Rumah Cut Mutia di Kabupaten Aceh Utara

0
3473

Rumah Cut Mutia di Kabupaten Aceh Utara

Rumah Cut Mutia  terletak di desa Pirak Kecamatan Pirak Timu Kabupaten Aceh Utara yang lokasinya secara geografis  berada pada titik koordinat 5o00’39. 1”N 97o16’00.7”E, untuk mencapai ke kompleks ini dengan menempuh jarak kurang lebih 31 kilometer dari simpang Mulieng atau dengan perjalanan sekitar satu jam dari Kota Lhokseumawe atau sekitar 9 kilometer dari Lhoksukon Ibukota  kabupaten Aceh Utara.

Rumah kediaman Cut Mutia  merupakan salah satu tinggalan cagar budaya di Kabupaten Aceh Utara yang direnovasi oleh pemerintah Aceh pada tahun 1982, rumah ini memiliki gaya dan khas masyarakat Aceh yang unik,  pada umumunya rumah masyarakat Aceh terbuat dari kayu yang dipilih dari bahan kayu  Semantok, kayu ini sangat keras dan tahan  terhadap rayap, pelapukan, usia sehingga  terjamin kwalitasnya dan kayu ini sangat diminati oleh masyarakat Aceh  untuk membangun dengan jenis kayu yang merupakan kwalitas utama.

Rumah Cut Mutia terdiri dari tiang-tiang bulat berdiameter 80 cm dengan ketingginya 2,5 m, rumah bentuk panggung dengan filosofis terhindar dari bermacam-macam ancaman seperti banjir, binatang buas dan lain sebagainya juga dengan ketinggian yang cukup dan luas maka penghuni rumah juga masyarakat dapat melakukan aktifitasnya seperti menganyam, membuat tikar dan bisa untuk anak-anak bermain tanpa ada gangguan.

Rumah Cut Mutia dibangun dengan kontruksi kayu yang memiliki 16 tiang (Tameh) dalam bahasa Aceh, dinding papan dan beratap rumbia dengan dominan cat hitam, rumah ini memiliki 2 selasar atau serambi (seramoe dalam bahasa Aceh) seramoe keu (serambi depan) dan serambi belakang  (seramoe likot) yang bentuk memanjang, seramoe (serambi depan) dipergunakan untuk para tamu laki-laki dan (seramoe likot) untuk tamu perempuan sedangkan bagian tengah kamar tidur dan saat ini Rumah Cut Mutia dipergunakan sebagai Museum.

Sejarah singkat

Cut Meutia lahir pada tahun 1870, beliau merupakan anak dari Teuku Ben Daud (Raja Pirak) dan Cut Jah.  Cut Meutia merupakan keluarga dari 6 orang bersaudara yaitu;Teuku Ali, Teuku Muhammad Syah, Cut Banta, Cut Hasan dan Teuku Cut Ibrahim. Cut Meutia adalah sosok wanita yang lemah lembut, cerdas, suka menolong, pemberani, gagah dan parasnya cantik, sehingga tidak heran bila beliau sangat dihormati bukan hanya dikarenakan anak seorang raja tetapi dikarenakan sifat dan  budi pekertinya. Sifat kepahlawanan untuk membela agama, bangsa dan negaranya dari penjajahan, seperti terwariskan padanya.

Dari perkawinannya dengan Teuku Syamsarif tidak mmemberi kebahagiaan dikarenakan Teuku Syamsarif tidak sehaluan mengenai perjuangan, dia lebih memihak kepada Belanda. Akhirnya mereka bercerai.

Bersama suaminya yang kedua Teuku Cut Muhammad (Teuku Chik Ditunong) beliau bersama-sama memimpin pasukan bergerilya, naik turun gunung dan bermarkas didalam hutan, menyusun  strategi peperangan. dengan tekad hidup untuk berjuang dan mati syahid. Peperangan demi peperangan mereka lalui yang membuat Belanda kebingungan untuk menakluk dan menghabiskan pejuang Aceh, sehingga dipakai strategi yang sangat licik dengan mengancam akan menyandera keluarga Teuku Cut Muhammad.  Teuku Cut Muhammad turun gunung dan bukan berarti menyerah kepada penjajah tetapi perjungan ditipkan pada pejuang lainnya yang masih didalam hutan.

Pada tanggal 26 Januari 1905 terjadi pertempuran Meurandeh Paya yang membuat kemarahan Belanda dan menduga kejadian ini didalangi oleh Teuku Cut Muhammad, Belanda kemudian menangkap Teuku Cut Muhammad pada tanggal 5 Maret 1905, dua puluh hari kemudian Teuku Cut Muhammad Dijatuhi Hukuman mati. Sesuai pesan Teuku Cut Muhammad kepada isterinya Cut Meutia agar melanjutkan perjuangan dan menikahlah dengan sahabatnya Pang Nanggroe.  Pesan itu dijalankan Cut Meutia, beliau kembali menyusun strategi bersama Pang Nanggroe.

Pada tanggal 26 September 1910  dalam satu pertempuran dengan belanda  di daerah Paya Cicem yang dipimpin oleh Van Sloten, gugurlah Pang Nanggroe.  Meskipun Pang Nanggroe telah pergi namun perjuangan terus dilanjutkan oleh Cut Meutia.

Pada tanggal 25 Oktober 1910, Serdadu Belanda melakukan penyerbuan ke markas pejuang yang dipimpin Cut Meutia di Bukit Lipeh.  Belanda memasang sangkur dan membidik senjata dan meminta Cut Meutia menyerah.  Hal itu membuat Cut Meutia semakin marah dan menghunus pedangnya dan diisitulah peluru peluru jarak dekat menembus kepala Cut Meutia, beliau gugur sebagai bunga bangsa. Pemerintah menabalkan nama beliau sebagai pPahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 107 tahun 1964.(sejarah singkat,sumber : Andi Irfansyam)