Laporan Studi Teknis Arkeologi Di Pura Dalem Padonan, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali

0
4118

Kegiatan Studi Teknis Arkeologi di Pura Dalem Padonan, Buduk, Mengwi, Badung, merupakan rangkaian atau awal dari kegiatan pemugaran yang nantinya akan dilaksanakan terhadap suatu bangunan cagar budaya. Dalam kegiatan Studi Teknis Arkeologi  ini akan dikumpulkan data penting yang nantinya akan menunjang dari pelaksanaan pemugaran, adapun data-data tersebut adalah berupa data sejarah, arkeologi, teknis, lingkungan serta data keterawatan. Data  ini kemudian akan  diolah atau dianalisis menjadi suatu perencanaan pemugaran terhadap bangunan cagar budaya yang terdapat di Pura Dalem Padonan.  Kegiatan Studi Teknis Arkeologi ini dilaksanakan selama 7 hari, dari tanggal 11 Juli sampai dengan tanggal 17 Juli  2013 oleh sebuah tim yang terdiri dari 11 orang.

Dengan susunan tim sebagai berikut :

1 Dra. Ida Ayu Agung Indrayani : Koordinator
2 A.A. Bgs. Warmadewa,SS : Pengumpul Data Sejarah dan Arkeologis
3 Giri Prayoga. ST : Pengumpul Data Lingkungan
4 I Wyn Budi Suartama : Pengumpul data teknis
5 Dewa Made Suastika : Pengumpul data Keterawatan
6 I Gst. Putu Karang Putra : Penggambaran
7 I Made Subrata : Penggambaran
8 I Made Rai Muliawan : Penggambaran
9 A.A. Putera : Pembantu Juru Gambar
10 I Nyoman Dipta : Pembantu Juru Gambar
11 I Made Bawa : Pembantu Juru Gambar

Pura Dalem Padonan secara administrasi terletak di wilayah Banjar Umacandi, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Pura ini dapat dilalui dengan jalan setapak ± 500 m ke arah barat dari jalan raya Banjar Umacandi. Di sekitar pura ini terdapat areal persawahan yang subur dan sungai yang menjadikan Pura Dalem Padonan sangat hening dan sejuk. Secara astronomis berada pada koordinat  296755,18 meter (E) dan  9047769,75 meter(S), dengan basis koordinat UTM zone 50. Wilayah ini merupakan daerah dataran rendah yang memiliki perbedaan ketinggian dengan muka laut mencapai 63 meter. Pura Dalem Padonan secara umum terletak di wilayah dataran yang merupakan dataran bagian selatan Pulau Bali yang membentang dari barat ke timur meliputi wilayah Negara sampai Karangasem. Pura Dalem Padonan terletak cukup dekat dari pusat Kota Denpasar dengan jarak mencapai 20 km. Lokasi Desa Buduk  berada di barat laut dari Kota Denpasar. Pencapaian dari Kota Denpasar dapat memilih jalur utama Denpasar-Gilimanuk, dengan menikung ke arah kiri di pereempatan Rumah Sakit Kapal.

Seperti halnya sebagian besar wilayah Pulau Bali bagian selatan, pertanian merupakan kegiatan yang banyak dilakukan sehingga lahan pertanian masih cukup banyak. Pura Dalem Padonan Desa Buduk memiliki batas-batas yang merupakan lahan pertanian dan lahan perkebunan.

Kondisi geomorfologi wilayah Desa Buduk sebagian besar merupakan wilayah dataran dengan rata-rata kemiringan  mencapai 30 – 90. Kemiringan lahan yang tidak curam ini menyebabkan  persebaran permukiman di wilayah ini memiliki pola konsentris artinya terfokus pada sebuah wilayah, dengan hanya sebagian kecil yang tersebar. Dengan kondisi morfologi yang merupakan dataran, maka proses sedimentasi lebih mendominasi, walaupun di beberapa tempat kemungkinan terjadi erosi cukup tinggi. Batuan dasar di wilayah ini merupakan hasil aktivitas piroklastik Gunung Buyan, Beratan dan Batur, yang terdiri dari lapisan lahar, breksi tuff dan tuff. Tanah di wilayah ini sebagian besar berwarna coklat, yang merupakan indikasi pelapukan dari batuan gunungapi.

Seperti halnya Indonesia pada umumnya Kabupaten Badung mengalami dua musim yaitu musim kemarau dan penghujan, antara lain dipengaruhi adanya arus angin yang melintasi suatu daratan serta banyak tidaknya kandungan uap air. Realisasi curah hujan di bawah normal terjadi pada Bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, Oktober, Nopember, sedang curah hujan di atas normal terjadi pada Bulan Januari, Pebruari, Maret, September dan Desember.

Suhu maksimum tertinggi terjadi pada Bulan Nopember yaitu 32,3 0C, sedangkan suhu terendah terjadi pada Bulan Agustus yaitu 29,5 0C. Suhu minimum tertinggi terjadi pada Bulan Desember 25,0 0C dan terendah pada Bulan Juni 23,3 0C.

Kelembaban udara di Kabupaten Badung berkisar antara 79 % – 86 %, kelembaban tertinggi 86 % terjadi pada Bulan September sedang terendah terjadi

pada Bulan Nopember yaitu 79 %.

Jarak Desa Buduk menuju ibu kota Kecamatan Mengwi berjarak 9 Km dengan waktu tempuh 0,25 Jam, sedangkan menuju Ibu Kota Kabupaten 25 Km dengan waktu tempuh 45 menit.

Pura Dalem Padonan yang terletak di Dusun Umacandi tepatnya ditengah persawahan yang dikelilingi pepohonan. Di dalam pura  tersebut terdapat 2 buah pelinggih yang sudah  ditumbuhi pohon bunut dan pohon beringin sudamala, akar kedua pohon tersebut membelit kedua pelinggih  hampir diseluruhan permukaan pelinggih.

Berdasarkan filosofi agama Hindu, pura adalah tempat atau bangunan suci yang merupakan suatu nyasa atau simbol, sehingga bentuk dan strukturnya didasarkan atas konsepsi filosofis tertentu sebagai landasannya. Inti lansadasan filosofinya berdasarkan pada kosmologi Hindu yang memandang bahwa  dunia ini terdiri atas susunan yang berlapis-lapis yang disebut dengan istilah loka dan tala.  Sebagai replika dari makrokosmos, pura di bagi menjadi beberapa halaman sebagai simbul dari loka dan tala tersebut.  Sebagai contoh misalnya pura dengan dua halaman, yaitu halaman jaba tengah (madya mandala) dan jeroan (utama mandala) sebagai simbul alam   bawah dan alam atas. Sedangkan pura dengan tiga halaman merupakan simbul dari triloka, yaitu: bhur, bwah dan swah loka. Di masing- masing halaman atau mandala dilengkapi dengan bangunan pelinggih, bangunan pelengkap dan bangunan penunjang. Masing-masing mandala atau halaman dibatasi dengan tembok keliling  (penyengker) dan terdapat kori agung (gapura) serta candi bentar  sebagai penghubung dari masing-masing halaman (mandala). Pembagian halaman (mandala) secara horizontal dalam penempatannya diupayakan adanya perbedaan ketinggian dari masing-masing halaman atau mandala, hal ini disebabkan oleh karena umat Hindu mempunyai keyakinan akan tempat yang semakin tinggi akan memiliki tingkat kesuacian yang semakin suci. Selain konsep pembagian halaman semakin tinggi semakin suci seperti telah tersebut di atas ada pula konsep halaman atau mandala pura yang paling suci berada di posisi yang rendah dikenal dengan konsep patala. Konsep ini menunjukkan kondisi jaba sisi (nista mandala) yang lebih tinggi dari halaman atau mandala  yang lebih suci jeroan (utama mandala). Nilai filosofis yang terkandung dalam konsep ini adalah dalam usaha mencari air sebagai sumber dari segala kehidupan di dunia ini (Subadio, 1971: 243). Konsep patala merupakan kebalikan dari konsep pembagian halaman atau mandala pura yang dikenal dengan konsep loka. Pembagian halaman dengan konsep lokal maupun konsep patala memiliki nilai kesucian yang sama alam atas maupun alam bawah tidak memiliki batas kesuacian yang pasti.

Berdasarkan pengamatan dilapangan dengan melihat kondisi Pura Dalem Padonan saat ini yang sudah mualai ditata kembali oleh masyarakat pendukungnya, yang masih tersisa dalam artian tidak dipengaruhi oleh dampak masuknya agama Kristen di Banjar Umacandi. Penataan pura ini diawali  dengan pembersihan areal pura dari pepohonan yang menutupi pura dari pepohonan disekitar pura dan dilanjutkan dengan  menetapkan batas-batas pura. Dari penataan tersebut halaman pura terbagi menjadi dua halaman yakni halaman luar dan halaman dalam. Namun keduan halaman tersebut belum dibatasi oleh tembok keliling sebagai pembatas halama. Dari pengamatan dilangan dapat diketahui pura tesebut terdiri dari dua halaman yakni halaman luar (jabaannista mandala) dan halaman dalam (jeroan/utama mandala). Halaman dalam (utama mandala) posisinya lebih tinggi dari halaman luar (nistamandala) Di halaman dalam terdapat dua buah pelinggih yang disebut dengan pelinggih gedong kembar yang mana kondisi bangunan pelinggih tersebut sangat memprihatinkan dibelit oleh akar pohon yang umurnya sudah puluhan tahun, disamping itu terdapat pula gundukan-gundukan kemungkinan dulunya bekas pelinggih, dan sebuah bangunan baru yang berfungsi sebagai bale peristirahatan. Sedangkan di halaman luar hanya terdapat  pepohonan sebagai pelindung.

Untuk mengetahui/mengungkap latar sejarah Pura Dalem Padonan sangat sulit karena  tidak ada data yang pasti (data tertulis) yang dapat dipergunakan sebagai acuan. Disamping itu pura ini sudah lama ditinggalkan oleh penyungsungnya,  hal ini disebabkan oleh dampak masuknya agama Kristen (Katolik dan Protestan) yang menyebabkan menurunnya jumlah penduduk agama Hindu, sehingga Pura Dalem Padonan menjadi kurang terawat.  Disamping itu penyebab lain adalah letak dari pura ini terlalu jauh dari pemukiman penduduk, dan disekitar pura banyak ditumbuhi pohon-pohan besar sehingga  terkesan angker, menyebabkan masyarakat tidak berani untuk melintas disekitar pura tesebut.  Keadaan ini juga menyebabkan terputusnya informasi-informasi dari pendahulu mereka   mengenai asla usul berdirinya Pura Dalem Padonan.

Dalam laporan pertanggung jawaban dari kegiatan studi teknis ini untuk mengungkap latar sejarah  Pura Dalem Padonan akan diuraikan tentang sejarah Desa Buduk.

Pada masa Bali Kuno (abad 9-14 M) kerajaan Bali diperintah oleh 21 raja. Beberapa diantara raja-raja yang pernah memerintah di Bali adalah sebagai berikut :     Raja Sri Kesari Warmadewa (913 M), Udayana (989 – 1011), Anak Wungsu (1049-1079), Jayasakti (1133-1150), Jayapangus (1177-1181 M ). Masyarakat Bali diorganisasikan dalam unit satu kesatuan desa Pakraman yang terdiri dari beberapa thani (desa). Pada waktu itu di Bali terdapat puluhan desa pakraman, tersebar didataran rendah, dataran tinggi dan pegunungan. Masing-masing desa bersifat sutantra atau otonum.

Berdasarkan parasasti Dalung (Goris, 1954; Machi Suhandi, 1979) Desa Buduk adalah salah satu dari puluhan hunian kuno yang terdapat di Bumi Banten (Bali).  Pada masa pemerintahan Jayapangus pada tahunn Saka 1103 (1181 M)  ditetapkan Desa Buduk dan Munggu menjadi satu karaman (desa Pakraman). Pada waktu itu sebagian besar wilayah desa pakramana Buduk diduga tertutup hutan terutama dari jenis hutan enau (hduk), dibawah pengawasan hulu kayu dan caksu hduk. Keterangan ini diperkuat dengan adanya nama munduk Tiyip yaitu salah satu munduk dari subak Ayung yang berada di Desa Buduk. Desa Pekraman Buduk berkembang dengan pesat sampai tahun 1343 M. Banyak lahan pertanian desa beralih fungsi menjadi hunian, seperti Banjar Umategal. Umacandi, Umakepuh, Tuka, dan Babakan. Tahun1343 M Majapahit menyerang Bali, Armada laut majapahit dari arah selatan dibawah pimpinan Gajah Mada, diduga berlabuh disebelah timur sungai Yeh Penet, di pantai Seseh, Pererenan, dan Canggu. Mereka merebut Canggu wilayah Desa Pakraman Buduk, lalu menjadikan pangkalan laskar Majapahit sebelum menyerang Ibukota kerajaan Bali. Waktu itu Bali diperintah oleh Raja Bhatara Sri Astasuraratnabumibanten (1337-1343)

Setelah Bali dikalahkan oleh Majapahit dalam pemerintahan diterapkan taktik memecah belah untuk melemahkan kekuatan dan kesatuan Bali dengan memperkecil wilayah Desa Pakraman menjadi desa adat. Desa Pakraman Buduk melepas Munggu sebagai anak desanya. Buduk sebagai desa induk dipecah, mekar menjadi Desa Adat Buduk, Desa Adat Tumbakbayuh, dan Desa Parerenan. Masing-masing dikepalai oleh prebekel. Dalam bidang agama setiap desa adat dibangun Khayangan Tiga Desa, yakni Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem.

Pertengahan abad 15, kejayaan Majapahit surut karena ada perang Saudara berkelanjutan, di Bali sendiri juga terjadi perebutan kekuasaan sehingga di Bali dibagi menjadi 12 kerajaan. Salah satunya adalah Kerajaan Kawyanegara atau Mengwi, awal abad 16, Mengwi berupaya merebut Desa Adat Buduk karena Ki Pasek Badak sebagai salah satu  tokoh desa adat di Bali, belum mengakui kerajaan Mengwi.

Dari uraian di atas Desa Buduk berada dibawah kekuasaan kerajaan Mengwi, sehubungan dengan hal tersebut diperkirakan Pura Dalem Padonan ini dibangun pada masa Kearajaan Mengwi (Bali Madia)

Pencatatan data arkeologi disebuah situs sangat penting sebagai data penunjang dalam pelaksanaan kegiatan studi teknis, karena data arkeologi yang disebut dengan istilah cagar budaya memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Data arkeologi merupakan hasil karya leluhur kita pada masa lalu sebagai media informasi pada masa lalu yang sarat akan nilai-nilai sejarah, filosofi, kehidupan beragama, sosial dan lain-lain, yang dapat dipakai cermin bagi kehidupan di masa kini. Oleh karena itu data arkeologi sangat penting artinya bagi generasi muda agar mereka dapat memberikan apresiasi kepa leluhur mereka di masa lalu melalui tinggalan arkeologi yang masih ada atau lestri sampai saat ini.

Tinggalan askeologi yang dapat direkam pada saat pelaksanaan kegiatan studi  teknis arkeologis di Pura Dalem Padonan adalah berupa dua buah bangunan cagar budaya. Bangunan cagar budaya ini disebut dengan nama gedong dalem, lebih jelasnya mengenai keberadaan bangunan cagar budaya ini akan diuraikan sebagai berikut :

Gedong

Pelinggih utama di Pura Dalem Padonan adalah gedong ibu. Pelinggih ini kondisinya sangat memprihatinkan, karena hampir seluruh permukaan bidangnya telah tertutup (dibelit) akar pohon pule. Diameter akar pohon pule yang menutupi pelinggih ini  berukuran ± 1 m. Hasil observasi di lapangan terhadap pelinggih ini menunjukkan bahwa pelinggih ini secara vertical memiliki bentuk menyerupai pelinggih Gedong Dalem yang terdiri dari bagian kaki, badan dan atap. Pelinggih ini juga memiliki ornament hiasan dengan motif khas bangunan atau arsitektur Bali.

Gedong

Sama halnya dengan pelinggih tersebut di atas, pelinggih gedong ini keadaannya juga sudah sangat memprihatinkan, karena hampir seluruh permukaannya sudah tertutup oleh akar pohon beringin. Dilihat dari sisa-sisa komponen yang masih nampak pelinggih ini memiliki bentuk yang hampir sama dengan pelinggih gedong ibu di atas. Pelinggih ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kaki, badan dan atap serta dilengkapi dengan ornament hiasan dengan motif hias khas bangunan atau arsitektur Bali.