TRADISI MAKMEUGANG DALAM MASYARAKAT ACEH

0
4018

BPCB Aceh:Tradisi  Megang (Makmeugang)  yang sebenarnya merupakan wujud kepedulian pemimpin (Raja) kepada rakyatnya  pada saat menyambut hari-hari besar seperti Menyambut datangnya bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan hari Raya Idul Adha  dengan cara membagi-bagikan daging untuk dinikmati oleh masyarakat bersama keluarga, terutama  bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (mayarakat miskin). Bebarapa hari sebelum datangnya hari makmeugang, raja mendaftarkan keluarga-keluarga yang dianggab kurang mampu melalui perwakilannya. Tradisi tersebut sampai dengan saat ini masih juga dilakukan/dijalankan oleh masyarakat aceh sesuai dengan perkembangan zaman walaupun caranya sudah jauh berbeda. Para pemimpin tidak lagi membagikan daging seperti yang dilakukan oleh pemimpin dahulu namun ada juga para pimpinan baik itu pimpinan instansi pemerintah  maupun pemimpin perusahaan ada yang menyediakan sejumlah santunan meugang dalam bentuk uang.

Masyarakat Aceh saat ini merayakan  tradisi meugang dengan cara  rame-rame membeli daging pada pedagang ataupun membeli lembu dengan cara mengumpulkan uang dalam satu kelompok masyarakat dengan jumlah anggota kelompok disesuaikan dengan kempampuan anggaran anggota untuk membeli seekor sapi yang akan  disembelih dan dagingnya dibagi sesuai dengan jumlah uang yang dikumpulkan. Hal ini sesuai dengan yang diterangkan seorang tokoh Aceh Besar H. Marwan Muhammad yang dimintai pendapatnya di salah satu warung kopi kawasan Pasar Lambaro kecamatan Ingin Jaya.

Cara membeli sapi dengan mengumpulkan uang inipun, menurut tokoh pemerhati sejarah itu, saat ini sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat lebih memilih membeli daging dengan cara yang lebih praktis pada pedagang daging maupun pada pedagang daging musiman yang kerab muncul pada menjelang hari-hari makmeugang tersebut.

Tradisi makan daging pada hari makmeugang dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat aceh baik itu masyarakat bepenghasilan rendah maupun masyarakat mampu, karena bagi masyarakat aceh merayakan hari makmeugang menganggab itu bukan hal yang perlu diperhitungkan dari segi biaya karena mareka punya keyakinan ataupun istilah merakan makmeugang adalah sehari makan enak setelah setahun bekerja. ( sithon tamit siuro tapajoh).

orang Aceh dahulu lebih suka membeli daging dengan cara mengumpulkan uang dan membeli sapi untuk selanjutnya dibagi dengan cara menumpuk karena dengan cara tersebut  mareka akan mendapatkan seluruh bahagian dari tubuh sapi walaupun jumlanya terbatas menurut jumlah uang yang dikumpulkan baik itu daging murni,  lemak, jeroan, (isi dalam ),  dan tulang yang sudah dipotong-potong termasuk kulitnyapun dipotong-potong untuk dibagi sesuai porsinya sehingga daging  yang dibawa pulang siap untuk dimasak.

Sekedar diketahui harga daging sapi di aceh merupakan harga daging yang termahal di indonesia bahkan didunia sekalipun, walaupun hampir setatus persen dari penduduk aceh merupakan petani yang rata-rata ikut memelihara binatang ternak sebagai salah satu sumber pendapatannya. Saat menyambut hari meugang harga daging sapi maupun kerbau naik secara drastis dan miningkat sangat tajam pada hari itu. Yang biasanya harga daging per kg sekitar 130.000,-/kg menjadi 160.000,-/kg namun masyarakat Aceh tidak bermasalah dengan harga yang tinggi yang penting dagingnya tersedia.  Pedagang daging di aceh baik itu pedagang menetap maupun pedagang daging musiman yang muncul saat menjelang hari meugang untuk tahun ini 2017 mematok harga daging mencapai  di atas 160 ribu per kilogram. Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan bisa mencapai seratus lebih, sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma membutuhkan 3 atau 4 sapi untuk penjualannya.

1.Nilai Religius
Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan tanda untuk mensyukuri datangnya bulan Ramdhan yang penuh berkah.
Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan.
Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Qurban.

2.NilaiSedekahatauNilaiberbagisesama
Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen berharga   bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin.   Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh.Tak   hanya para dermawan, momen datangnya hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang   kampanye oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala   menjelang Pemilu.Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar maupun pusat   penjualan daging sapi.Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para   pedagang.Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.

3. Nilai KerbersamaanTradisi Meugang yang melibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan Meugang menjadi penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan.

Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.

4. Menghormati Orang Tua
Tradisi makmegang  tak hanya merepresentasikan kebersamaan dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang pria  terutama yang baru menikah, secara moril akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya. Tak hanya para menantu, pada hari Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan. Begitu pentingnya nilai penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak mungkin untuk ditinggalkan.Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.
Pelaksanaan tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam.Tradisi ini secara signifikan juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga secara faktual masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara bersama-sama. Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di ranah pasar, yaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam.( Nurdin)