Situs Kampung Adat Todo merupakan sebuah situs perkampungan yang terdiri dari beberapa rumah adat khas Manggarai. Kampung Adat Todo berlokasi di Desa Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ciri khas kampung Todo adalah Niang Todo yakni sebuah rumah adat yang menyerupai rumah panggung dengan bentuk bundar, serta beratap ijuk berbentuk kerucut yang diketahui merupakan istana raja Todo terdahulu. Rumah adat ini hampir sama seperti rumah adat Manggarai pada umumnya, beratapkan ijuk yang berbentuk kerucut dengan rangka kayu dan bambu, jika kerucut dibuka maka kerangkanya akan menggambarkan sebuah jaring laba-laba. Rumah adat todo ini diketahui merupakan rumah adat tertua di Kabupaten Manggarai. Selain bangunan rumah adat induk tersebut juga terdapat empat buah bangunan rumah adat lainnya yang menyerupai bangunan induk, hanya saja dengan ukuran yang lebih kecil. Keempat bangunan tersebut merupakan bangunan rumah adat yang baru dibangun untuk melengkapi keberadaan bangunan Induk. Dua buah rumah adat terletak di sisi timur bangunan induk yakni Niang Rato dan Niang Lodok serta dua buah rumah adat di sisi barat bangunan induk yakni Niang Wa/Keka dan Niang Teruk. Sementara pada sisi depan bangunan induk yang lurus dengan compang terdapat bangunan Waruga atau tempat untuk musyawarah (Giri Prayoga dkk, 2019: 15-17).
Adapun salah satu jenis tinggalan yang diduga cagar budaya di Situs Kampung Adat Todo ialah Menhir dan berikut adalah uraian temuan Objek Diduga Cagar Budaya yang terdapat di Situs Kampung Adat Todo:
Menhir I

Merupakan batu tegak berbahan andesit dengan bentuk persegi empat yang berada di atas permukaan compang memiliki ukuran tinggi 83 cm, lebar 29 cm, dan tebal 16 cm. Pada salah satu sisi menhir (sisi depan) terdapat motif menyerupai manusia lengkap dengan kepala (kedok muka), bagian badan serta kaki. Pada masa lalu khususnya masa prasejarah, kedok muka dianggap memiliki kekuatan gaib sebagai pengusir roh-roh jahat atau pengaruh negatif. Sementara, menhir merupakan batu tegak yang difungsikan sebagai penanda dan media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah (tradisi megalitik) yang menyakini bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal masih hidup di dunia arwah dan dapat memengaruhi kehidupan mereka. Kondisi menhir pada ujungnya telah patah, serta dibagian permukaannya telah ditumbuhi biotis berupa lichen.
Menhir II

Menhir ini merupakan batu tegak (andesit) memiliki ukuran tinggi 72 cm, lebar 25 cm dan tebal 10 cm yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah yakni perkembangannya tradisi megalitik terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap roh seseorang yang telah meninggal diyakini tidak hilang, melainkan masih ada di alam lain. Kondisi menhir telah aus dan ditumbuhin biotis berupa lichen dan algae.
Menhir III

Menhir ini merupakan batu (andesit) tegak memiliki ukuran tinggi 93 cm, lebar 16 cm dan panjang 20 cm yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah yakni perkembangannya tradisi megalitik terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal diyakini tidak hilang, melainkan masih ada di alam lain. Permukaan menhir ditumbuhi biotis berupa lichen dan algae.
Menhir IV

Menhir ini merupakan batu (andesit) tegak memiliki ukuran tinggi 56 cm, lebar 20 cm dan tebal 10 cm yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah yakni perkembangannya tradisi megalitik terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang yang telah meninggal diyakini tidak hilang, melainkan masih ada di alam lain. Permukaan menhir ditumbuhi biotis berupa lichen.
Menhir V

Menhir ini merupakan batu (andesit) tegak memiliki ukuran tinggi 45 cm, lebar 23 cm dan tebal 13 cm yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah yakni perkembangannya tradisi megalitik terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang yang telah meninggal diyakini tidak hilang, melainkan masih ada di alam lain. Kondisi permukaan menhir telah aus dan ditumbuhi biotis berupa lichen.
Menhir VI

Menhir ini merupakan batu (andesit) tegak memiliki ukuran tinggi 12 cm, lebar 16 cm dan tebal 7 cm yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah yakni perkembangannya tradisi megalitik terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang yang telah meninggal diyakini tidak hilang, melainkan masih ada di alam lain. Kondisi menhir ditutupi rumput liar, dan bagian permukaan telah aus serta ditumbuhi biotis berupa lichen.
Menhir VII

Menhir ini merupakan batu (andesit) tegak memiliki ukuran tinggi 29 cm, lebar 20 cm dan tebal 10 cm yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah yakni perkembangannya tradisi megalitik terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang yang telah meninggal diyakini tidak hilang, melainkan masih ada di alam lain. Menhir ditutupi rumput liar, kondisi telah aus dan ditumbuhi lichen.
Menhir VIII

Menhir ini merupakan batu tegak memiliki ukuran tinggi 33 cm, lebar 28 cm dan tebal 7 cm yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur pada masa prasejarah yakni perkembangannya tradisi megalitik terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal diyakini tidak hilang, melainkan masih ada di alam lain. Kondisi menhir ditutupi rumput dan ditumbuhi lichen.