarana dan waktu yang tidak sedikit. Adapun pertanyaan yang seringkali timbul, ialah mengapa cagar budaya yang sudah tua, yang seringkali disebut juga sebagai barang-barang antik  (antiquities) dan dianggap tidak  relevan  lagi  dengan kehidupan modern dewasa ini,  harus  dilestarikan   dengan susah payah. Pertanyaan semacam  ini,  adalah  suatu gejala sosial  yang wajar dalam masyarakat kita yang sedang berkembang, karena sebagai pemilik dan pewaris cagar budaya mereka  memang berhak untuk bertanya dan berhak juga untuk mendapat jawaban atau penjelasan yang memadai. Sikap semacam ini, mungkin sekali muncul, karena sebagian masyarakat kita tidak  mempunyai pengetahuan, pengertian dan pemahaman tentang cagar budaya. Gejala sosial ini, dapat saja terjadi, mungkin  karena sosialisasi mengenai cagar budaya di Tanah Air belum sampai jauh kepada  masyarakat kita  yang tidak sedikit  jumlahnya dan belum tentu  dapat dicapai dengan mudah, karena faktor-faktor geografis.

Sehubungan  dengan  pertanyaan  di atas, perlu  kiranya dikemukakan di sini, bahwa  pelestarian  cagar  budaya yang selama ini  dilaksanakan  oleh  Pemerintah  kita  sebenarnya tidak hanya bertujuan  untuk  melestarikan fisik atau bangunan sebuah cagar budaya, tetapi juga bertujuan untuk melestarikan lingkungan alam di sekitarnya bersama-sama dengan nilai-nilai sosial-budaya termasuk nilai-nilai sejarah yang dikandungnya.  Selain itu dapat ditambahkan di sini, bahwa pelestarian cagar budaya mencakup pekerjaan yang tidak sedikit dan selain memerlukan dana yang cukup besar, juga tenaga-tenaga yang terdidik dan mempunyai pengalaman kerja yang cukup. Adapun cakupan pelestarian cagar budaya itu, adalah pemeliharaan sehari-hari, perlindungan melalui jalur juridis (formal) (legislagi, atau law enforcement) dan pemugaran  dan  konservasi. Semua kegiatan  ini akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga kearkeologian di Tanah Air bersama masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti  Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan kaidah-kaidah setempat yang berlaku dalam masyarakat kita. Selain  itu semua  kegiatan  di atas akan dilaksanakan   secara  teknis-arkeologis,  artinya  diperlukan suatu kajian yang cermat  secara  teknis dengan  bertumpu kepada kajian arkeologis. Berkaitan dengan  pelestarian cagar budaya ini, perlu kiranya dicatat di sini, bahwa semua Negara di dunia ini melaksanakan  pelestarian  cagar  budaya  miliknya sebagai bukti-bukti sejarah yang sangat berharga  dengan caranya masing-masing. Dalam  hal semacam ini Perserikatan Bangsa-bangsa melalui UNESCO telah malakukan sejumlah besar pelestarian Warisan Budaya Dunia  di berbagai Negara termasuk di Indonesia dan dengan mengeluarkan sebuah konvensi mengenai perlindungan Warisan Budaya Dunia. Sementara itu Pemerintah kita sudah mengeluarkan Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai upaya  memberikan perlindungan hukum kepada cagar budaya kita sebagai bukti sejarah, yang merupakan warisan budaya bangsa yang sangat penting dalam rangka pelestarian dan pemanfaatannya.

Kecuali alasan-alasan atau  pertimbangan di atas, pelestarian cagar budaya kita memang perlu dilaksanakan, karena  kekayaan bangsa  ini  terbukti  tidak  pernah bebas dari segala kemungkinan yang dapat merusak, bahkan dapat  menghancurkannya. Selama ini ada bermaca-macam faktor yang dapat merusak antara lain, ialah umurnya yang  semakin tua, bahan-bahan yang digunakan tidak tahan lama dan  lingkungan  alam dengan iklim yang tidak menentukan merupakan  bahaya yang tidak dapat dianggap ringan. Bencana alam, seperti gunung meletus, banjir, tanah longsor dan tsunami dapat menjadi bencana yang tidak mudah diatasi.  Pencurian dan perdagangan cagar budaya tertentu atau pengerusakan, merupakan bahaya lain yang dapat merusak kelestarian cagar budaya, yang bekerjasama dengan sindikat atau mafia cagar  budaya dengan jaringannya yang sangat luas. Masih ada bahaya  lainnya yang tidak kalah beratnya, ialah  jika  pada  suatu  saat  masyarakat  di sekitar  sebuah cagar budaya  melupakan cagar budaya itu, karena bermacam-macam faktor yang tampaknya rumit, misalnya telah terjadi perubahan dalam  tatanan masyarakat yang sangat  mendasar. Perubahan  semacam  ini  dapat  saja  mengubah  pandangan, sikap atau  perilaku  masyarakat  terhadap  cagar  budaya tadi, sehingga akhirnya   mereka  melupakannya.

Pura Uluwatu

Dalam konteks pelestarian  dan pemanfaatan cagar budaya sebagai  daya  tarik  para wisatawan di Tanah Air ternyata dapat menimbulkan gangguan  yang  cenderung  dapat  merusak  kelestarian  sebuah  cagar  budaya   dan  lingkungannya. Tampaknya industri pariwisata budaya yang berkembang dengan  hegemoninya sudah membuat  pencemaran dengan timbunan sampah yang tidak menentu. Di berbagai  cagar budaya yang sudah laku keras seperti Candi Borobudur telah terdesak oleh Taman Wisata Borobudur dan demikian juga Candi  Prambanan,  sehingga  candinya  sebagai  sumber  kekuatan  daya  tarik  menjadi tersembunyi di belakang bangunan-bangunan Taman Wisata Borobudur  dan  Prambanan. Kejadian  semacam   itu terjadi  juga  di daerah Bali, seperti Pura Tanah Lot menjadi  sesak karena  pembangunan  fasilitas pariwisata, sehingga sulit  untuk mendapatkan celah atau ruang yang nyaman untuk menikmati pesona pura dengan gemuruhnya gelombang samudra. Hal semacam ini  juga  dapat  ditemukan di Pura Uluwatu, Pura Goa Gajah, Candi Tebing Gunung Kawi dan lain-lainnya.

Demikianlah gambaran ringkas mengenai pelestarian cagar  budaya  di  Tanah Air  kita, yang akan kami tutup dengan  suatu  kesimpulan sementara  sebagai berikut, yaitu  (a) pelestarian cagar budaya bangsa menjadi  semakin  penting, karena merupakan bukti-bukti sejarah bangsa yang otentik, yang kelestariannya selalu terancam bencana  kerusakan;  (b)  pelestarian  cagar  budaya, adalah tuntutan sejarah bangsa, karena mengandung  nilai-nilai  sosial-budaya yang merupakan pesan-pesan sejarah yang dapat dijadikan guru sejarah;  dan  (c)  pelestarian cagar budaya bangsa, adalah bagian penting dari pembangunan ketahanan budaya bangsa, karena  pelestarian  cagar  budaya  tidak  hanya  sekedar  melestarikan fisik  bangunannya bersama lingkungan alam di ekitarnya, tetapi  sekaligus  juga  melestarikan nilai-nilai  sosial-budaya  yang  dikandungnya  yang  merupakan  kapital  yang tidak ternilai harganya.

Seiring dengan kesimpulan di atas, maka dapat kami sarankan kepada  Pemerintah (a) supaya  mengerahkan  semua sumberdaya yang dimilikinya  untuk  melestarikan cagar budaya yang merupakan akar budaya bangsa supaya  ke  depan  bangsa  kita tidak  kehilangan  jatidiri di tengah-tengah  pergaulan dunia  yang sangat tidak menentu; (b) memberdayakan seluruh  bangsa  untuk  melestarikan   cagar  budaya   sebagai  kekayaan  bangsa  yang  harus dihormati bersama   dan (c) ke depan  pembangunan  industri pariwisata (budaya)  dengan  segala  fasilitasnya agar  tidak lagi bersifat eksploratif-eksploitatif,  melainkan  lebih  bersikap protektif  dan lebih berbasis budaya dan masyarakat setempat (S-21122015).