RUMAH REJE LINGE (PITU RUANG atau 7 KAMAR) DI KABUPATEN ACEH TENGAH

0
2660

RUMAH REJE LINGE (PITU RUANG atau 7 KAMAR) DI KABUPATEN ACEH TENGAH

BPCB Aceh : Rumah Reje Linge yang terletak di Buntul Linge, Kecamatan Linge sekarang ini merupakan replika, hasil dari kegiatan pembangunan kembali pada tahun 2000. Tempat pembangunan replika ini masih di tempat tapak bangunan asli yang sampai awal tahun 1970-an masih berdiri. Raja Linge terakhir yang menempati rumah ini adalah Raja Linge ke XIII bergelar Meuruhum Sultan Genali, pada sekitar era 1950-an yaitu masa pemberontakan DI/TII. Sebenarnya bentuk replika ini memiliki beberapa perbedaan dengan bentuk bangunan rumah Reje Linge yang lama. Perbedaan tersebut terletak pada ukuran keseluruhan bangunan, dan beberapa komponen pelengkapnya yaitu tangga masuk, tiang penyangga bubungan dan langit-langit.

Pintu masuk ke dalam ruang utama terletak di dua ujung beranda, tata ruang kamar memanjang ke belakang. Jumlah kamar yang ada sebanyak enam kamar, kamar ke tujuh berupa ruang tanpa sekat yang merupakan ruang untuk audiensi Reje Linge dengan pembantu atau rakyatnya. Sementara itu ke enam ruang lain diperuntukkan bagi anak-anak raja. Pada bangunan yang lama dahulu di lorong sepanjang depan pintu kamar-kamar dibuat semacam dapur bagi masing-masing keluarga anak raja. Bahan baku pembangunan rumah Reje Linge yang lama dibuat dari kayu ‘Pena’ yang berasal dari wilayah yang sekarang disebut Penarun.

Unsur lain yang menarik adalah motif-motif ukiran khas yang masing-masing memiliki makna khusus. Motif-motif tersebut menampilkan ciri umum pola hias yang sering digunakan di wilayah Aceh Tengah. Motif-motif ukiran tersebut adalah :

  • ‘Mun berangkat’ yang berarti ‘Embun / awan berangkat’ memiliki makna di dalam sistem sosial masyarakat setempat bahwa mereka berprinsip selalu menjaga keutuhan atau kekompakan dengan meniru awan yang selalu begerak bersama-sama. Bentuk motif ini menyerupai sulur-suluran yang bergulung dan banyak variasinya tergantung pada luas, arah dan posisi bidang ukiran;
  • ‘Pucuk rebung’ yang berarti seseorang berusia muda dapat saja dianggap paling layak untuk dituakan dalam sistem kekerabatan setempat. Motif berupa goresan vertikal dan goresan di tengah merupakan yang paling tinggi / panjang. Penerapan pola hias ini biasanya di sepanjang bidang horizontal;
  • ‘Tapak Sulaiman’ yang berarti motif yang sama dengan yang ada di telapak tangan Nabi Sulaiman A.S. berupa motif mirip kelopak bunga dengan silang melintang dan membujur yang melintasi bagian pusat kelopak. Penerapannya lebih banyak di bidang horizontal atau sebagai list motif lain dalam bentuk kecil;
  • ‘Putar tali’ yang memiliki makna pertalian kekerabatan yang erat. Motif berbentuk pilinan tali ini paling sering dijumpai, karena bentuknya yang memanjang sehingga sering digunakan sebagai list luar bagi pola hias lainnya. Penerapannya selain di rumah-rumah adat juga di Masjid-Masjid tua yang banyak menggunakan konstruksi kayu.

Salah satu putra Reje Linge yaitu Syah Utama atau yang lebih dikenal dengan Sengeda (Kakak dari Bener Merie) berkedudukan di Nosar, tepi danau Lut tawar. Di dalam beberapa sumber pustaka, Desa Nosar disebut sebagai salah satu wilayah yang paling awal dijadikan pemukiman di sekitar Danau Lut tawar. Di Desa Nosar pernah ditemukan beberapa artefak hasil penggalian liar masyarakat, besar kemungkinan di Desa Nosar ini terdapat situs pemukiman dari keturunan Raja Linge (Lingga), sehingga perlu dilakukan penelitian lebih mendalam di Desa Nosar tersebut. (Nurdin) sumber : Anonim, Monografi Wil. Kab.Tk.II A. Tengah, (Takengon: 2004)

 

 RUMAH REJE LINGE (RUMAH PINTU RUANG) Di  
KABUPATEN ACEH TENGAH