Kegiatan Evaluasi Pemugaran Meru Tumpang Sebelas dan Sembilan di Situs Pura Taman Sari Klungkung

0
5479

Latar Belakang

Bali merupakan daerah yang kaya akan berbagai sumberdaya arkeologi, sumber daya tersebut merupakan produk warisan nenek moyang yang dilandasi oleh pengetahuan, teknologi, tradisi, dan kehidupan spiritual masa lampau yang penting dalam kepribadian suatu, karena tinggalan arkeologi khususnya yang berupa artefak atau benda-benda budaya memegang peranan penting dalam proses kehidupan manusia. Dalam cagar budaya itu terkandung nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan ideology, teknologi, sosiologi dan yang lainnya. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam cagar budaya peniggalan nenek moyang tersebut harus dijaga kelestariannya untuk kepentingan generasi penerus berikutnya, karena hal itu sangat penting bagi persatuan dan kesatuan bangsa, sejarah, kebudayaan serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Pura Taman Sari Klungkung sebagai salah satu cagar budaya yang terdapat di Pulau Bali merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Pembangunan Pura Taman Sari diperkirakan berkaitan dengan sejarah Kerajaan Klungkung. Semula berpusat di Gelgel (3 km di sebelah selatan Klungkung) yang dikenal dengan nama Swecapura atau Lingharsapura, kemudian dipindahkan ke Klungkung dan dikenal dengan nama Smarapura. Diperkirakan Pura Taman Sari dibangun setelah kerajaan berpindah dari Gelgel ke Klungkung, kurang lebih pada abad XVI atau awal abad XVII.

Laporan yang pertama mengenai Pura Taman Sari ditulis oleh P.A.J. Moojen, dalam bukunya Kumst og Bali, Inleidende Studie tot deng Baouwkunst, yang diterbitkan pada tahun 1926. Buku ini dilengkapi pula dengan foto-foto, yang dapat membantu dalam pemugaran. Bangunan kuno yang masih dapat dikenal berdasarkan sisa-sisa yang ditemukan adalah meru bertumpang sebelas dan bertumpang sembilan. Itu pun hanya tinggal sebagian dari badannya saja. Piyasan (bangunan kecil berbentuk rumah) yang terdapat di depan meru (bangunan pemujaan dengan atap bertingkat) yang hanya tampak sebagian kecil dari dasarnya. Demikian juga kolam yang mengelilingi meru tumpang sebelas rusak sama sekali. Kerusakan tersebut diperkirakan terjadi karena ulah manusia ataupun bencana alam. Seperti diketahui, di Bali pernah terjadi gempa bumi yang amat dahsyat pada tahun 1917. Dari penduduk diperoleh pula keterangan bahwa Belanda telah merusah Pura Taman Sari dengan maksud untuk melumpuhkan pertahanan raja Klungkung. Hal ini dilakukan oleh Belanda mungkin karena mengetahui fungsi Pura Taman Sari. Menurut keterangan yang diperoleh, Pura Taman Sari merupakan tempat pemasupatian (memberi kekuatan sakti atau magis) bagi senjata-senjata kerajaan. Dalam perang puputan yang terjadi tahun 1908 ternyata Belanda dapat mengalahkan Kerajaan Klungkung.

Melihat kondisi bangunan cagar budaya yang terdapat di Pura Taman dalam kondisi yang telah mengalami kerusakan maka pemerintah melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali melaksanakan kegiatan pemugaran yang berlangsung selama lima tahapan dan berakhir pada tahun 1984. Sebagai bentuk upaya pelestarian terhadap bangunan cagar budaya yang terdapat di Pura Taman Sari Klungkung ini Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar melalui program rutin tahun 2014 melaksanakan kegiatan berupa evaluasi pasca pemugaran terhadap dua buah bangunan cagar budaya yang berupa meru tumpang sebelas dan meru tumpang sembilan yang dulu telah mendapatkan upaya pelestarian berupa kegiatan pemugaran.

Kegiatan evaluasi pasca pemugaran ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini dari bangunan cagar budaya   yang terdapat di Pura Taman Sari.  Hasil kegiatan evaluasi pasca pemugaran ini akan menjadi bahan rekomendasi dalam upaya penanganan gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bangunan cagar budaya yang terdapat di Pura Taman Sari Klungkung ini.

Maksud Dan Tujuan

Kegiatan evaluasi pemugaran meru tumpang sebelas dan sembilan  yang terdapat di Pura Taman Sari Klungkung  dimaksudkan untuk dapat mengetahui kondisi teknis dan keterawatan terkini dari kedua buah bangunan meru   tersebut setelah dilaksanakannya pemugaran. Tujuan dari kegiatan evaluasi pemugaran ini adalah untuk dapat menentukan    langkah-langkah atau usaha-usaha pelestarian  meru tumpang sebelas dan sembilan  yang terdapat di Pura Taman Sari Klungkung setelah dipugar dapat terhindar dari proses kerusakan dan pelapukan yang lebih lanjut.

Metode

Untuk mencapai hasil sesuai dengan maksud dan tujuan kegiatan, harus memenuhi  kaedah-kaedah metodelogi yang lazim digunakan dalam penelitian. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan lebih berbobot dan memiliki nilai ilmiah.   Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

  1. Kepustakaan merupakan salah satu acuan dalam pelaksanaan kegiatan studi teknis dengan menelaah hasil-hasil penelitian terdahulu yang  dipublikasikan. Selain itu studi pustaka merupakan metode untuk mendapatkan sumber-sumber data yang terkait dengan obyek yang akan dilaksanakan studi. 
  2. Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati langsung obyek yang akan diteliti untuk mengetahui kondisi benda yang sebenarnya.
  3. Wawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan tokoh masyarakat, aparat desa, atau orang-orang yang mengetahui informasi tentang cagar budaya yang menjadi sasaran kegiatan.  Wawancara dilakukan dalam kegiatan ini dengan metode tanpa struktur.

Letak dan Lingkungan

Peta Keletakan Pura Taman Sari

Secara administratif wilayah Pura Taman Sari masuk dalam wilayah Kelurahan Semarapura Kangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali. Kelurahan Semarapura Kangin  merupakan wilayah pesisir yang merupakan daerah dataran rendah, dengan ketinggian berkisar antara 0 sampai dengan 93 meter diatas permukaan laut, terletak di pinggir timur Kota Semarapura Ibu Kota Kabupaten Klungkung. Kelurahan Semarapura Kangin berada pada daerah dataran dengan kemiringan lereng rata-rata 3,33%. Pola aliran sungai yang berkembang di wilayah ini, seperti halnya hampir sebagian besar wilayah selatan dan utara Pulau Bali adalah subpararel. Tanah di wilayah ini memiliki tekstur halus-sedang dengan warna coklat tua. Batuan dasar di wilayah ini merupakan hasil aktivitas piroklastik Gunung Buyan, Beratan dan Batur, yang terdiri dari lapisan lahar, breksi tuff dan tuff. Proses geomorfologi yang terjadi di wilayah ini sebagian besar merupakan proses pengendapan, trasnportasi dan sedikit erosi. Penggunaan lahan yang nampak di wilayah ini adalah sebagai tegalan, persawahan dan permukiman.

Pura Taman Sari berada di Banjar Sengguhan, Kelurahan Semarapura Kangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung. Berjarak lebih kurang 500 meter di timur laut keraton Kerajaan Klungkung, serta diapit oleh Pura Penataran Agung  (sebelah selatan) dan Pura Dalem Sagening (sebelah utara). Dari ibukota Denpasar menuju Pura Taman Sari menempuh jarak lebih kurang 50 km.Untuk mencapai lokasi pura ini sangat mudah dicapai dengan kendaraan baik roda empat maupun kendaraan roda dua karena sarana jalan yang sudah diaspal.

Salah satu modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan adalah jumlah penduduk yang besar. Jumlah penduduk yang besar tentu saja akan menjadi modal utama, bilamana dilengkapi dengan pendidikandan keterampilan yang memadai serta berada dalam usia produktif. Jumlah penduduk terbesar di Kabupaten Klungkung berada di Kecamatan Klungkung sebanyak 57.210 jiwa dan penduduk paling sedikit berada di Kecamatan Banjarangkan. Dilihat dari keadaan  masingmasing kecamatan, maka Kecamatan Klungkung merupakan yang terpada yaitu sebesar 1.969 jiwa per km2, diikuti Kecamatan Dawan dan Banjarangkan yakni masing-masing sebesar 1.089 dan 859 jiwa per km2. Sedangkan kepadatan penduduk terkecil adalah Kecamatan Nusa Penida sebesar 237 jiwa per km2

Rasio jenis kelamin (sex ratio) adalah perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan. Pada tahun 2010 sex ratio sebesar 0,97.Jika dilihat sex ratio per kecamatan, sex ratio tertinggi terdapat di Kecamatan Klungkung yaitu sebesar 0,98 dan terendah di Kecamatan Nusa Penida dan Dawan sebesar 0,96. Penduduk usia kerja adalah penduduk yang berumur 15 tahun keatas, mereka terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Perbandingan penduduk yang tergolong angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja dimana pada tahun 2010 sebesar 83,31%. Berdasarkan lapangan pekerjaandari 102.337 orang yang bekerja, 50,90% bekerja disektor pertanian, 18,45% bekerja disektor perdagangan, hotel dan rumah makan10,92% disektor jasa dan di sektor lainnya yang masing-masing tidak lebih dari 10%.

Struktur Pura Taman Sari

Pura adalah tempat atau bangunan suci yang merupakan suatu nyasa atau simbul, sehingga bentuk dan strukturnya didasarkan atas konsepsi filosofis tertentu sebagai landasannya. Inti landasan filosofisnya berdasarkan pada kosmologi Hindu yang memandang bahwa dunia ini terdiri atas susunan yang berlapis-lapis yang disebut dengan istilah lokadan tala. Sebagai replika dari makrokosmos, pura dibagi menjadi beberapa halaman sebagai simbul dari lokadan tala tersebut. Sebagai contoh misalnya pura dengan dua halaman, yaitu halaman jaba tengah (madya mandala) dan jeroan (utama mandala)  sebagai  simbul alam bawah dan halaman atas. Sedangkan pura dengan tiga halaman merupakan simbul dari Triloka, yaitu:  bhur, bwah dan swah loka. Dimasing-masing halaman atau mandala dilengkapi dengan bangunan pelinggih, bangunan pelengkap dan bangunan penunjang. Masing-masing halaman atau mandala dibatasi tembok keliling atau penyengker dan terdapat kori agung/gapura serta candi bentar sebagai penghubung dari masing-masing halaman atau mandala. Pembagian halaman atau mandala secara horizontal dalam penempatannya diupayakan adanya perbedaan ketinggian dari masing-masing halaman atau mandala, hal ini dikarenakan Umat Hindu mempunyai keyakinan akan tempat yang  semakin tinggi akan memiliki tingkat kesucian yang semakin suci (Astawa. A.A Oka 2003: 7).

Madya Mandala Pura Taman Sari

Pura Taman Sari adalah tempat suci yang sekaligus sebagai karya pertamanan peninggalan Kerajaan Klungkung. Pura Taman Sari diperkirakan dibangun tahun 1710 bersamaan dengan pembangunan keraton Kerajaan Klungkung, saat pemerintahan Raja I Dewa Agung Jambe. Struktur ruang Pura Taman Sari yang asli terdiri dari dua halaman, yaitu halaman luar yang disebut jabaan dan halaman dalam yang disebut jeroan. Struktur ruang seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan suci kuna. Tetapi kini Pura Taman Sari telah dikembangkan menjadi tiga struktur ruang. Antara halaman luar dengan halaman tengah dihubungkan dengan pintu gerbang berupa candi bentar. Kemudian antara halaman tengah dengan halaman dalam dihubungkan dengan pintu berbentuk  candi kurung  (Kori Agung). Di halaman dalam Pura Taman Sari terdapat kolam yang mengitari bangunan meru tumpang sebelas, meru tumpang sembilan dan bangunan piasan.Sebagai peninggalan karya arsitektur pertamanan, Pura Taman Sari memiliki keunikan berupa pahatan arca berbentuk penyu pada dasar badan meru tumpang sebelas dan arca ular/naga pada badan bangunan meru tersebut. Kolam tempat suci ini bentuknya persegi dan memanjang    (seperti huruf “U”) dari selatan kori agung menuju utara pada sisi barat halaman dalam (jeroan), kemudian kolam berbelok ke timur di sisi utara sekaligus mengelilingi bangunan meru tumpang sebelas dan bangunan piasan. Dan akhirnya, bentangan kolam berakhir di bagian tenggara halaman.

Utama Mandala Pura Taman Sari

Data Sejarah

Kompleks tempat Pura Taman Sari berada terdiri dari tiga pura; Pura Segening, Pura Taman Sari dan Pura Penataran, berjejer dari utara ke selatan. Dari pola bangunan pura dan data arkeologi yang ditemukan, disimpulkan bahwa Pura Taman Sari merupakan pura yang

Dapat digolongkan kuna. Laporan yang pertama mengenai Pura Taman Sari ditulis oleh P.A.J. Moojen, dalam bukunya Kumst og Bali, Inleidende Studie tot deng Baouwkunst, yang diterbitkan pada tahun 1926. Buku ini dilengkapi pula dengan foto-foto, yang dapat membantu dalam pemugaran. Tahun 1970 Pura Taman Sari ditemukan dalam keadaan rusak berat. Bangunan kuno yang masih dapat dikenal berdasarkan sisa-sisa yang ditemukan adalah meru bertumpang sebelas dan bertumpang sembilan. Itu pun hanya tinggal sebagian dari badannya saja. Piyasan (bangunan kecil berbentuk rumah) yang terdapat di depan meru (bangunan pemujaan dengan atap bertingkat) yang hanya tampak sebagian kecil dari dasarnya. Demikian juga kolam yang mengelilingi meru tumpang sebelas rusak sama sekali. Kerusakan tersebut diperkirakan terjadi karena ulah manusia ataupun bencana alam. Seperti diketahui, di Bali pernah terjadi gempa bumi yang amat dahsyat pada tahun 1917. Dari penduduk diperoleh pula keterangan bahwa Belanda telah merusah Pura Taman Sari dengan maksud untuk melumpuhkan pertahanan raja Klungkung. Hal ini dilakukan oleh Belanda mungkin karena mengetahui fungsi Pura Taman Sari. Menurut keterangan yang diperoleh, Pura Taman Sari merupakan tempat pemasupatian (memberi kekuatan sakti atau magis) bagi senjata-senjata kerajaan. Dalam perang puputan yang terjadi tahun 1908 ternyata Belanda dapat mengalahkan Kerajaan Klungkung. Pemugaran dilakukan oleh Pemerintah selama lima tahun melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali. Upacara penyucian kembali diselenggarakan pada tanggal 23 Maret 1984. Menyaksikan Pura Taman Sari setelah dipugar akan ditemukan kekunoan-kekunoan yang beraneka ragam. Dalam badan meru tumpang sebelas dihiasai dengan relief wayang maupun binatang. Diperoleh pula petunjuk bahwa badan meru pernah dihiasi dengan piring-piring proselen. Seekor naga melilit badan meru dan pada pertemuan kepala dan ekor ditemukan bentuk seekor penyu atau empas. Sebuah kolam yang jernih mengelilingi meru tumpang sebelas ini. Selama penelitian ditemukan pula lima buah arca penjaga. Dari ciri-ciri yang ditemukan di atas, Pura Taman Sari memperlihatkan adanya hubungan budaya dengan Jawa Timur, terutama dari Kerajaan Majapahit. Ciri-ciri di atas ditemukan pula pada beberapa candi di Jawa Timur, seperti Candi Jago, Candi Tiga Wangi dan Candi Panataran. Hubungan sejarah Jawa-Bali sudah dimulai sejak abad XI ketika Raja Airlangga memerintah di Jawa Timur dan Bali diperintah oleh adiknya sendiri, yaitu Mahendradatta dan Udayana. Pembangunan Pura Taman Sari diperkirakan berkaitan dengan sejarah Kerajaan Klungkung. Semula berpusat di Gelgel (3 km di sebelah selatan Klungkung) yang dikenal dengan nama Swecapura atau Lingharsapura, kemudian dipindahkan ke Klungkung dan dikenal dengan nama Smarapura. Diperkirakan Pura Taman Sari dibangun setelah kerajaan berpindah dari Gelgel ke Klungkung, kurang lebih pada abad XVI atau awal abad XVII. Fungsi Pura Taman Sari diperkirakan sebagai tempat suci untuk pemasupatian senjata kerajaan, yaitu pengisian “kekuatan gaib” bagi senjata-senjata kerajaan agar memiliki kesaktian. Hal ini diperkuat dengan  keterangan penduduk, bahwa di halaman luar Pura Taman Sari sering dilakukan latihan perang-perangan oleh para prajurit Kerajaan Klungkung pada jaman dulu (Suteja, 1980: 22-26).

Kerusakan terbesar diperkirakan terjadi pada tahun 1908 ketika terjadi Puputan Klungkung, yaitu perlawanan habis-habisan ketika menghadapi sebuan Belanda. Dengan berdirinya kembali Pura Taman Sari secara utuh banyak manfaat yang dapat diperoleh, antara lain dapat dinikmati bukti sejarah yang memberi gambaran tentang kemampuan masyarakat jaman dulu, di samping itu dapat pula dikembangkan untuk menunjang pariwisata budaya, karena suasana alam di sekitar Pura Taman Sari sangat menunjang untuk pengembangan pariwisata. Dalam suasana pedesaan terdapat beringin yang teduh, pohon-pohon kelapa, bukit hijau dan Sungai Unda yang melintas di sebelah timur. Semuanya ikut mempengaruhi kenikmatan dalam merenungi hasil budaya masa lalu di tengah-tetangah usaha mengejar kemajuan di masa depan.

Data Arkeologi dan Nilai Filosofis Meru

Ditinjau dari asal katanya meru dapat disamakan dengan sebuah gunung suci yang terdapat di India, yaitu Gunung Mahameru. Bertitik tolak dari asal namanya maka bangunan meru adalah merupakan reflika atau tiruan gunung suci tersebut. Hal ini juga terlihat dari bentuknya yang menyerupai bentuk gunung, yang semakin ke atas semakin mengecil. Dalam mitologi Hindu Gunung Mahameru dianggap sebagai Sthana para Dewa, sedangkan di Bali Gunung Agung serta gunung-gunung lainnya dianggap pula pula sebagai Sthana (pelinggih) Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. (Ida Bagus Rata, 1983 : 2). Dalam perkembangannya bangunan meru selain sebagai fungsi Sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa juga berfungsi sebagi tempat pemujaan terhadap roh suci leluhur. Hal ini sesuai dengan kepercayaan yang sudah berkembang jauh sebelum masuknya pengaruh Hinduisme di wilayah Nusantara. Jadi secara umum bangunan meru dapat dikatakan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya dan juga sebagi tempat pemujaan roh suci para leluhur.

Ditinjau dari segi mitologinya bangunan meru erat kaitannya dengan cerita pemutaran lautan susu (Ksirarnawa), yang menceritakan perjuangan para Dewa dan para daitya (raksasa) dalam memperebutkan tirta amerta (air kehidupan), dalam cerita ini dilukiskan bahwa gunung adalah sebagai tongkat pengaduk lautan susu tersebut. Dari mitologi inilah maka sering kita jumpai bangunan suci meru menggunakan kurma (kura-kura) sebagai tali pengikatnya (Ida Bagus Rata, 1983 : 2). Dilihat dari sisi vertikal bentuk bangunan meru dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian dasar (kaki), bagian tengah (badan) dan bagian atas (puncak). Ada juga pandangan yang menghubungkan bagian-bagian bangunan meru dengan konsep Tri Loka, yang terdiri dari :

  1. Jana Loka yang diwujudkan sebagai alam yang penuh godaan
  2. Guru Loka yang diwujudkan sebagai alam yang berisikan kesadaran tentang kedudukan dari pribadi di tengah-tengah alam semesta. Alam ini merupakan sumber rasa luhur atau rasa sejati, yaitu suatu alat perantara antara kesadaran dan kebatinan.
  3. Hendra Loka yaitu alam pikiran manusia dan alam semesta yang merupakan sumber daya cipta dan angan-angan yang juga dinamakan kadibyan (Sastroamidjoyo, 1962 : 39).

Setelah uraian tentang tipologi kata meru, mitologi meru serta bentuk meru berikut ini akan diuraikan sedikit tentang filsafat yang terkandung di dalam bangunan meru, terutama tentang nilai filsafat yang terkandung dalam jumlah tumpang/tingkat atap bangunan meru yang selalu berjumlah ganjil. Dalam kenyataannya dan juga apa yang tersurat dalam dalam naskah-naskah, bangunan meru menggunakan tumpang sebanyak tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas. Jumlah tumpang ini menunjukkan atau dapat dihubungkan dengan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menguasai setiap arah dari kiblat mata angin. Penguasaan setiap arah mata angin oleh para Dewa dalam konsepsi di Bali disebut dengan sebutan pengider-ideran. Dalam pengider-ideran arah tengah selalu ditempati oleh Dewa Siwa. Jadi jumlah tumpang tiga dihubungkan dengan Tri Murti, yaitu: Dewa Siwa menguasai posisi di tengah, Dewa Wisnu menguasai arah utara serta Dewa Brahma menguasai arah selatan. Jumlah tumpang lima dihubungkan dengan Panca Dewata, yaitu : Dewa Tri Murti ditambah dengan Dewa Iswara sebagai penguasa arah timur dan Dewa Mahadewa sebagai penguasa arah barat. Jumlah tumpang tujuh dihubungkan dengan Sapta Rsi (tokoh suci dalam Agama Hindu yang dianggap manunggal dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa), yang terdiri dari : Bagawan Wyasa, Bagawan Sukra, Bagawan Janaka, Bagawan Wrespati, Bagawan Brgu, Bagawan Narada serta Bagawan Kanwa. Tumpang Sembilan dihubungkan dengan Dewa Nawa Sanga, yaitu sembilan manifestasi Ida sang Hyang Widhi Wasa yang menguasai sembilan arah mata angin adalah Panca Dewata ditambah dengan Dewa Sambu sebagai penguasa arah timur laut, Dewa Mahesora sebagai penguasa arah tenggara, Dewa Rudra sebagai penguasa arah barat daya dan Dewa sangkara sebagai penguasa arah barat laut. Tumpang sebelas dihubungkan dengan Eka Dasa Ludra, yaitu Dewa Nawa Sanga ditambah dengan Sadha Siwa dan Parama Siwa sebagai penguasa arah bawah dan atas (Ida Bagus Rata, 1983 : 3).

Sebagaimana telah diuraikan di atas, selain berfungsi sebagai tempat untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, bangunan meru juga berfungsi sebagai tempat memuja para roh leluhur yang telah suci. Berkenaan dengan hal tersebut jumlah tumpang pada bangunan meru juga menunjukkan status social roh suci orang yang didharmakan. Makin banyak jumlah tumpang suatu bangunan meru maka menunjukkan makin tinggi status social orang tersebut. Bangunan meru sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur (pedharman) dapat kita lihat pada kompleks pedharman yang terdapat di Pura Besakih. Pada kompleks pedharman ini terlihat adanya bangunan meru sebagai pedharman    raja-raja Bali, yang antara lain antaranya adalah pedharman Raja Dalem Waturenggong dalam bentuk bangunan meru bertumpang sebelas.

Hal tersebut di atas merupakan sedikit gambaran umum tentang bangunan meru, untuk selanjutnya di bawah ini akan diuraikan mengenai bangunan meru tumpang sebelas dan tumpang sembilan yang terdapat di Pura Taman Sari:

  • Meru Tumpang Sebelas

Bangunan meru tumpang sebelas  Pura Taman Sari secara vertikal dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian dasar (kaki), badan dan atap (tumpang). Struktur bagian kaki bangunan meru tumpang sebelas ini  terbuat dari struktur batu padas dengan denah berbentuk bujur sangkar dan terbagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama kaki bangunan meru tumpang sebelas ini tersusun dari bahan batu padas yang telah diplester dengan bahan campuaran pasir dan semen. Dibuat polos tanpa ada ornament hiasan.

Meru Tumpang Sebelah Pura Taman Sari

Bagian kaki tingkatan kedua bangunan meru tumpang sebelas ini tersusun dari bahan batu padas, polos tanpa ada ornament hiasan. Bagian kaki tingkatan ketiga tersusun dari struktur batu padas dengan akhir rangkaian penukub sebagai batas antara bagian kaki dengan badan bangunan meru tumpang sebelas. Setiap sudut bagian kaki pada tingkatan ketiga ini memiliki ornament hiasan berupa karang goak yang dikombinasikan dengan suluran daun dan bunga. Selain ornament hiasan yang disebutkan di atas, pada bagian kaki tingkatan ketiga ini setiap bidangnya juga dilengkapi dengan panel-panel perbingkain dengan ornament hiasan berupa karang mata (bontulu). Bagian kaki bangunan meru tumpang sebelas ini dikelilingi kolam suci,   berbentuk persegi dan memanjang (seperti huruf “U”) dari selatan kori agung menuju utara pada sisi barat halaman dalam (jeroan), kemudian kolam berbelok ke timur di sisi utara sekaligus mengelilingi bangunan meru tumpang sebelas dan bangunan piasan.

Selanjutnya bagian dari meru tumpang sebelas ini adalah badan meru yang memiliki denah empat persegi dan memiliki bilik untuk menyimpan pratima dengan pintu masuk berada di sisi barat. Bagian badan bangunan meru tumpang sebelas ini merupakan bagian yang kaya akan ornament hiasan, dimana terdapat ornament hiasan berupa Naga Ananthaboga yang melilit bagian bawah badan bangunan meru, dimana              kepala–ekornya hampir bertemu depan pintu masuk meru. Terdapat juga kura-kura raksasa  bermoncong api yang disebut dengan  Kurmagni atau Bedangwangnala. Ornament hias lain yang terdapat pada bagian badan bangunan meru tumpang sebelas ini adalah adanya perbingkaian-perbingkaian dengan relief berupa tokoh pewayangan serta juga terdapat perbingkaian untuk menempatkan mangkok-mangkok keramik kuna.

Meru tumpang sebelas merupakan lambang tingkatan bhuwana agung dan bhuwana alit, yaitu Skala (1, alam nyata), Niskala (2, alam tak nyata), Cunya, Taya, Nirbana, Moksa, Suksmataya, Turnyanta, Ghoryanta, Acintyataya, dan Cayen. Meru tumpang sebelas  juga melambangkan 10 huruf suci ditambah huruf suci Omkara. Sepuluh huruf suci itu adalah sa (Timur, Iswara, putih), ba (Selatan, Brahma, merah), ta (Barat, Mahadewa, kuning), a (Utara, Wisnu, hitam), i (Tengah, Siwa, campuran atau panca warna), na (Tenggara, Mahesora, merah muda), ma (Barat Daya, Ludra, jingga), si (Barat Laut, Sangkara, hijau), wa (Timur Laut, Sambu, biru), ya (Tengah atas, Siwa, panca warna).

  • Meru Tumpang Sembilan

Bangunan meru tumpang sembilan Pura Taman Sari secara vertikal dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian dasar (kaki), badan dan atap (tumpang). Struktur bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini terbuat dari batu padas dengan denah berbentuk bujur sangkar. Bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini secara ornamental memperlihatkan adanya hiasan berupa relief perpaduan antara karang goak, karang mata dan suluran berupa bunga serta daun. Keseluruhan dari ornament/ relief ini terdapat pada setiap sudut bagian kaki bangunan meru tumpang Sembilan ini.  Pada bagian penukub yang merupakan batas antara bagian kaki dan bagian meru tumpang sembilan ini juga terdapat motif hiasan yang berupa pepatran (patra cina). Selain itu pada setiap bidang bagian kaki bangunan meru ini juga terdapat ornament  yang berupa perbingkaian dengan moif hiasan karang mata berpadu dengan suluran daun serta bunga. Bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini juga dilengkapi dengan anak tangga untuk mencapai badan meru.  Tangga ini terdapat pada sisi barat bangunan meru dengan jumlah anak tangga berjumlah tiga buah.

Selanjutnya setelah rangkaian terakhir dari bagian kaki bangunan meru, merupakan bagian badan bangunan meru yang keseluruhan  strukturnya terbuat dari bahan batu padas dan berbentuk gedong. Badan bangunan meru tumpang sembilan ini memiliki bentuk denah persegi empat dengan sebuah pintu masuk yang terletak pada bidang sisi depannya. Pintu ini berfungsi sebagai akses untuk keluar dan masuk menuju keruangan (bilik) bangunan meru. Ruangan atau bilik ini merupakan tempat untuk menempatkan pratima yang disusung oleh seluruh penyungsungPura Taman Sari. Sama halnya dengan bagian kaki, bagian badan bangunan meru tumpang sembilan ini juga memiliki  beberapa ornamen pada setiap bidangnya. Ornamen-ornamen yang terdapat pada bagian bangunan meru tumpang sembilan ini merupakan perbingkaian yang membentuk pola seperti simbar yang terdapat pada tiap-tiap pilar bangunan meru. Pada bagian simbar bawah pola hias yang menghiasinya adalah berupa relief tokoh pewayangan sedangkan pada simbar atas dibuat polos tanpa relief (ukiran). Selain itu pada bagian badan bangunan meru tumpang sembilan ini juga terdapat beberapa perbingkaian untuk menempatkan mangkok-mangkok keramik. Namun sayangnya sekarang ini mangkok-mangkok keramik itu telah hilang.

Bagian terakhir dari struktur bangunan meru tumpang sembilan di Pura Taman Sari  ini adalah bagian atap, bagian atap bangunan meru tumpang sembilan   ini merupakan struktur yang keselurhannya terbuat dari bahan kayu. Bentuk  bagian atap meru tumpang sembilan  ini sesuai dengan filosofis meru yang merupakan tiruan dari sebuah gunung memiliki bentuk yang semakin ke atas semakin mengecil dengan tumpang berjumlah sembilan tumpang, mempergunakan bahan penutup dari ijuk. Secara keseluruhan bagian atap meru tumpang sembilan ini mempergunakan system perkuatan dengan pasak kayu. Dari hasil pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa bagian-bagian bangunan meru tumpang sembilan di  Pura Taman Sari ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang berupa kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biologis dan vandalism. Secara visual gejala-gejala kerusakan dan pelapukan yang nampak pada bangunan meru tumpang sembilan ini antara lain berupa : pecah, patah, retak, aus (lapuk), penggaraman, tumbuhnya jasad-jasad organik  (moss, algae, lichen) serta adanya tancapan-tancapan paku.

Meru Tumpang 9 merupakan perlambang delapan huruf di seluruh penjuru mata angin (sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) ditambah huruf Omkara (huruf suci Sanghyang Widi Wasa) di tengah, kesemuanya melambangkan Dewata Nawa Sanga (Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Ludra, Mahadewa, Sangkara, Siwa).

Data Teknis

Data teknis adalah berupa data dasar, meliputi data yang menjelaskan tentang bentuk, ukuran, jenis bahan, kondisi dan tingkat kerusakan, baik kerusakan struktural maupun arsitektural, serta pelapukan bahan. Perolehan atau pengumpulan data teknis harus didasarkan pada konsep yang menjelaskan bahwa factor penyebab kerusakan bangunan cagar budaya terdiri dari dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan jenis dan sifat bahan, jenis dan sifat tanah dasar serta teknologi pembuatan. Sedangkan factor eksternal berhubungan dengan lingkungan biota (flora dan fauna) dan abiota (geotofografi dan iklim).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, data teknis yang berhasil dikumpulkan pada kegiatan evaluasi pasca pemugaran bangunan meru tumpang sebelas dan tumpang sembilan Pura Taman Sari.  Kedua buah bangunan meru ini  secara tata letak berada pada tempat pemujaan di  jeroan Pura Taman Sari Klungkung. Dari segi orientasi, bangunan meru umumnya menghadap ke barat sebagai tempat pemujaan utama berderet pada sisi timur dari utara ke selatan(kaja-kelod)dengan bangunan-bangunan padma, gedong, dan pemujaan suci lainnya, sehingga arah pemujaan menghadap ke timur ke arah matahari terbit. Dilihat dari sisi vertikal kedua buah bangunan meru yang terdapat di Pura Taman Sari Klungkung ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : bagian kaki (dasar), bagian badan dan bagian atap (tumpang). Pembagian terhadap fisik suatu bangunan suci seperti disebutkan di atas merupakan penghubungan dengan konsep Tri Angga.  Untuk lebih jelasnya tentang kedua buah bangunan meru ini akan diuraikan sebagai berikut :

  • Meru Tumpang Sebelas
  • Bagian Kaki
Bagian Kaki Meru Tumpang Sebelas

Bangunan meru tumpang sebelas  Pura Taman Sari secara vertikal dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian dasar (kaki), badan dan atap (tumpang). Struktur bagian kaki bangunan meru tumpang sebelas ini  terbuat dari struktur batu padas dengan denah berbentuk bujur sangkar dan terbagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama kaki bangunan meru tumpang sebelas ini tersusun dari bahan batu padas yang telah diplester dengan bahan campuaran pasir dan semen. Dibuat polos tanpa ada ornament hiasan berukuran panjan 950 cm, lebar 940 cm dan tinggi 50 cm. Bagian kaki tingkatan kedua bangunan meru tumpang sebelas tersusun dari bahan batu padas, polos tanpa ada ornament hiasan. Memiliki ukuran yang lebih kecil daripada bagian kaki pertama dengan ukuran    panjang 915 cm, lebar 895 cm dan tinggi 75 cm. Bagian kaki tingkatan ketiga tersusun dari struktur batu padas berukuran panjang 850 cm, lebar 835 cm dan tinggi 75 cm,  dengan akhir rangkaian penukub sebagai batas antara bagian kaki dengan badan bangunan meru tumpang sebelas. Setiap sudut bagian kaki pada tingkatan ketiga ini memiliki ornament hiasan berupa karang goak yang dikombinasikan dengan suluran daun dan bunga. Selain ornament hiasan yang disebutkan di atas, pada bagian kaki tingkatan ketiga ini setiap bidangnya juga dilengkapi dengan panel-panel perbingkain dengan ornament hiasan berupa karang mata (bontulu). Bagian kaki bangunan meru tumpang sebelas ini dikelilingi kolam suci,   berbentuk persegi dan memanjang (seperti huruf “U”) dari selatan kori agung menuju utara pada sisi barat halaman dalam (jeroan), kemudian kolam berbelok ke timur di sisi utara sekaligus mengelilingi bangunan meru tumpang sebelas dan bangunan piasan. Dan akhirnya, bentangan kolam berakhir di bagian tenggara halaman.

Pengamatan dilapangan dapat diketahui bahwa bagian kaki bangunan meru tumpang sebelas  ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang terdiri dari gejala kerusakan mekanis, kerusakan fisis, pelapukan chemis dan pelapukan biologis. Visualias dari gejala-gejala kerusakan dan pelapukan ini adalah berupa retak, pecah, patah, pengelupasan, penggaraman, aus dan tumbuhnya jasad-jasad organik berupa moss, lichen dan algae.

  • Bagian Dalam
Bagian Badan Meru Tumpang Sebelas

Badan bangunan meru tumpang sebelas memiliki denah empat persegi berukuran panjang 640 cm, lebar 525 cm dan tinggi 225 cm serta memiliki bilik untuk menyimpan pratima dengan pintu masuk berada di sisi barat. Bagian badan bangunan meru tumpang sebelas ini merupakan bagian yang kaya akan ornament hiasan, dimana terdapat ornament hiasan berupa Naga Ananthaboga yang melilit bagian bawah badan bangunan meru, dimana  kepala–ekornya hampir bertemu depan pintu masuk meru. Terdapat juga kura-kura raksasa  bermoncong api yang disebut dengan  Kurmagni atau Bedangwangnala. Ornament hias lain yang terdapat pada bagian badan bangunan meru tumpang sebelas ini adalah adanya perbingkaian-perbingkaian dengan relief berupa tokoh pewayangan serta juga terdapat perbingkaian untuk menempatkan mangkok-mangkok keramik kuna.

Pengamatan dilapangan dapat diketahui bahwa bagian kaki bangunan meru tumpang sebelas  ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang terdiri dari gejala kerusakan mekanis, kerusakan fisis, pelapukan chemis dan pelapukan biologis. Visualias dari gejala-gejala kerusakan dan pelapukan ini adalah berupa retak, pecah, patah, pengelupasan, penggaraman, aus dan tumbuhnya jasad-jasad organik berupa moss, lichen dan algae.

  • Bagian Atap

Bagian atap bangunan meru tumpang sebelas Pura Taman Sari Klungkung merupakan struktur yang keseluruhannya terbuat dari bahan kayu dan ditutupi dengan ijuk serta memmpergunakan sistem perkuatan pasak berbahan kayu . Bagian atap ini terdiri dari sembilan tumpang, dimana semakin ke atas ukurannya semakin mengecil. Seperti telah disebutkan di atas bahwa bangunan meru ini memiliki tumpang yang semakin ke atas semakin kecil, bagian tumpang ini terdiri dari rangkaian lambang (blandar), balok jurai (pemucu), pemade, usuk, papan tabing, tarib gedeg, lisplank dan ijuk.

Bagian Atap Meru Tumpang Sebelas

Dari pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa bagian-bagian bangunan meru tumpang sebelas di  Pura Taman Sari ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang berupa kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biologis dan vandalism. Secara visual gejala-gejala kerusakan dan pelapukan yang nampak pada bangunan meru tumpang sebelas ini antara lain berupa : pecah, patah, retak, aus (lapuk), penggaraman, tumbuhnya jasad-jasad organik  (moss, algae, lichen) serta adanya  tancapan-tancapan paku.

  • Meru Tumpang Sembilan 
  • Bagian Kaki
Bagian Kaki Meru Tumpak Sembilan

Bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini memiliki denah (bentuk) bujur sangkar yang secara struktur terbuat dari bahan batu padas dengan ukuran  570 cm x 570 cm dan tinggi 75 cm. Secara ornamental bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini memiliki ornament hiasan berupa perbingkaian yang berupa karang mata atau buntulu serta pada setiap sudut terdapat ornament berupa karang guak.  Pada bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini  terdapat anak tangga yang berada di sisi barat, anak tangga ini berfungsi sebagai akses untuk menuju ke bagian badan atau bilik bangunan meru tumpang sembilan. Anak tangga ini berjumlah tiga takikan. Dari hasil pengamatan dilapangan dapat diketahui bahwa bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang terdiri dari gejala kerusakan mekanis, kerusakan fisis, pelapukan chemis dan pelapukan biologis. Visualias dari gejala-gejala kerusakan dan pelapukan ini adalah berupa retak, pecah, patah, pengelupasan, penggaraman, aus dan tumbuhnya jasad-jasad organik berupa moss, lichen dan algae.

  • Bagian Badan
Bagian Badan Meru Tumpang Sembilan

Bagian badan bangunan meru tumpang sembilan ini merupakan struktur yang keseluruhannya terbuat dari bahan batu padas, memiliki bentuk denah persegi empat berukuran 445 cm x 445 cm dan tinggi 225 cm. Bagian badan bangunan meru tumpang sembilan ini dilengkapi dengan  sebuah pintu masuk pada sisi bidang depannya (barat), pintu masuk ini merupakan akses untuk keluar–masuk menuju ke ruangan (bilik) bangunan meru. Pintu ini terbuat dari bahan kayu nangka dengan kusen juga terbuat dari bahan yang sama. Secara keseluruhan pintu dan kusen  ini memiliki motif hiasan kupakan khas Bali. Badan bangunan meru tumpang sembilan ini secara umum merupakan hasil rekontruksi dari kegiatan pemugaran yang telah dilaksankan beberapa tahun yang lalu, dimana sebagian besar bahannya merupakan bahan baru. Sama halnya dengan bagian kaki, bagian badan bangunan meru tumpang sembilan ini juga memiliki  beberapa ornamen pada setiap bidangnya. Ornamen-ornamen yang terdapat pada bagian bangunan meru tumpang sembilan ini merupakan perbingkaian yang membentuk pola seperti simbar yang terdapat pada tiap-tiap pilar bangunan meru. Pada bagian simbar bawah pola hias yang menghiasinya adalah berupa relief tokoh pewayangan sedangkan pada simbar atas dibuat polos tanpa relief (ukiran). Selain itu pada bagian badan bangunan meru tumpang sembilan ini juga terdapat beberapa perbingkaian untuk menempatkan mangkok-mangkok keramik. Namun sayangnya sekarang ini mangkok-mangkok keramik itu telah hilang.

Hasil pengamatan dilapangan dapat diketahui bahwa bagian kaki bangunan meru tumpang sembilan ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang terdiri dari gejala kerusakan mekanis, kerusakan fisis, pelapukan chemis dan pelapukan biologis. Visualias dari gejala-gejala kerusakan dan pelapukan ini adalah berupa retak, pecah, patah, pengelupasan, penggaraman, aus dan tumbuhnya jasad-jasad organik berupa moss, lichen dan algae.

  • Bagian Atap
Bagian Atap Meru Tumpang Sembilan

Bagian atap bangunan meru tumpang sembilan Pura Taman Sari Klungkung merupakan struktur yang keseluruhannya terbuat dari bahan kayu dan ditutupi dengan ijuk serta memmpergunakan sistem perkuatan pasak berbahan kayu . Bagian atap ini terdiri dari sembilan tumpang, dimana semakin ke atas ukurannya semakin mengecil. Seperti telah disebutkan di atas bahwa bangunan meru ini memiliki tumpang yang semakin ke atas semakin kecil, bagian tumpang ini terdiri dari rangkaian lambang (blandar), balok jurai (pemucu), pemade, usuk, papan tabing, tarib gedeg, lisplank dan ijuk. hasil pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa bagian-bagian bangunan meru tumpang sembilan di  Pura Taman Sari ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang berupa kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biologis dan vandalism. Secara visual gejala-gejala kerusakan dan pelapukan yang nampak pada bangunan meru tumpang sembilan ini antara lain berupa : pecah, patah, retak, aus (lapuk), penggaraman, tumbuhnya jasad-jasad organik  (moss, algae, lichen) serta adanya tancapan-tancapan paku.

Data Keterawatan

Bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan yang terdapat di Pura Taman Sari secara umum belum pernah mendapatkan usaha-usaha perawatan, baik itu perawatan secara tradisional maupun secara modern. Kalaupun ada usaha-usaha untuk melaksanakan perawatan hanya berupa pembersihan yang dilaksaakan oleh juru pelihara yang bertugas di pura ini. Dari hasil observasi di lapangan, dapat disimpulkan keadaan meru tumpang sebelas dan sembilan tersebut telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan yang cukup memprihatinkan yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, seperti gempa bumi, debu dan garam-garam terlarut dari hasil penguapan air. Begitu juga adanya kapilarisasi air tanah dan hujan yang nantinya akan menambah kerusakan dan pelapukan yang lebih parah lagi. Selain yang disebabkan oleh faktor di atas juga telah terjadi pertumbuhan jasad-jasad organik, seperti moss, algae, lichen dan pertumbuhan rumput yang termasuk tumbuhan perdu lainnya.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa meru tumpang sebelas dan sembilan ini telah mengalami beberapa jenis kerusakan dan pelapukan, yang antara lain adalah kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biologis dan vandalisme.

  • Kondisi Fisik dan Data Kerusakan
  • Kerusakan Struktural
Gejala Kerusakan Struktural

Suatu kondisi yang tidak utuh , tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur struktural suatu bangunan cagar budaya.Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek struktural suatu bangunan seperti : stabilitas tanah dasar/pondasi, sistem sambungan yang digunakan, jenis atap yang digunakan, kuat tekan, kuat geser dll. Pengertian kerusakan struktural bangunan cagar budaya ini berlaku untuk semua jenis bangunan , baik bangunan cagar budaya yang berbahan batu, kayu maupun bata.  Data-data kerusakan struktural sangat berguna untuk menentukan metode dan penyelesaian yang berkaitan dengan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi dengan memperhatikan faktor penyebab dan proses terjadinya kerusakan tersebut. Berdasarkan pengertian kerusakan struktural dan  berdasarkan pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa  bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan  di Pura Taman Sari  ini sudah mengalami gejala kerusakan secara struktural, dimana kondisi riil dari kerusakan struktural ini adalah berupa adanya komponen-komponen meru tumpang sebelas dan sembilan  yang patah, retak dan pecah.   Secara umum gejala kerusakan struktural yang terjadi pada bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan  ini kurang lebih masing-masing mencapai sekitar 15% dan 8%  dari keseluruhan bidang permukaan bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan.

  • Kerusakan Arsitektural
Gejala Kerusakan Arsitektural

Suatu kondisi yang tidak utuh, tidak sempurna yang terjadi pada         unsur-unsur arsitektural suatu bangunan cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek arsitektural suatu bangunan adalah meliputi    unsur-unsur dekoratif, relief, umpak, dll. Data-data kerusakan arsitektural ditinjau dari kelengkapan unsur atau komponen bangunan yang masih asli, yang telah diganti/diubah, dan bagian dari bangunan yang hilang berdasarkan pendekatan keaslian bentuk arsitekturnya. Data identifikasi kerusakan arsitektural digunakan untuk menentukan langkah-langkah pemulihan aspek arsitektur suatu bangunan berdasar pada prinsip-prinsip dan kaidah pemugaran. Secara umum kerusakan arsitektural yang terjadi pada bangunan meru tumpang tujuh dan sembilan di Pura Taman Sari adalah berupa  ornamen-ornamen hiasan yang sudah aus dan terkelupas serta hilangnya ornamen-ornamen hiasan berupa mangkok-mangkok keramik yang terdapat pada meru tumpang sebelas . Dari hasil pengamatan di lapangan prosentase gejala kerusakan arsitektural dari keseluruhan permukaan bidang bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan ini   mencapai kurang lebih 10% dan 6% dari masing-masing keseluruhan permukaan bidang bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan ini.

  • Data Kerusakan

Berdasarkan sifat-sifatnya, faktor yang memicu proses degradasi bahan pada benda cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor perencanaan  (teknologi pembuatan) dan faktor menurunnya rasio kwalitas bahan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan seperti iklim, air, biologis (mikroorganisme), bencana alam dan vandalisme (manusia).

Dari segi bentuknya, bentuk degradasi yang terjadi pada bangunan cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerusakan dan pelapukan. Kerusakan dan pelapukan mempunyai pengertian yang hampir sama, tetapi secara teknis istilah tersebut dapat dibedakan. Dimana yang dimaksud dengan kerusakan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan cagar budaya yang tidak disertai dengan perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawi, sedangkan pelapukan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan cagar budaya yang disertai dengan adanya perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawinya.

Dari hasil pengamatan/observasi yang dilakukan maka teridentifikasi proses kerusakan atau pelapukan yang terjadi di bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan  Pura Taman Sari Klungkung adalah sebagai berikut :

  • Kerusakan Mekanis
Gejala Kerusakan Mekanis

Merupakan kerusakan yang dapat dilihat secara visual berupa retak, pecah dan patah. Kerusakan ini juga terkait dengan kondisi lingkungan bangunan cagar budaya terutama fluktuasi suhu udara, disamping tidak terlepas  dari gaya statis maupun gaya dinamis. Yang dimaksud dengan gaya statis adalah adanya tekanan beban dari atas terhadap lapisan batu di bawahnya, sedangkan yang dimaksud dengan gaya dinamis adalah suatu gaya yang dipengaruhi oleh faktor luar  (eksternal), seperti getaran gempa bumi (faktor alam). Kerusakan mekanis yang terjadi pada bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan di Pura Taman Sari masing-masing mencapai angka prosentase kurang lebih mencapai 20% untuk meru tumpang sebelas dan 8% untuk meru tumpang sembilan dari  keseluruhan permukaan bidang kedua buah bangunan meru tersebut. Visualisasi gejala kerusakan mekanis yang dapat kita lihat pada kedua buah bangunan meru ini adalah berupa  pecah, patah, retak dan hilang.

  • Pelapukan Fisis
Gejala Kerusakan Fisis

Merupakan kerusakan yang disebabkan oleh iklim dimana bangunan cagar budaya itu berada,  baik secara mikro maupun secara makro. Unsur iklim, suhu dan kelembaban merupakan faktor utamanya, besarnya amplitudo suhu dan kelembaban baik itu siang maupun malam hari akan sangat memicu terjadinya kerusakan secara fisis. Jenis kerusakan ini adalah berupa penglupasan, retak, pecah-pecah dan lain-lain. Prosentase gejala kerusakan ini pada bangunan meru tumpang sebelas mencapai prosentase 25% dan pada meru tumpang sembilan mencapai prosentase 12% dari masing-masing keseluruhan permukaan bidang kedua buah  bangunan meru tersebut.

  • Pelapukan Chemis
Gejala Pelapukan Chemis

Pelapukan yang terjadi pada bangunan cagar budaya sebagai akibat dari proses atau reaksi kimiawi. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan dan suhu. Air hujan dapat melapukan benda melalui proses oksidasi, karbonatisasi, sulfatasi dan hidrolisa. Gejala-gejala yang nampak pada pelapukan ini adalah berupa penggaraman. Prosentase gejala kerusakan ini pada bangunan meru tumpang sebelas mencapai prosentase 18% dan pada bangunan meru tumpang sembilan mencapai prosentase 6% dari masing-masing keseluruhan permukaan bidang kedua bangunan meru tersebut.

  • Pelapukan Biologis
Gejala Pelapukan Biologis

Pelapukan pada material bangunan cagar budaya yang disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme, seperti pertumbuhan  jasad-jasad organik berupa lichen, moss, algae dan tumbuhan perdu. Gejala yang nampak pada kerusakan ini adalah berupa diskomposisi struktur material, pelarutan unsur dan mineral, adanya noda pada permukaan material dan sebagainya. Prosentase gejala pelapukan ini pada bangunan meru tumpang tujuh dan sembilan  di Pura Gunung Sari Timbulkira-kira mencapai 90% dari masing-masing bidang bangunan meru.

  • Vandalisme
Vandalisme

Merupakan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti adanya tancapan paku, olesan semen maupun pc dan yang lainnya. Prosentase gejala vandalisme ini pada kedua buah bangunan meru yang terdapat di Pura Taman Sari ini prosentasenya relatif kecil. Masing-masing mencapai angka kurang lebih 1% untuk keseluruhan permukaan bidang bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan tersebut.

  • Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan
  • Faktor Internal

Faktor internal meliputi faktor perencanaan  (teknologi pembuatan), faktor menurunnya rasio kwalitas bahan  serta letak atau posisi bangunan. Bangunan yang dibuat dengan perencanaan atau teknologi yang baik akan memiliki daya tahan yang baik serta dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor mekanis dan fisik. Bangunan yang dibuat dengan bahan yang kwalitasnya jelek akan cepat mengalami kerusakan sedangkan bangunan yang dibuat dengan bahan yang bagus akan bertahan lebih lama dari berbagai macam kerusakan dan pelapukan serta tanah tempat suatu bangunan cagar budaya berdiri juga mempengaruhi kelestarian material bangunan. Tanah yang memiliki sifat rentan terhadap faktor air, daya tahannya akan mudah menurun sehingga menyebabkan kondisi bangunan tidak stabil.

  • Faktor External

Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang meliputi faktor fisis (suhu, kelembaban, hujan), faktor biologis, faktor kimiawi, bencana alam serta faktor manusia (vandalisme). Pengaruh suhu dan kelembaban yang yang tinggi dan berubah-ubah akan mengakibatkan suatu bangunan cagar budaya kondisinya tidak stabil, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan dan pelapukan. Air hujan juga akan menyebabkan kelembaban pada bangunan cagar budaya akan meningkat yang pada akhirnya akan merangsang tumbuhnya jasad-jasad organik pada permukaan material cagar budaya yang pada akhirnya juga akan menimbulkan kerusakan dan pelapukan. Faktor eksternal penyebab kerusakan dan pelapukan pada bangunan cagar budaya sangat sulit untuk dihindari, apalagi terhadap bangunan cagar budaya yang terdapat di alam terbuka.

Pembahasan

Kegiatan evaluasi pasca pemugaran merupakan suatu kegiatan untuk merekam atau mengumpulkan data kerusakan yang terjadi pada suatu bangunan cagar budaya yang sudah mendaptkan usaha pelestarian berupa pemugaran pada waktu yang lalu. Kegiatan evaluasi pasca pemugaran ini dipandang sangat perlu dilaksanakan mengingat akan pentingnya pemantauan akan kondisi terkini dari bangunan cagar budaya yang sudah mendapatkan perlakuan pelestarian melalui kegiatan pemugaran.

Mengingat akan pentingnya kegiatan evaluasi pasca pemugaran, maka dilaksanakanlah kegiatan ini terhadap dua buah bangunan  cagar budaya yang berupa bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan di Pura Taman Sari, yang sudah pernah mendapatkan usaha pelestarian melalui kegiatan pemugaran beberapa tahun yang lalu setelah mengalami bencana kebakaran yang terjadi pada tanggal 31 Juli 2009.  Merupakan rentang yang sudah cukup lama untuk melaksanakan pengamatan terhadap kondisi terkini dari kedua buah bangunan meru yang terdapat di Pura Taman Sari ini dari selesainya pelaksanaan pemugarannya beberapa tahun yang lalu, baik itu terhadap kondisi fisik bangunan maupun kondisi keterawatannya. 

Selama pelaksanaan kegiatan evaluasi pasca pemugaran terhadap bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan  ini, secara umum kondisi bangunan cagar budaya  ini masih sangat baik. Rentang waktu dari selesai dipugar sampai dengan sekarang, kondisi fisik dari kedua buah bangunan meru Pura Taman Sari ini  masih terlihat stabil. Dan kalaupun ada      gejala-gejala kerusakan dan pelapukan jumlah dan prosentasenya tidak terlalu besar. Dilihat dari data pemugaran yang berupa gambar-gambar rencana pemugaran serta data dokumentasi berupa foto dapat diketahui bahwa proses pelaksanaan pemugaran pada saat itu telah menerapkan sistem pemugaran yang baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip pemugaran bangunan cagar budaya.

Penerapan pemugaran dengan memperhatikan syarat-syarat teknis tersebut di atas juga dibarengi dengan pelaksanaan prinsip-prinsip konservasi, baik itu konservasi struktur bangunan maupun konservasi bahan/komponen bangunan yang merupakan unsur asli bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan . Konservasi struktur bangunan adalah dengan pemasangan lapisan kedap air jenis thermosetting pada bagian plat dan antara batu isian dengan dengan batu yang merupakan kompnen asli (batu kulit), hal ini bertujuan untuk mengantisipasi kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh adanya kapilarisasi air tanah.  Lebih jelasnya mengenai penanganan gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan Pura Taman Sari ini   akan diuraikan pada bab rencana penanganan di bawah ini.

Rencana Penanganan Gejala Kerusakan dan Pelapukan

  • Penanganan Tradisional

Penanganan secara tradisional dilakukan dengan mempergunakan peralatan seperti solet, sapu lidi, sikat ijuk, kapi serta peralatan lainnya. Tindakan ini efektif bila kerusakan secara biologis seperti moss, algae dan lichen telah mengering dan mati.

  • Penanganan Modern

Perawatan modern adalah perawatan yang dilakukan dengan mempergunakan bahan kimia. Adapun jenis penanganan perawatan modern yang dilakukan adalah : pembersihan, perbaikan, konsolidasi, pengawetan dan pemberian lapisan pelindung (coating). Berikut ini akan diuraikan tentang bagaimana kegiatan penanganan  secara modern dilaksanakan :

  • Pembersihan
  • Pemmbersihan Mekanis Kering, Kegiatan ini dimaksudkan untuk membersihkan akumulasi debu, kotoran-kotoran dan endapan-endapan tanah dalam bentuk inkratasi bekas-bekas rumah serangga. Dalam pelaksanaannya pembersihan mekanis kering dilaksanakan dengan hati-hati dan cermat untuk menghindari adanya pertambahan kerusakan mekanis.
  • Pembersihan Mekanis Basah, Kegiatan pembersihan mekanis basah disini dengan mempergunakan bahan kimia jenis AC 322 dengan tujuan untuk membunuh jasad-jasad renik yang sangat membandel dan masih aktif.
  • Pembersihan Chemis, Pembersihan chemis dilakukan untuk membersihkan noda-noda yang sulit dibersihkan secara tradisional, seperti moss, algae, lichen, dan garam-garam yang sudah mengendap. Bahan yang dipergunakan pada kegiatan ini adalah pelarut organic sejenis alcohol, aceton dan larutan air . Sebelum mempergunakan bahan-bahan tersebut perlu dilaksanakan pengujian terlebih dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan dampak yang terjadi terhadap obyek yang akan dikonservasi.
  • Perbaikan

Adapun beberapa cara untuk menangani jenis kerusakan yang terdapat pada bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan di Pura Taman Sari  adalah sebagai berikut :

  • Penyambungan, Kegiatan ini dilakukan pada batu padas yang pecah maupun yang patah. Adapun bahan yang dipergunakan adalah DF 614 dengan perbandingan 1 : 4.
  • Kamuflase, Sasaran dari kegiatan ini adalah pada bagian batu padas yang telah disambung, dengan tujuan untuk menyangga dan memperkuat bekas sambungan tadi. Bahan yang dipergunakan adalah bubuk batu padas.
  • Konsolidasi, Untuk memperkuat struktur batu padas yang telah lapuk maka sangat perlu dilakukan konsolidasi. Adapun bahan yang dipergunakan adalah paraloid B-72 dengan bahan pelarut Ethyl Acetate  dengan konsentrasi 3 % .
  • Pengawetan, Untuk pengawetan batu padas dipergunakan bahan Nyvar X-1 dengan konsentrasi 5 %. Pengawetan dilakukan pada semua permukaan  batu padas.
  • Pelapisan (Coating), Tindakan pemberian lapisan pelindung, sasarannya adalah diseluruh permukaan komponen kedua buah bangunan meru,  karena lokasi bangunan cagar budaya ini  berada di tempat yang tidak terlindung.
  • Kedap Air, Pemasangan kedap air disini sangat diperlukan dengan tujuan untuk menghindari akan terjadinya kapilarisasi air yang masuk ke dalam dua buah bangunan meru, baik itu air tanah maupun air hujan.

Kesimpulan

Setelah dilaksanakannya kegiatan evaluasi pasca pemugaran terhadap bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan Pura Taman Sari Klungkung, yang diantaranya dengan melaksanakan pengamatan terhadap obyek yang menjadi sasaran kegiatan, pendokumentasian dalam bentuk foto serta gambar dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi kedua buah bangunan cagar budaya ini masih dalam keadaan baik dan stabil. Hal ini dikarenakan pada saat pelaksanaan pemugarannya dulu telah dilakukan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pemugaran cagar budaya. Selain itu dari segi pemeliharaan yang dilaksanakan oleh masyarakat (pengemong dan Penyungsung) dan juru pelihara situs  sudah sangat baik, dengan melaksankan kegiatan pembersihan yang dilaksanakan secara terus-menerus (konsisten). Jadi secara keseluruhan kondisi bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan ini  masih baik dan stabil setelah selesainya pemugaran beberapa tahun yang lalu, walaupun ada beberapa bagian bangunan meru  ini yang mengalami gejala kerusakan dan pelapukan. Namun hal itu hanya merupakan gejala kerusakan dan pelapukan kecil dan dapat dilakukan perbaikan dengan system konsoloidasi dan kamuflase (konservasi).

Saran

Melalui hasil kegiatan evaluasi pasca pemugaran yang dilaksanakan terhadap bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan dapat diberikan beberapa saran atau masukan terhadap keberadaan kedua buah bangunan cagar  ini  agar kondisinya senatiasa baik dan terawat :

  1. Melihat dengan adanya gejala kerusakan dan pelapukan pada beberapa komponen bangunan meru tumpang sebelas dan Sembilan Pura Taman Sari Klungkung, hendaknya perlu dilaksanakan upaya penanganan dengan sistem konsolidasi dan kamuflase (konservasi) yang kiranya  dapat mencegah kerusakan dan pelapukan yang lebih lanjut, sehingga kelestarian gapura kuna  ini dapat terus terjaga.
  2. Pelaksanaan pelastarian yang berupa kegiatan konservasi hendaknya diawali dengan pengkajian terhadap obyek yang akan dikonservasi serta juga berkenaan dengan bahan konservan yang akan dipergunakan, sehingga akan mendapatkan hasil konservasi yang baik dan efisien.
  3. Sebagai langkah preventif terhadap kelestarian bangunan  cagar budaya ini, hendaknya seluruh masyarakat Bali   senantiasa menjaga warisan budaya yang tak ternilai ini, agar nantinya dapat diwariskan kepada  generasi-generasi berikutnya.