Konservasi Di Pura Penataran Sasih, Pejeng, Bali

0
5889
proses pencampuran bahan kimia
proses pencampuran bahan kimia

Kegiatan konservasi ini dilaksanakan mulai tanggal 7 sampai dengan 11 Februari 2013 yang dilakukan oleh tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar dengan susunan tim

  1. I Gede Wardana, SS (Ketua)
  2. Pande Made Parityaksa (Konservator)
  3. I Wayan Widiarta (Konservator)
  4. Dewa Made Swastika (Konservator)
  5. Ida Bagus Putu Nama (Konservator)
  6. I Gusti Nyoman Karang (Tenaga Konservasi)
  7. Dewa Putu Tirta (Tenaga Konservasi)

Pura Penataran Sasih Secara Administratif, berlokasi di Desa Pejeng, Kecamatan  Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura Penataran Sasih  merupakan suatu  tempat pemujaan agama Hindu (Pura) yang berfungsi sebagai Pura Sad Kayangan Jagat. Lokasi Pura Penataran Sasih Pejeng sangat strategis berada dipinggir jalan raya jurusan tampaksiring. Jarak tempuk dari ibu kota kabupaten gianyar kurang lebih 5 kilometer, sedangkan jarak tempuh dari kota denpasar sekitar 25 kilometer. Lingkungan pura tersebut terletak di kawasan pemukiman padat penduduk yang merupakan jalur utama menuju kota Gianyar.

Menurut para ahli bahwa kesenian sudah mulai muncul sejak zaman prasejarah, yaitu pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Karena sejak itu manusia sudah bertempat tinggal menetap di goa-goa. Pada dinding goa biasanya meninggalkan bekas-bekas yang sangat mengesankan, seperti lukisan telapak tangan, binatang atau memperlihatkan sesuatu kegiatan tertentu serta kepekaan terhadap bentuk dan warna-warni.

nekara perunggu

Di Indonesia pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut ditemukan lukisan-lukisan pada dinding-dinding goa di daerah Sulawesi, Maluku, Timor dan Irian Jaya. Biasanya lukisan yang terdapat menempel pada dinding goa memiliki arti atau fungsi yang dihubungkan dengan konsep magis, yaitu suatu kepercayaan akan mendapatkan hasil lebih banyak apalagi digambarkan jenis binatang buruannya dengan gambar anak panah, tombak dan sebagainya.

Menurut  E.D.Chopple dan C.S. Coon  dalam  bukunya berjudul “ Principle of Anthopology “ (1942) disebutkan pada dasarnya kesenian dapat dikatagorikan menjadi dua bidang, yaitu:

  1. Seni Rupa ialah kesenian yang dapat dinikmati dengan mata seperti seni arca(patung), relief dan seni lukis.
  2. Seni Suara ialah karya seni yang dapat dinikmati dengan telinga seperti seni vocal dan seni suara.

Seni suara yang didengarkan melalui telinga seperti gong atau alat music dipukul diperkenalkan pada masa perundagian di Indonesia yang meliputi masa perunggu, besi dan masa megalitik. Pada masa Perundagian kemajuan teknologi lebih cepat dengan dikenalnya teknik melebur bahan dari logam, untuk dijadikan bermacam-macam bentuk benda atau alat-alat yag dikehendaki. Teknik pengolahan logam sudah maju, lalu menghasilkan benda-benda dari perunggu, sebagian diantaranya berhasil ditemukan pengolahannya di daerah Bali. Salah satu di antara benda-benda perunggu yang dihasilkan di daerah Bali yang berasal dari masa ini adalah nekara Pejeng, yang hingga kini tersimpan di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar.

Nekara ini lebih dikenal dengan nama Bulan Pejeng dan hingga saat ini dikeramatkan oleh masyarakat Pejeng dan sekitarnya. Nekara Pejeng berukuran besar, tingginya 1.86 meter dan garis tengah bidang pukulnya 1.60 meter. Bentuknya menyerupai sebuah dandang/bejana terbalik atau tertelungkup.

Menurut dongeng bahwa “Bulan Pejeng” dianggap sebagai bulan yang jatuh ke bumi, sehingga daerah sekitarnya menjadi terang-benderang siang maupun malam. Suasana yang demikian, menyebabkan para pencuri tidak bias melakukan aksinya, akhirnya para pencuri itu mengencingi bulan tersebut, lalu tidak dapat bercahaya lagi sampai sekarang. Dongeng versi lain mengatakan bahwa bulan pejeng merupakan salah satu subang dari Kebo Iwa, seorang tokoh yang amat sakti dan dengan kesaktiannya berhasil membuat beberapa buah tempat pemujaan, seperti Goa Gajah (Bedulu), Candi Tebing Gunung Kawi (Tampaksiring) dan sebagainya.

Bulan Pejeng merupakan hasil karya teknologi yang tinggi dari masa perundagian selain itu juga merupakan hasil seni yang tinggi. Hal ini terlihat dari pola hias yang digoreskan pada nekara tersebut. Di antara pola hias itu ada yang berbentuk pola binatang, pola hias bulu burung, pola hias tumpal bersusun, pola hias tumpal bertolak belakang, pola hias bentuk huruf f, dan pola hias sepasang kedok muka.

Pola hias tersebut tidaklah semata-mata merupakan hasil karya seni yang indah, namun juga mempunyai nilai-nilai magis, yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia. Pada masa dahulu kala, konon nekara semacam ini digunakan sebagai gendering perang atau sebagai benda yang berhubungan dengan suatu upacara yang dapat mendatangkan hujan yang diperlukan bagi usaha bidang pertanian. Sepasang pola hias kedok muka, mungkin merupakan suatu perwujudan atau simbol nenek moyang yang sudah tiada yang arwahnya masih dipuja.

Hiasan kedok muka tersebut merupakan perlambang kekuatan sakti atau kekuatan magis yang dapat berfungsi sebagai pelindung bagi anggota keluarga maupun penduduk yang ditinggalkannya. Sebagaimana telah diketahui bahwa bagian-bagian tubuh manusia seperti bagian mata atau kelamin, dianggap mempunyai kekuatan magis yang luar biasa serta dapat menolak segala rintangan-rintangan, kejahatan yang dihadapi manusia.

Di desa Peguyangan (Bandung) dan desa Bitra (Gianyar) juga ditemukan fragmen-fragmen nekara berupa bidang pukulnya saja. Kedua fragmen tersebut mempunyai pola hias binatang, pola hias bulu burung merak, garis-garis patah dan garis-garis berombak. Fragmen nekara juga ditemukan di desa Pacung (Tejakula), tetapi kini sudah dijual. Percetakan nekara perunggu telah dilakukan di Bali pada masa perundagian, hal ini terbukti karena di desa Manuaba (Gianyar) ditemukan fragmen-fragmen cetakan batu untuk membuat nekara itu. Cetakan-cetakan itu sampai kini disimpan dalam sebuah pura di desa Manuaba. Cetakan-cetakan itu mempunyai pola hias hampir sama dengan pola hias pada nekara Bulan Pejeng, hanya ukurannya agak lebih kecil. Hal ini member petunjuk bahwa penduduk Bali pada masa perundagian sudah menguasai teknologi bahan logam dari perunggu.

Dilihat dari bahannya Nekara Pejeng terbuat dari bahan perunggu. Adapun bahan yang dipergunakan bersifat higroskofis dan sangat peka akan pengaruh lingkungan terutama suhu dan iklim setempat, sebagai akibat pengaruh lingkungannya bahan dasar batu padas akan mengalami proses interaksi. Proses tersebut merupakan proses alamiah yang tidak bisa dihindari, oleh sebab itu pada dasarnya semua benda atau mengalami proses penuaan secara alamiah dan akan mengalami proses degradasi yang nantinya mengakibatkan menurunnya kualitas bahan dasar yang digunakan.

pengolesan bahan kimia pada nekara perunggu

Selain itu ada juga faktor-faktor yang memicu kerusakan /pelapukan yaitu baik itu faktor internal maupun faktor external. Faktor  external adalah adanya pengaruh dari luar seperti kondisi geografis (iklim, bencana alam maupun vandalisme). Sedangkan faktor internal adalah tergantung dari kualitas bahan dasar dari benda cagar budaya sendiri. Dari segi prosesnya kerusakan/pelapukan cagar budaya di Pura Penataran Sasih dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)  yaitu kerusakan secara mekanis, fisis, khemis dan biologis ;

1. Kerusakan secara mekanis

Bentuk  dari kerusakan  ini dapat di ketahui dengan adanya : pecah, retak dan patah. Kerusakan ini dapat dilihat pada gambaran relief-relief. Banyaknya terjadi pecahan maupun patah disebabkan adanya faktor external. Dari hasil pengamatan dilapangan bahwa kondisi lingkungan secara makro yaitu suhu udara berkisar 30 – 32 derajat celsius. Dengan kelembaban udara berkisar 70 – 80 % begitu pula proses kerusakan /pelapukan secara mekanis sekitar 25 % .

2.  Kerusakan Fisis

Kerusakan secara fisis terjadi karena faktor iklim setempat, baik secara makro maupun secara mikro, di samping itu tak terlepaskan oleh pengaruh suhu dan kelembaban pada siang maupun di malam hari yang akan memicu terjadinya proses pelapukan secara fisis.

1. Diagnosis

Pada prinsipnya dalam penanganan konservasi harus di dasari atas diagnosis terhadap permasalahan yang dihadapi salah satu faktor yang sangat perlu diperhatikan adalah batuan dasar benda cagar budaya sendiri, apalagi terbuat dari batu padas yang bersifat higroskofis, oleh karena itu di dalam penanganan konservasi harus dengan sangat hati-hati. Dari hasil diagnosis dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi adalah mengalami kerusakan/pelapukan secara mekanis, fisis, chemis dan biologis, secara umum kerusakan benda cagar budaya di Pura Penataran Sasih prosentasenya cukup besar dengan demikian dapat ditentukan formulasi penanganannya yaitu berupa, pembersihan secara mekanis kering, dan Pembersihan mekanis basah.

2. Kegiatan Konservasi

Pembersihan mekanis kering Pembersihan yang dimaksud adalah untuk membersihkan akumulasi debu dan kotoran dalam bentuk rumah serangga dan kotoran burung yang menempel pada benda cagar budaya. Adapun peralatan yang digunakan adalah berupa  sikat gigi dan kuas.