Konservasi Di Museum Asi Mbojo, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat

0
9233
asi mbojo
asi mbojo

Kegiatan Konservasi di Museum Asi Mbojo Kota Bima merupakan pertanggungjawabanian program kerja tahun anggaran 2013, Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar wilayah kerja Propinsi Bali,  NTB dan NTT  yang dilaksanakan oleh staf teknis dari tanggal 2 s/d 8 Juli 2013 diketuai oleh Drs. I Gusti Ngurah Adnyana. Dari hasil kegiatan dilapangan dapat dijaring beberapa data arkeologis dan nonarkeologis, serta beberapa data lainnya yang terkait  erat dengan pelestarian Cagar Budaya, yang tersimpan di Museum Asi Mbojo.

Secara geografis Kota Bima terletak di bagian ujung timur Pulau Sumbawa pada posisi 118⁰ 41’00’’-118’48’00’’ Bujur Timur dan 8⁰ 20’00’’ Lintang Selatan. Secara administrasi Kota Bima terdiri dari 5 (lima) Kecamatan dan 38 (tiga puluh delapan) Kelurahan. Melihat dari keberadaan  Museum Asi Mbojo tepatnya berlokasi di wilayah  RT 08 RW 03 Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima,  Propinsi Nusa Tenggara Barat. Letaknya berada di jantung Kota Bima yaitu pada bagian depan Alun-alun Kota Bima menghadap ke barat tepatnya  berada di jalan Sultan Ibrahim Nomor 2 dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan jalan Gajah Mada, sebelah timur berbatasan dengan jalan Kartini,  sebelah selatan berbatasan dengan jalan Sukarno Hata dan sebelah barat berbatasan dengan jalan Sultan Ibrahim.

  • Peninggalan Benda Cagar Budaya

1. Baju besi : digunakan saat pasukan kesultanan Bima menghadapi perang melawan Belanda, baju ini dibeli dari bangsa portugis pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin Tahun 1640-1682,  adapun ukurannya  panjang 73 Cm, lebar badan 52 Cm, lebar lengan 14 Cm dan  diameter leher 20 Cm.

2.  Senapan terdiri dari dua bagian yaitu : bagian laras dan gagang yang terbuat bahan besi dan kayu,  senapan ini dalam keadaan utuh. Adapun  ukurannya panjang 100 Cm dan diameter  peluru 4, 5 Cm.

3. Senapan terdiri dari dua bagian yaitu :  bagian laras terbuat dari besi dan bagian gagang terbuat dari kayu. Namun senapan ini, dalam keadaan tidak utuh, dengan ukuran panjang 128, 5 Cm dan diameter peluru 4 Cm.

4.  Senapan ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian laras terbuat dari besi dan bagian gagang terbuat dari kayu dalam keadaan utuh, dengan ukuran 118 Cm.

5. Tambur Komando Laskar Kesultanan Bima yang terbuat dari bahan  kulit kerbau dipadu kuningan dan kayu mulai dikenal oleh masyarakat pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin Tahun 1940-1682

6. Tombak mata dua atau mata ganda (Buja Nganga Dua) tomabak ini  terdiri dari dua bagian bagian mata tombak dan gagang  tombak dengan ukuran panjang tombak  210 Cm, panjang mata tombak 25 Cm

7. Tombak mata satu panjang tombak 75 Cm dan panjang mata tombak 35 Cm bentuk polos.

8. Tombak mata satu dengan ukuran panjang tombak 172 Cm dan panjang mata tomabak 29, 5 Cm bentuk polos

9. Tombak mata tiga (Buja Nganga Tolu) panjang tombak 204 Cm dan panjang mata tombak 43 Cm bentuk polos

10. Tombak bermata sepuluh dengan ukuran panjang tombak 2 meter, panjang mata tombak 30 Cm bentuk tomabak polos

11. Tombak memiliki sayap (Buja Kapeme) adapun ukurannya panjang tombak 232 Cm, panjang mata tombak 27 Cm dan lebar sayap 19 Cm

12. Tombak memiliki sayap (Buja Kapeme) adapun ukurannya panjang tombak 215 Cm, panjang mata tombak 37 Cm, lebar sayap 24 Cm bentuk bulat

13. Lonceng terbuat dari bahan perunggu dalam keadaan sudah retak pada bagian kepala, dengan ukuran  tinggi 40 Cm, diameter bawah 43 Cm dan diameter atas 24 Cm dan angka tahun 1735

2.3 Latar Sejarah

Mengenai sejarah Museum Asi Mbojo tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Kerajaan Bima. Untuk mengungkapkan sejarah Bima sangat begitu sulit dilakukan, hal ini  karena minimnya data-data tertulis yang membahas masalah Bima. Namun untuk mengungkap keberadaan Bima hanya di dukung data dongeng dan dipadukan secara tradisi-tradisi yang berasal dari pelbagai jaman dan beraneka sumber. Dari data yang diungkapkan sejarawan Belanda Zollinger dalam bukunya mengungkap daerah Bima   pernah melewati satu jaman yang dipimpin para tetua, kepala desa yang diberi gelar ncuhi. Inilah zaman prakerajaan. Tidak jelas benar kapan zaman ini karena diliputi mitos. Lebih dari itu, pengelompokan ncuhi sangat berbau jawa sehingga pembagian kekuasaan tradisional versi ini dikatakan pernah berkembang di Bima, sangat mengada-ada. Berdasarkan sejarah masa lampau Bima amat kabur tapi seperti kata Rauffae, dari peninggalan agama Siwa seperti Wadu Pa, a nyatanya bahwa orang-orang jawa telah datang ke Bima sejak pendirian Majapahit. Kerajaan Bima berdiri setelah para ncuhi sepakat membentuk federasi. Bima atau Mbojo menjadi pusat kerajaan. Lahirlah istilah Rasanahe atau negeri besar. Wilayah ini semula dipimpin Ncuhi Dara lawan kata Rasanae adalah Rosatoi atau negeri kecil yakni sebutan untuk wilayah di luar Bima atau daerah pedalaman. Ada anggapan jika mengacu pada tinggalan Wadu Pa,a yang bercorak Siwa–Budha, kerajaan Bima berdiri tahun 709 Masehi. Melihat pendiriannya menurut anggapan para ahli sejarah adalah Sang Bima. Konon Bima Sekitar abad ke 16 pernah menjadi Kerajaan yang makmur. Ini dapat dilihat dari gambaran pengelana Portugis Tome Pires yang menyebut Bima kaya beras, ikan dan kain tenunan. Daerah ini amat strategis karena berada di jalur perdagangan Nusantara. Saat itu Bima dipimpin oleh Raja Sarise. Bagi Kerajaan Gowa Makasar, kehadiran Portugis tentu akan membawa banyak hambatan. Untuk itu Gowa membuat perjanjian persahabatan dengan Bima yakni sepakat menerima Islam dan tidak melakukan perdagangan dengan Portugis. Pada abad ke XV, Bima menjadi Kerajaan tepandang. Tureli Nggampo Bilmana bahkan memperluas wilayah Bima dengan menaklukkan Sumba, Manggarai, Sabu, Ende, Larantuka dan Komodo hingga Kepulauan Alor. Di daerah-daerah ini diberlakukan adat Kerajaan Bima. Mereka diwajibkan menyerahkan upeti berupa barang atau budak. Di abad inilah Islam masuk Bima. Pembawa Islam adalah Sunan Prapen dari Gresik. Zollinger menyimpulkan agama Islam masuk Bima tahun 1450 atau 1540. Namun Islam menjadi Agama raja dan kerajaan tahun 1620, setelah raja La Kai yang kelak mengganti nama menjadi Abdul Kahir menyatakan diri Islam. Para mubalik Gowa-Makasar mendarat di Sape dan mendirikan masjid pertama di Kalodu. Di  masa raja Ma Ntau Asi Sawo , kapal dagang Belanda terdampar di Bima. Kontak antar kedua pihak pun terjalin. Ujungnya adalah perjanjian persahabatan raja Bima dengan orang Belanda untuk tidak saling bermusuhan. Inilah perjanjian pertama kerajaan Bima dengan bangsa asing.  Tak lama kemudian portugis datang, kemudian Belanda dan Portugis lalu bentrok setelah insiden tersebut menyusul kapal bendera VOC yang dipimpin oleh Steven Van De Haghen tahun 1605. Kemudian tahun 1624 pasukan ekspedisi Belanda datang di bawah pimpinan komandan Roos. Dia menduduki Kerajaan Bima dengan dalih Bima membantu Gowa melawan Kompeni. Belanda berhasil mengikat Kerajaan Bima dengan pelbagai perjanjian, seperti perjanjian Rotterdam I (1669) yang ditandatangani oleh Tureli Nggampo Abul Rahim dengan Laksamana Johan Truitman. Isi perjanjian adalah Bima bersedia melepaskan persekutuan dengan Kerajaan Gowa. Perjanjian terus diperbarui tahun 1908. Dengan perjanjian ini Bima ada dalam genggaman Belanda. Perjanjian pemungkas tersebut bahkan dimasukkan dalam map dari kulit. Makanya disebut surat kulit. Isinya Kerajaan Bima menjadi bagian India Belanda Belanda sengaja memasukkan naskah dalam map kulit, sebagai isyarat bahwa Kerajaan Bima tinggal kulitnya saja. Penderitaan rakyat akibat penjajaan, melahirkan perang rakyat (1908-1909). Salah satunya perang yang dikobarkan oleh rakyat Ngali di bawah pimpinan Salasa Ompu Kapa, a Menyusul rakyat Dena mengibarkan perang terhadap Belanda. Tahun 1910, Haji Abdurrahim Abu Sara dkk melawan pasukan Belanda pimpinan Overste G.T. King. Perlawanan dapat dipatahkan. Belum padam Perang Dena, rakyat Dongo juga mengangkat senjata, dipimpin Gelarang Kala Ntehi. Para pemimpin kala akhirnya dapat dikalahkan melalui tipu muslihat oleh Belanda. Ketika itu Raja Muda Tureli Donggo Muhammad Salahuddin mengajak para pemimpin Donggo ikut pembicaraan damai di istana. Namun setelah duduk dimeja perundingan, Belanda mengepung dan menangkap pemimpin Donggo, Ntihu, Ngita dan Jeru Ncahu. Setelah perang rakyat bisa ditumpas, Belanda memperlakukan pajak belasting. Wibawa Sultan Ibrahim pun sudah diruntuhkan Dia wafat 16 Desember 1915. Sultan Muhammad Salahuddin menggantikan ayahnya. Seiring dengan munculnya pergerakan nasional, di Bima lahir juga pergerakan. Tahun 1920, partai politik serakah Islam (SI) berdiri di Bima. Menyusul Tahun 1937 Muhammadiya dan Persatuan Penuntut Ilmu tahun 1938. Untuk memajukan pendidikan dibentuk pula persatuan Islam Bima (PIB) pada 3 Nopember 1938, Tahun 1939, Cabang Partai  Indonesia Raya (Parindra) terbentuk. Atas inisiatif Sultan M. Salahuddin, NU kemudian dibentuk di daerah ini. Ketuanya H. Usman Abidin. Menyusul peristiwa menyerahkannya panglima Tertinggi Kerajaan Belanda di Kalijati pada 9 Maret 1943, para pelopor pergerakan di Bima mengikuti peristiwa tersebut dengan saksama. Mereka lalu menyiapkan Komite Aksi, satu lembaga yang menyiapkan diri untuk merebut kekuasaan dari tangan Belanda di Bima. Komite didukung oleh 14 serdadu KNIL yang berjiwa nasionalis. Bima pun bisa melepaskan diri dari penjajahan Belanda pada 5 April 1942. Setelah terbatas selama 103 dari cengkraman Hindia Belanda. Kerajaan Bima kembali didatangi jepang. Tanggal 17 Juli 1942, Angkatan laut Jepang di bawah komando Saito mendarat di Bima. Sejak itu, semuanya dalam kendali Jepang mulai dari pendidikan hingga peralatan rumah tangga. Hanya ketika jepang meminta Jugun Ianfu, wanita penghibur, raja dan rakyat Bima menolak mentah-mentah. Untuk mengindari para wanita muda setempat jatuh ketangan jepang, sultan memerintahkan untuk kawin berontak atau nika beronta. Setelah jepang diancurkan sekutu dalam perang pasifik tahun 1944, keadaan mulai berubah. Akhir Agustus 1945, pimpinan militer jepang Sumbawa Timur Mayor Jenderal Tanaka di Raba menyerahkan kekuasaan kepada kerajaan Bima. Pemerintah Daerah Istimewa Kerajaan Bima menyerahkan proklamasi di Istana Bima pada 17 Desember 1945. Serdadu Nica mendarat di Sumbawa Besar pada 1 Januari 1946 NICA kemudian mengirim telegram kepada Sultan Bima untuk menerima NICA. Sultan dan seluruh kekuatan di masyarakat menolak NICA. Akhirnya satu kompi tantara NICA mendarat di Bima pada tanggal 12 Januari 1946. Mementum itu disebut sebagai kehilangan kemerdekaan Bima tahap kedua. Atas gagasan Dr. HJ. Van Mook sebagai pejabat tertinggi Kerajaan Belanda, terbentuklah Negara Indonesia Timur meliputi Maluku, Sulawesi dan Sunda Kecil. Pemerintahan di Pulau Sumbawa dijalankan oleh dewan raja-raja. Sultan Bima menjadi ketua. Kerajaan Bima pernah dimekarkan wilayahnya menjadi Bima dan Dompu dipulihkan. Bima melepaskan Dompu, yang meliputi 10 kejenelian. Berdasarkan Undang-undang NIT No. 44/1950, Kerajaan Bima berubah status menjadi Daerah Swapraja Bima berikut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja Bima pada 2 Oktober 1950. Sejak itulah berakhirnya perjalanan Kerajaan Bima selama sekitar 350 tahun. Kepala pemerintahan Swapraja Bima adalah Muhammad Salahuddin. Setelah dia mangkat dalam usia 64 tahun pada 11 Juli 1951, kepala pemerintahan pun kosong. Dalam perioda 1951-1955, Putra Abdul Kahir menjadi kepala pemerintahan. Berturut-turut Haji Muhammad (1955-1958); Putra Abdul Kahir (1958-1959); Junaidin Amir hamzah (1959-1965); Abidin Ishak (1965-1968); Sueharmaji (1968-1974);MToehir (1974-1979); Haji Oemar Harun (1979-1989); Abdul Halim Djafar (1989-1994); Adi Haryanto (1995-1999). Masa pemerintahan H. Zainul Arifin patut mendapat catatan tersendiri karena di era 2000-2005 itu terdapat usaha sistematis untuk memulihkan indentitas Islam di Bima. Beberapa program yang mengarah ke penerapan syariah Islam, antara lain, diberlakukannya Peraturan Daerah tentang minuman keras, jilbabnisasi, membumikan Al-Qur’an, Jumat khusus penerapan perda Zakat bagi PNS dan lain sebagainya.

  1. Kondisi Fisik.

Dari hasil survei dilapangan dapat disimpulkan bahwa Tinggalan sejarah yang tersimpan di Museum Asi Mbojo Bima, Nusa Tenggara Barat kebanyakan berupa keris tombak dan perlengkapan perang lainya, dari tinggalan yang ada kebanyakan terbuat dari bahan organic dan anorganik dimana kondisi tinggalanya sebagian besar telah mengalami kerusakan/pelapukan yang disebabkan oleh factor internal/factor external.

  • Data keterawatan

Benda Cagar Budaya yang tersimpan di Museum ASi Mbojo Bima Nusa Tenggara Barat telah mengalami pelapukan/kerusakan didasari atas segala yang terjadi dapat dibedakan menjadi 4 (empat) kerusakan yaitu :

  1. Kerusakan mekanis
  2. Fisis
  3. Pelapukan kemis
  4. Pelapukan biotis
  • Kerusakan mekanis

Jenis kerusakan ini disebabkan oleh adanya gaya statis maupun gaya dinamis adapun jenis kerusakan ini berupa : patah, pecah, retak, gempil dll.

Kerusakan ini Parang dan Loncengdengan prosentase  ± 10%.

  • Kerusakan fisis

Kerusakan ini terjadi sebagai akibat adanya faktor-faktor fisis seperti :   suhu, kelembaban, angin, dan penguapan dan pemudaran warna dengan prosentase  ± 75%

  • Pelapukan chemis

Pelapukan ini terjadi pada BCB sebagai akibat dari proses atau reaksi kimia. Pada proses ini paktor yang berperan adalah : air, penguapan suhu dan kelembaban.Karena kurangnya penyinaran dan pengisian silikagel sebagai pengatur kesetabilan kelembaban baik itu di siang hari maupun di malam hari. Dengan demikian akan mempercepat terjadinya oksidasi,sulfatasi nyorolisa sehingga mempercepat froses reaksi terhadap BCB yang mengakibatka pengkaratan.kerusakan ini terlihat pada keris,tombak dan parang. Prosentase pelapukan ini sebesar ± 90%

  • Pelapukan biotis

Pelapukan ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikro organisme seperti : jasad organic,bakteri dan sebagainya. Pelapukan ini berupa diskomposisi struktur material, pelarutan unsur dan mineral. Pertumbuhan jasad yang paling dominan adalah berupa colors yang berhana biru muda. Pelapukan ini terjadi pada Lonceng dengan prosentase sekitar ± 85%.

  • Diagnosis

Untuk menanggulangi kerusakan dan pelapukan yang lebih parah maka dilaksanakanlah konservasi, maka dari itu kelestarian BCB di Museum ASi Mbojo Nusa Tenggara Barat kondisinya tetap terjaga. Pada prinsipnya konservasi di museum Asi Mbojo di Nusa Tenggara Barat ada beberap tahapan  :

  1. Pembersihan mekanis kering/basah
  2. Pembersihan chemis/modern
  3. Perbersihan secara tradisional
  4. Coting
  • Penanganan Konservasi

a. Pembersihan mekanis kering / basah

Pembersiahan ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat : sikat ijuk, sikat gigi, sudip bambu, kuas, dan disekting set. Pembersihan ini bertujuan untuk membersihkan semua debu, rumah serangga dan jasad-jasad renik yang mudah lepas. Pembersihan mekanis basah. Pembersihan ini hampir sama dengan pembersihan mekanis kering Cuma ditambah dengan guyuran air dengan tujuan menghanyutkan kotoran-kotoran yang ada.

b. Pembersihan secara chemis/modern

Apabila pembersihan secara mekanis basah tidak mampu, maka dilanjutkan dengan pembersihan secara chemis. Dengan mengunakan bahan kimia AC yaitu dengan alcohol,aceton,alkali gliserol dengan amplikasi bahan di olesi keseluruh permukaan BCB sedangkan aplikasi alkali gleserol dengan menempel kapas diisi larutan tersebut keseluruh permujaan berulang-ulang kemudian setelah ada reaksi yang menyebabkan warna biru baru dicuci dengan air sampai bersih dengan pH = 7

c. Pembersihan secara tradisional

Amplikasi pembersihan secara tradisional dilakukan terhadap tombak keris dan parang yang mengalami pengkaratan. Adapun bahan yang dipergunakan adalah dengan mempergunakan jeruk nipis dengan cara menggosokan jeruk nipis keseluruh permukaan BCb berkali-kali sampai karatanya lepas atau sampai muncul warna aslinya. Kemudian dilakukan pencucian dengan air sampai bersih betul dengan pH = 7

d. Coting

Tindakan ini bertujuan untuk menghabat akan terjadinya pelapukan /kerusakan lebih lanjut sekaligus sebagai pelindung. Bahan yang dipergunakan adalah Paraloid B-72 dengan prosentase 3 % sehingga tinggalan tersebut kondisinya akan lebih terjaga dari pertumbuhan jasad-jasad organic dan anorganik.