Kegiatan Konservasi di Makam Serewa

0
3061

I Gede Wardana

Pokja Pemeliharaan

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI


 

Latar

Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang yang tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2010 pasal 1 disebutkan “ Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”

Benda cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting (significant) karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena tinggalan benda cagar budaya dapat memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi, dan lain-lain.

Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya.

Instansi pemerintah yang menangani Pelestarian Cagar Budaya yang merupakan UPT (unit Pelaksana Teknis) Direktorat Jendral Kebudayaan yang berada di daerah salah satu adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali mempunyai tugas dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2015 tentang Organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian  Pelestarian Cagar Budaya Bali. Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali meliputi tiga wilayah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Dalam mengimplementasikan tugas dan fungsinya BPCB Bali merencanakan program kerja pelestarian Cagar Budaya yang mencakup perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Salah satu rencana program dibidang pemeliharaan cagar budaya adalah konservasi. Pemeliharaan merupakan upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik cagar budaya tetap lestari.  Mengingat sifat-sifat cagar budaya yang telah disebutkan di atas dalam pelestariannya (konservasi) perlu penanganan yang extra hati-hati oleh karena itu sebelum melaksanakan konservasi  perlu dilaksanakan Konservasi yakni studi yang dilakukan sebelum melaksanakan konservasi yang bertujuan untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi terhadap Cagar Budaya. Konservasi ini dimaksudkan untuk melakukan perekaman data terhadap cagar budaya yang akan dikonservasi. Data yang direkam antara lain : kondisi keterawatan, faktor penyebab kerusakan, jenis bahan, volume kerusakan, dan lingkungan, yang kemudian diolah untuk menentukan metode konservasi yang diterapkan serta bahan konservasi yang akan digunakan baik jenis maupun volumenya serta menentukan rencana penanganan konservasi.

Di tahun anggaran 2019 ini BPCB Bali merealisasikan program kegiatan Konservasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni di situs Makam Serewa yang berlokasi di Dususn Serewa, Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah.  Dari Hasil inventarisasi yang telah dilakukan oleh BPCB Bali pada tahun 2012 Diketahui bahwa di Makam Serewa terdapat cagar budaya berupa makam sebanyak 13 buah dan 1 buah sumur yang memiliki arti penting bagi sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, yang perlu dilestarikan keberadaanya.

 

Letak dan Lingkungan

Secara administrasi Makam Serewa termasuk wilayah Desa Pejanggik. Desa Pejanggik adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa ini sebagian besar penduduknya asli sasak.  Makam Serewa dapat dicapai dengan mudah karena berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah tepatnya berada di tengah Desa Pejanggik. Secara astronomi terletak pada koordinat 50 L 0432064 UTM 9036117 dengan  ketinggian 177 m dari permukaan laut. Makam Serewa   dari kantor Desa Pejanggik berjarak kira-kira 3,5 km. Adapun batas-batas makam adalah : sebelah utara adalah sawah milik penduduk, sebelah selatan jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur, disebelah Timur sawah milik penduduk, dan disebelah barat adalah perkebunan dan pemukiman penduduk. Lingkungan disekitar makam sangat sejuk dikelilingi puluhan pohon besar yang dominan adalah pohon kamboja yang sudah sangat tua. Makam Serewa terletak di atas bukit (tempat yang tinggi) yang dianggap tempat yang suci.

 

Latar Sejarah

Makam Serewa,  masyarakat setempat mengenal  sebagai makam Datu Pejanggik Bliau adalah raja dari kerajaan Pejanggik. Makam ini berlokasi di atas bukit, sistem pemakaman diatas bukit merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman Hindu, hingga setelah masuknya agama Islam. Tradisi ini didasari oleh suatu konsepsi pemikiran bahwa pada tempat-tempat yang tinggi  (seperti di puncak bukit) adalah tempat yanag suci, dan di situlah tempat bersemayan roh nenek moyang dan para dewa. Dengan memakamkan seorang tokoh di ” tempat yang tinggi” juga dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan dari yang masih hidup kepada yang sudah meninggal (nenek moyang). Keberadaan makam Serewa ini tidak terlepas dari masuknya pengaruh Islam ke Pulau Lombok .

Sejak abad ke 13 Masehi Labuan Lombok sebagai pusat perdagangan banyak dikunjungi para pedagang yang berasal dari Palembang, Banten, Gresik dan Sulawesi. Dengan demikian agama Islam mulai mesuk ke Pulau Lombok. Mula-mula kedatangan mereka untuk berdagang, kemudian banyak diantara mereka yang bertempat tinggal menetap bahkan mendirikan perkampungan-perkampungan. Sampai sekarang pun masih dapat kita lihat bekas-bekasnya seperti perkampungan Bugis di Labuan Lombok. Para pendatang dengan suku Sasak mengadakan hubungan. Dalam hubungan itu timbul rasa saling hormat menghormati dan harga menghargai. Dengan sadar atau tidak sadar terjadilah ambil mengambil dan pengaruh mempengaruhi dalam berbagai bidang seperti budaya dan agama. Yang dianggap baik dan cocok diterima sedangkan yang tidak cocok ditinggalkan. Labuan Lombok sebagai pelabuan dagang disinggahi para pelaut dan saudagar muslim dari Jawa dan mulailah timbul bandar-bandar tempat para pedagang sehingga semakin ramai. Selanjutnya melalui jalur perdagangan tersebut terbawa pula kitab-kitab kesusateraan yang bernafaskan agama Islam seperti Roman Yusuf, Serat menak. Selain itu juga, Al Qur’an terbawa oleh para pedagang untuk mengaji di tempatnya masing-masing.

Kemudian terjadilah hubungan yang intens antara pendatang dengan masyarakat suku Sasak, dari hubungan tersebut timbul rasa saling menghormati dan menghargai. Sadar atau tidak terjadilah hubungan akulturasi dalam berbagai bidang seperti budaya dan agama yang dianggap baik dan cocok diterima, sedangkan yang tidak cocok ditinggalkan.

Agama Islam masuk di Bumi Selaparang tidak lama setelah runtuhnya kerajaan Majapahit karena pada waktu itu sudah ada pedagang-pedagang muslim yang bermukim dan berniaga di Lombok kemudian mereka menyebarkan agamanya. Bukti yang paling eksplisit menjelaskan kedatangan Islam di Lombok adalah Babat Lombok yang menjelaskan bahwa ”Sunan Ratu Giri memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke Indonesia Bagian Utara yaitu

  1. Lemboe Mangkurat dengan pasukannya dikirim ke Banjar
  2. Datu Bandan dikirim ke Makasar, Tidore, Seram, Selayar
  3. Anak Laki-Laki Raja Pangeran Perapen berlayar ke Bali, Lombok, dan Sumbawa

Menurut Faille, setelah turun dari kapal, pasukan pangeran Prapen mendarat, Raja Lombok dengan sukarela memeluk Agama Islam tetapi rakyatnya tetap menolak sehingga terjadi peperangan yang dimenangkan oleh pihak Islam. Pendapat lain menyebutkan bahwa Raja Lombok awal mulanya menolak kedatangan Islam, namun setelah Pangeran Prapen menjelaskan maksudnya yaitu untuk menyampaikan misi suci dengan cara damai maka beliaupun diterima dengan baik, tetapi karena hasutan rakyatnya kemudian Raja Lombok ingkar janji dan mempersiapkan pasukan sehingga terjadilah peperangan. Dalam peperangan itu, Raja Lombok terdesak dan melarikan diri tetapi malang bagi raja yang dikejar oleh Jayalengkara lalu beliau dibawa menghadap ke Pangeran Perapen. Beliau kemudian diampuni dan mengucapkan dua kalimah syahadat serta dikhitan. Masjidpun segera dibangun sedangkan Pura, Meru, Babi, dan Sanggah dimusnahkan. Seluruh rakyat diislamkan dan dikhitan kecuali kaum wanita penghitanannya ditunda atas permintaan Syahbandar Lombok.

Setelah berhasil mengislamkan Raja Lombok, Sunan Perapen dengan pasukannya mengislamkan kedatuan-kedatuan lainnya seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong dan Sasak (Lombok Utara).  Hal ini memiliki bukti-bukti adanya tinggalan arkeologi seperti mesjid-mesjid tua, makam-makam kuno dan sebagainya. Dalam mengislamkan kedatuan-kedatuan lainnya, sebagian masuk Islam dengan sukarela sebagian lagi masuk Islam dengan cara kekerasan seperti di Parigi dan Sarwadadi. Setelah itu beberapa tahun kemudian seluruh Lombok memeluk agama Islam, kecuali Pajarakan dan Pengantap.

Kedatuan Pejanggik salah satu kedatuan yang berhasil di Islamkan oleh Sunan Perapen merupakan kerajaan yang berada di wilayah pedalaman yang daerah kekuasaannya meliputi Pantai barat sampai pantai timur pulau Lombok, dari Belongas hingga Tanjung Ringgit. Kedatuan Pejanggik mengalami perkembangan setelah bertahtanya Pemban Mas Meraja Sakti.

Makam Serewa merupakan tinggalan arkeologi sebagai bukti bahwa kedatuan Pejanggik berhasil  di islamkan pada saat penyebaran agama Islam ke pulau Lombok oleh Sunan Perapen. Selain makam di Desa Pejanggik terdapat pula tinggalan berupa bangunan Rumah Adat tempat kediaman Datu Pejanggik, tetapi bangunan tersebut sudah di pugar dan menggunakan bahan yang baru.

 

Data Cagar Budaya

Cagar budaya yang terdapat di Situs Makam Serewa berdasarkan hasil inventarisasi dan peninjauan langsung kelapangan dalam Kegiatan Studi Konservasi, diantaranya adalah : situs Cagar Budaya dan struktur Cagar budaya.

  • Situs Cagar Budaya yakni  Makam Serewa

Makam Serewa  ini keberadaannya di tempat ketinggian di atas bukit dengan teras berundak terdiri dari lima tingkat. Untuk masuk kedalam makam melewati jalan setapak dari batu dan menaiki  beberapa buah anak tangga depan sampai di  pintu masuk. Makam Serewa dikelilingi pagar tembok dari susunan batu alam yang berdenah segi empat. Dalam kompleks makam serewa ini terdapat sejumlah makam dan pusara  didalamnya. Hanya satu makam yang berada didalam bangunan dengan balai pelindung dan dinding terbuka  dilengkapi dengan kain putih. Ini menandakan bahwa makam tersebutlah adalah makam yang utama  Kompleks makam dikelilingi oleh puluhan pohon kamboja (jepun) yang sudah berumur tua. Selain itu terdapat pula sebuah sumur kecil yang dipercaya masyarakat dapat memberikan berkah apa yang diinginkan oleh masyarakat. Luas makam sekitar 375 meter persegi  yang terdiri dari dua halaman yakni halaman inti (dalam) dan halaman luar berupa terasering.

 

  • Struktur

Di situs makam srewa terdapat 13  stukur makam yang terdiri dari 52 nisan:

  • Makam utama, makam Raja Pejanggik terahir ditandai dengan sebuah batu nisan berbentuk polos, masyarakat sasak Lombok tengah percaya bahwa makam itu adalah makam raja pejanggik yang terakhir. dilengkapi dengan balai pelindung dengan ukuran : Panjang :   4,20 cm, dan lebar 3,35 cm.
Makam Utama Situs Makam Serewa
  • Makam permaisuri dan pengasuh, terdiri dari 3 buah nisan dari batu.
Makam permaisuri dan pengasuh
  • Makam  pengikut raja Pejanggik sebanyak 11 buah. Makam Srewa ini sering dikunjungi ketika usai hari raya idul fitri atau hari-hari besar islam lainnya.
Makam Pengikut Raja Pejanggik
  • Sumur, sumur kecil kedalaman 86 cm  dengan diameter 27 cm. Sumur itu diyakini sebagian orang, terutama masyarakat setempat untuk melihat kebaikanseperti rejeki, jodoh, kesehatan  maupun kebaikan lainnya yang akan ditemui oleh seseorang yang berhasil menyentuh sumur ini tak hanya dipadati pada hari-hari besar, seperti Idul Fitri atau bulan Ramadan.  Tetapi, sumur itu sering dipadati pada hari biasa juga. Terutama muda-mudi yang ingin mengetahui, apakah jodohnya sudah dekat atau belum.
Sumur Kecil diyakini oleh masyarakat untuk melihat kebaikan

 

Konservasi Cagar Budaya

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, konservasi adalah pelestarian; pemeliharaan dan perlindungan sesuatu untuk mencegah kemusnahan (kerusakan dan sebagainya) dengan cara pengawetan. Dalam bidang cagar budaya juga digunakan istilah konservasi. Secara umum, konservasi cagar budaya sebenarnya memiliki cakupan yang luas dan bisa diartikan sebagai pelestarian atau perlindungan itu sendiri.

Sementara itu, dalam lingkup yang lebih sempit konservasi dapat diartikan sebagai tindakan pemeliharaan, pengawetan, atau treatment tertentu yang diaplikasikan pada material cagar budaya. Kegiatan ini lebih difokuskan pada upaya untuk membersihkan cagar budaya dari faktor penyebab kerusakan dan pelapukan dan upaya untuk membersihkan cagar budaya dari faktor penyebab kerusakan dan pelapukan dan upaya mengawetkan material cagar budaya agar tidak terjadi degradasi lebih parah.

ada dasarnya cagar budaya perlu dikonservasi supaya tetap “ada”, supaya pesan “nilai” dan data masa lalu dapat tersampaikan pada generasi sekarang dan generasi berikutnya walaupun tidak seutuhnya. Konservasi terhadap material cagar budaya yang selama ini dilakukan untuk mempertahankan keberadaan dan kuantitas fisik cagar budaya yang diharapkan akan membawa konsekuensi terhadap pelestarian nilai-nilai historis, arkeologie, dan nilai penting lainnya yang terkandung dalam material cagar budaya. Nilai kesejarahan (historis), nilai otentisitas (authenticity), nilai kelangkaan (rarity), nilai pendidikan (educational), dan berbahgai data yang terkandung dalam cagar budaya menjadikan cagar budaya penting untuk dilestarikan. Cagar budaya merupakan aset budaya bangsa yang dapat menjadikan identitas dan karakter bangsa. Mengacu pada pemahaman konservasi baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit di atas, pada dasarnya konservasi cagar budaya tetaplah bertujuan melestarikan cagar budaya dengan melindungi materinya, menjaga kualitas dan nilainya, dan mempertahankannya untuk generasi mendatang.

Pada dasarnya semua benda yang ada di dunia ini termasuk cagar budaya akan mengalami degradasi dan bahkan pada akhirnya mengalami proses pelapukan menjadi tanah (soiling process). Seiring dengan perjalanan panjang waktu, interaksi benda dengan lingkungan akan mengakibatkan penuaan alami (natural ageing). Apalagi cagar budaya bersifat finite (terbatas) baik bentuk, jumlah, maupun jenisnya dan bersifat non renewable (tidak terbaharui).  Dan tidak jarang, material cagar budaya yang sampai ke tangan kita tidak dalam keadaan utuh dan dalam kodisi yang rapuh (fragile). Alur panjang waktu dari masa lalu mengakibatkan cagar budaya mudah mengalami kerusakan dan pelapukan (degradable). Mengingat perlu dilakukan tindakan konservasi secara tepat terhadap cagar budaya.

Ada prosedur konservasi cagar budaya yang harus diikuti sebelum melakukan tindakan penanganan konservasi secara langsung terhadap material cagar budaya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan penanganan yang dapat mengancam atau memberikan dampak negatife terhadap material cagar budaya dan nilai penting yang dikandungnya. Permasalahan pada material cagar budaya dapat berupa kerusakan atau pelapukan. Kerusakan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada bahan tanpa diikuti oleh perubahan unsur-unsur penyusunannya, seperti retak dan pecah. Sementara kehancuran menunjukkan kondisi yang lebih parah dari rusak, kondisi ambruk, bentuk asli tidak tampak lagi, tapi unsurnya tidak hilang. Pelapukan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada suatu benda yang diikuti oleh perubahan yang terjadi pada suatu benda yang diikuti oleh perubahan unsur-unsur penyususnnya baik sifat fisik (desintegrasi) maupun kimiawinya (dekomposisi), seperti : korosi. Dan cagar budaya dikatakan musnah apabila bentuk asli cagar budaya tidak ditemukan lagi, contoh : terbakar habis.

Permasalahan pada cagar budaya tersebut, sesuai dengan prosedur koservasi akan ditindaklanjuti dengan melakukan observasi lapangan (studi konservasi). Observasi lapangan merupakan pengamatan awal untuk mengetahui permasalahan pada cagar budaya dengan melakukan perekaman data dan dokumentasi objek dan lingkungannya. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan analisis untuk mengetahui jenis dan kualitas bahan, faktor penyebab, proses, gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi, dan analisis komprehensif terhadap objek dan lingkungannya. Faktor penyebab kerusakan dan pelapukan cagar budaya bisa berupa faktor intrinsic dan ekstrinsik. Faktor intrinsic berasal dari material cagar budaya sendiri yang meliputi jenis bahan, sifat-sifat fisik maupun kimiawinya, dan teknolgi pembuatan benda. Sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari lingkungan di sekitar material cagar budaya baik berupa faktor biotik (seperti : flora, fauna, dan vandalism) maupun faktor abiotic (seperti : iklim, gempa bumi, dan lain-lain). Proses kerusakan dan pelapukan pada cagar budaya dapat terjadi melalui proses kerusakan mekanis, proses pelapukan fisik, proses pelapukan kimiawi, dan proses pelapukan biologi. Analisis komprehensif terhadap cagar budaya tersebut dilakukan untuk meminimalisir intervensi secara langsung terhadap material cagar budaya.

Sebelum tindakan langsung pada material cagar budaya, terlebih dahulu juga dilakukan pengujian konservasi dalam rangka menentukan metode, teknik dan bahan konservasi yang tepat. Kemudian baru dilakukan penanganan konservasi baik berupa pembersihan, perbaikan, kamuflase (penyelarasan), konsolidasi (perkuatan), pengawetan, dll. Prosedur konservasi merupakan upaya mempertahankan keaslian bahan (authenticity). Karena pada dasarnya cagar budaya akan bernilai tinggi jika dalam kondisi otentik atau asli. Dan penanganan konservasi tidak menghentikan secara total proses kerusakan atau pelapukan yang terjadi.

 

Kondisi Fisik

Berdasarkan observasi di lapangan, dapat disimpulkan bahwa kondisi Cagar Budaya di Makam Serewa sangat memprihatinkan. Kondisi Cagar Budaya tersebut sebagian besar ditumbuhi jasad-jasad renik (moss, lichenes, algae), aus, patah, pecah dan terjadi kemiringan.

 

Data Keterawatan

Berdasarkan jenis kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada Cagar Budaya di Makam Serewa, dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis kerusakan/pelapukan, yaitu: kerusakan mekanis, kerusakan fisis, kerusakan chemis dan pelapukan biotis. Dari hasil pengamatan dapat disampaikan kondisi benda ada yang mengalami satu jenis kerusakan dan ada satu benda yang mengalami lebih dari satu jenis kerusakan.

  • Kerusakan Mekanis

Kerusakan mekanis adalah suatu proses kerusakan yang disebabkan oleh adanya gaya statis maupun dinamis. Adapun bentuk dari kerusakan ini berupa patah, retak dan pecah. Jenis kerusakan ini terjadi dengan persentase 3%.

  • Kerusakan Fisis

Bentuk dari kerusakan Fisis berupa aus dan pengelupasan pada permukaan Benda Cagar Budaya. Penyebab dari kerusakan ini adalah suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan perubahan iklim yang tidak menentu. Jenis kerusakan ini terjadi hampir 100%.

  • Pelapukan Chemis

Pelapukan chemis terjadi sebagai akibat atau adanya reaksi kimia. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, dan suhu. Gejala yang tampak berupa aus dan endapan kristal-kristal garam terlarut pada benda Cagar Budaya. Pelapukan chemis yang terjadi sekitar 10%.

  • Pelapukan Biotis

Pelapukan Biotis disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme seperti: moss, lichenes dan algae. Jenis pelapukan ini terjadi dengan persentase  75 %.

 

Faktor Penyebab Kerusakan

  • Faktor Internal

Faktor internal berpengaruh terhadap kerusakan dan pelapukan material cagar budaya. Di Situs Makam Serewa seluruh nisan terbuat dari batu padas. Batu padas yang berasal dari jenis tanah yakni tanah padas banyak ditemukan di daerah-daerah seperti pegunungan atau perbukitan atau di daerah-daerah sungai. Tanah padas ini merupakan salah satu tanah yang mempunyai sifat padat bahkan sangat padat. Kepadatan tanah ini terjadi karena kandungan mineral yang ada didalamnya dikeluarkan oleh air yang terdapat pada lapisan tanah yang berada diatasnya. Sehingga tanah ini menjadi tanah kosong tanpa kandungan yang ada didalam tanah tersebut dan hanya bersisa lapukan dari tanah induk. Tanah padas ini merupakan tanah yang menpunyai struktur yang sangat padat dan menyerupai batuan. Jika struktur tanah ini tidak dijaga dengan baik, akibatnya tanah tersebut akan mudah terkikis oleh air hujan dan semacamnya. Meskipun secara sifat struktur tanah padat, namun tanah ini ternyata sangat peka terhadap erosi pada tanah yang bisa terjadi setiap saat. Faktor internal yang berpengaruh terhadap batu nisan tersebut adalah bahan dasar batu nisan itu sendiri juga memiliki andil yang cukup besar terhadap kerusakan dan peletakan batu nisan pada tanah dasar.

  • Faktor Exsternal

Faktor exsternal yang berpengaruh terhadap kerusakan dan pelapukan batu padas (nisan) meliputi suhu, intensitas sinar matahari, angin, kelembaban, air hujan, pertumbuhan mikroorganisme, bencana alam dan manusia. Suhu dan kelembaban yang tinggi  dan selalu berubah setiap saat akan menyebabkan kondisi benda tidak stabil, yang ahirnya dapat menyebabkan terjadi keretakan, pecah, pengelupasan, retakan pada permukaan batu padas, keausan erosi dan sebagainya. Batu padas mudah terpengaruh oleh faktor lingkungan yang menyebabkan batu padas menjadi lembab. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kelembaban batu padas adalah air. Air dapat menyebabkan kelembaban pada batu padas meningkat dan dapat menimbulkan kerusakan dan pelapukan, secara biolois, khemis, maupun fisis.

 

Penanganan Konservasi

  • Diagnosis

Untuk menangulangi kerusakan dan pelapukan yang lebih parah, maka dilaksanakan kegiatan konservasi agar kelestarian Cagar Budaya tetap terjaga. Pada prinsipnya pelaksanaan konservasi dilakukan dengan empat tahapan yaitu:

  1. Pembersihan mekanis kering dan basah.
  2. Pembersihan Secara Chemis
  3. Perbaikan (Penyambungan)
  4. Konsolidasi

Luas permukaan benda Cagar Budaya yang dikonservasi yaitu, 16 m² di Makam Serewa, Dusun Serewa, Desa Pejanggik, Kec. Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

 

  • Kegiatan Konservasi
  • Pembersihan secara Mekanis Kering dan Basah

Pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat, yang diantaranya: sikat ijuk, sikat gigi, sikat baja halus, sudip bambu, dan dissecting set. Pembersihan ini bertujuan untuk membersihkan semua debu dan rumah serangga. Pembersihan ini dilakukan dengan hati-hati agar Cagar Budaya tidak tergores. Selanjutnya dilakukan pembersihan mekanis basah. Pembersihan ini hampir sama dengan pembersihan mekanis kering, hanya saja disertai guyuran air agar kotoran-kotoran hanyut bersama air.

Pembersihan Mekanis Kering
Pembersihan Mekanis Basah

 

  • Pembersihan secara chemis

Karena pembersihan secara mekanis hasilnya belum maksimal, maka dilanjutkan dengan pembersihan secara chemis dengan menggunakan bahan kimia AC-322. Aplikasi bahan kimia ini yaitu dengan cara dioleskan pada tinggalan Cagar Budaya tersebut. Waktu kontak AC-322 dengan tinggalan Cagar Budaya diberi tenggang waktu sekitar 24 jam, agar semua jasad-jasad renik dan spora mati. Selanjutnya, tinggalan Cagar Budaya kembali dicuci dengan guyuran air agar kotoran beserta AC-322 bersih dari permukaan tinggalan tersebut. Ini dilakukan secara berulang-ulang agar permukaan cagar budaya bersih sampai Ph 7 (netral).

Pembesihan Secara Chemis

 

  • Perbaikan (Penyambungan/Kamuflase)

Kegiatan Penyambungan ini diawali dengan anastilosis (pencocokan) bagian-bagian benda Cagar Budaya yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh. Setelah direkonstruksi, kegiatan penyambungan dilakukan dengan menggunakan bahan perekat epoxy resin dengan perbandingan 1:1. Benda Cagar budaya yang telah disambung kemudian diikat dengan tali rafia agar sambungannya tidak bergeser. Selanjutnya, keesok harinya dilakukan tindakan kamuflase dengan menggunakan bubuk padas yang dicampur semen dengan perbandingan 6:1, yang bertujuan untuk memperkuat sambungan dan penyelarasan warna Cagar Budaya tersebut.

Penyambungan/Pengeleman

 

  • Konsolidasi

Konsolidasi dilakukan bertujuan untuk memperkuat struktur bahan Cagar Budaya yang telah mengalami pelapukan dengan menggunakan paraloyd B-72 dengan pelarut ethyl ecetate dengan konsentrasi 3%. Luas permukaan benda Cagar Budaya di Situs Makam Serewa yang diberikan tindakan konsolidasi sekitar 16 m² dari 225 gram larutan paraloyd B-72.

Konsolidasi Paraloyd B-72

 

 

Foto Sebelum dan Sesudah di Konservasi

Sebelum Dikonservasi
Sesudah Dikonservasi

 

Sebelum Dikonservasi
Sesudah Dikonservasi

 

Sebelum Dikonservasi
Sesudah Dikonservasi

 

  • Upaya Pelestarian

Dalam upaya pelestarian terhadap Cagar Budaya di Makam Serewa akan dilakukan tindakan pelestarian berupa konservasi secara tradisional dan modern. Adapun volume luas permukaan Cagar Budaya tersebut, yaitu 16 m². Sedangkan, tindakan konsolidasi dilakukan secara keseluruhan yang membutuhkan 7,5 liter Ethyl Acetate dan 225 gram Paraloyd B-72 dengan konsentrasi 3%.

 

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan :

  1. Situs Makam Serewa salah satu situs di Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah yang memiliki arti penting bagi ilmu pengetahuan, pendidikan, sejarah dan kebudayaan yang perlu dilestarikan karena merupakan bukti-bukti arkeologis masuknya Islam di Pulau Lombok khususnya di Desa Pejanggik, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah provinsi (NTB).
  2. Berdasarkan hasil observasi di lapangan dapat diketahui cagar budaya di situs Makam Serewa terdiri dari 52 nisan sebagaian besar kerusakannya disebabkan oleh faktor exsternal yaitu faktor  kelembaban lingkungan, cuaca seperti musim hujan, intensitas sinar matahari, kapilarisasi air tanah, sehingga terjadi kerusakan mekanis, fisis, kimia dan biologis selain itu dipengaruhi pula oleh faktor internal yakni kualitas bahan dan daya dukung tanah sehingga perlu penanganan segera untuk menghindari kerusakan lebih lanjut dengan melakukan upaya pelestarian dalam bentuk konservasi.

Berdasarkan data keterawatan cagar budaya, rencana penangan yang akan dilakukan meliputi pembersihan mekanis kering dan basah, serta pengolesan bahan kimia yakni AC 322, untuk memperlambat terjadinya kerusakan /pelapukan.

 

Rekomendasi

  • Untuk keamanan situs  perlu  pembuatan pagar keliling, karena pagar keliling yang ada sudah kurang memadai.
  • Untuk menghindari  keterancaman situs perlu dilakukan kegiatan zonasi cagar budaya
  • Perlu dipasang papan nama situs