RUMAH ADAT KARO SEMAKIN LANGKA

0
5108
RUMAH ADAT KARO SEMAKIN LANGKA (lisma.S)

 Latar Sejarah Rumah Adat Karo

            Kabupaten Karo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, ibu kota kabupaten ini terletak di Kabanjahe. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.127,25 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 500.000 jiwa. Kabupaten ini berlokasi di dataran tinggi Karo, Bukit Barisan Sumatera Utara, terletak sejauh 77 km dari kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut. Karena berada diketinggian tersebut, Tanah Karo Simalem, nama lain dari kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai 17° C. Di dataran tinggi Karo ini bisa ditemukan indahnya nuansa alam pegunungan dengan udara yang sejuk dan berciri khas daerah buah dan sayur. Di daerah ini juga bisa kita nikmati keindahan Gunung berapi Sibayak yang masih aktif dan berlokasi di atas ketinggian 2.172 meter dari permukaan laut. Arti kata Sibayak adalah Raja. Berarti Gunung Sibayak adalah Gunung Raja menurut pengertian nenek moyang suku Karo. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Karo: 10 Mei 2016)

Kabupaten ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan. Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kampung). Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga. Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung. Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan. Menurut P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung Raja Urung atau juga Pengulu di zaman, yaitu dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni: kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni: a. Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam  dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat.

  1. Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan. Mengangkat dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak Beru-Senina dan Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu diper-modern, dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan “Pengulu” dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas, dipersempit dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 42/1926, dimana antara lain dapat dibaca: jabatan Raja-raja Urung dan Pengulu akan diwarisi oleh turunan langsung yang sekarang ada memegang jabatan itu. Marilah kembali melihat sistem pergantian Perbapaan Urung dan Pengulu Kesain, sebelum datangnya penjajahan Belanda ke daerah dataran Tinggi Tanah Karo. Yang pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya dan berhak keturunannya yang menjadi Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa. Sementara itu orang yang berhak menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan itu boleh dipangku/diwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi. Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah sebagai Perbapaan Raja. Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain marga dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai Perbapaan/Raja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak, misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah bertahun-tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah menolak menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar kerabat yang seketurunan. Dalam pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan kewajiban bagi si pemangku yaitu menyerahkan 1/3 dari semua pendapatan kerajaan kepada orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut. Seperti diuraikan di depan, baik Perbapaan Urung/Raja Urung ataupun Pengulu yang dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu Sidalanen”, maka jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun. Dengan sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan hampir ratusan tahun. Sistem itu mengalami sedikit perubahan pada abad ke 18 ketika Karo berada dibawah pengaruh Aceh yang membentuk raja berempat di Tanah Karo. Urung Namohaji di Kuta Buluh dan Urung Liang Melas di Sampe Raya.

 

Rumah adat Karo Yang Masih Lestari

Rumah rumah adat Karo yang terdapat di Kabupaten Karo sudah banyak yang rusak, lapuk lalu ambruk. Beberapa bagian yang tersisa (papan dan tiang) yang masih bisa dipakai dijual. Kelangkaan rumah adat Karo ini disebabkan tidak dibangunnya kembali rumah adat yang sudah runtuh, karena keterbatasan bahan kayu dan rumitnya pembangunan rumah adat tersebut. Bekas bekas rumah adatnya kosong dan tinggal kenangan. Masyarakat Karo pada masa sekarang ini lebih memilih membangun rumah tempat tinggal yang permanen dan semi permanen. Rumah permanen terbuat dari beton yang bahannya pasir, kerikil, semen, dan atap seng. Semua bahan ini mudah didapat dipasaran, dan rumah setengah permanen modern hampir sama bahannya, yang membedakannya hanyalah pemakaian papan pada dinding (setengah).

Rumah adat Karo yang masih tersisa masih bisa dihitung dengan jari. Rumah adat di Desa Dokan terdapat 5 unit rumah adat yaitu rumah adat Sendi, rumah adat Tengah, rumah adat Dokan/Mbelin, rumah adat Mbaru, dan rumah adat Ketek. Menurut informasi dari sesepuh adat yaitu bapak Rehan Ginting (umur 96 tahun) berdirinya rumah adat di Desa Dokan pada awalnya didirikan oleh marga Ginting dan pada awalnya semua rumah adat yang ditempati di desa ini marga Ginting. Yang pertama di bangun adalah rumah adat sendi, kemudian rumah adat tengah, kemudian rumah adat mbaru dan yang terakhir adalah rumah adat ketek. Dalam rumah adat tidak terdapat angka tahun pendirian bangunan, hanya prediksi ahli waris diperkirakan antara 100 s/d 150 tahunan, karena pada saat ahli waris/sesepuh adat masih kecil rumah adat ini sudah berdiri dan pada waktu itu sudah ada penjajahan Kolonial.

Foto 1                                       foto 2
Rumah adat Sendi                             Tengah

Foto 3                                       foto 4
Mbelin                                       Mbaru

 

Foto 5                                      
Ketek

 

DI Desa Lingga terdapat dua unit rumah. Pada awalnya jumlah rumah adat disini sebanyak 24 rumah. Rumah adat sebagian terbakar, lapuk dimakan usia sehingga yang tersisa  rumah adat Gerga dan rumah adat Belang Ayo. Rumah adat Gerga merupakan rumah peninggalan Raja. Rumah adat ini berjenis rumah kurung manik yang kondisinya masih terawat dengan baik. Kedua bangunan ini masih dihuni dan berada pada lokasi yang saling berdekatan (hampir berhadap-hadapan).(BPCB Aceh:2016:35) Bangunan rumah adat Lingga ini berdenah segi empat, berorientasi ke barat timur dengan panjang: 15.72 M, lebar 9.94 M jadi luas bangunan 156.2 M². Bangunan ini berbentuk rumah panggung. Bangunan ini berdiri dengan penopang utama adalah tiang tiang penyangga berjumlah 26 buah. Tinggi bangunan dari tanah ke lantai adalah 1,7 meter. Untuk masuk ke dalam rumah ini harus melewati pintu masuk yang berada di sebelah barat dan timur. Bagian dalam bangunan rumah berfungsi sebagai tempat tidur, ruang tamu dan dapur. Lantai bagian dalam bangunan terbuat dari kayu. Dinding rumah adat ini terbuat dari bahan kayu. Bagian atap bangunan berbentuk segitiga bertingkat dua. Penutup atapnya terbuat dari ijuk. (BPCB:2013:16)

Foto : Rumah adat Gerga                                   Belang Ayo

Rumah adat Karo di Desa Sikap, Kec. Barus Jahe, Kab. Karo. Rumah adat ini tidak berpenghuni (ditinggalkan ahli warisnya) dalam keadaan rusak. Batas batas rumah ini adalah sebagai berikut: di sebelah utara berbatasan dengan rumah penduduk, di sebelah timur berbatasan dengan rumah penduduk, di sebelah selatan berbatasan dengan rumah penduduk dan di sebelah barat berbatasan dengan rumah penduduk. Rumah ini berada ditengah tengah perkampungan (rumah penduduk) dan di depan rumah adat ini terdapat jambur (gedung pertemuan dengan bangunan baru). Rumah adat ini panjang 7.20, lebar 6.87 M jadi luas bangunan 49.46 M².  Bentuk rumah adat ini sama dengan rumah adat karo lainnya akan tetapi ukiran di bagian dinding dan derpih  polos.      Kerusakan total terdapat pada ture (tangga), dinding samping dan atap dan harus diganti dengan bahan baru tetapi sejenis (keaslian bahan). penggantian pada tangga yaitu 40 batang bamboo dan beberapa lembar papan untuk mengganti dinding. Kepemilikan rumah adat Karo ini  8 (delapan)  keluarga anek beru yaitu marga barus, marga ginting, marga tarigan, marga ginting pada dinding sebelah kanan. pada dinding sebelah kiri marga tarigan, marga tarigan, marga barus, dan marga tarigan.(BPCB Aceh:2016:42)

Foto: Rumah adat Desa Sikap

Rumah adat yang Tinggal Pondasi dan Bekas

Di Desa Parinbun Kec. Barus Jahe dahulunya ada dua unit rumah adat, tetapi rumah rumah adat ini sudah runtuh (lihat gambar dibawah ini) dan kayu kayu rumah adat yang masih bisa dipakai dijual sehingga yang tersisa papan kayu yang sudah lapuk dan bekas rumah adat dua unit.

                     Foto : bekas Rumah adat desa Parinbun

Rumah adat yang tinggal kenangan , berpindah tempat (dijual)

Rumah adat di Desa Parimbun, Kec. Barus Jahe tiga unit sudah berpindah tempat (dijual), sehingga kosong dan tinggal kenangan. Dokumentasi ini diambil di Desa Peceren. (Dok. BP3 Aceh tahun 2009)

        

Foto : Rumah adat Karo Desa Peceren

Rumah adat yang rusak

Rumah rumah adat ini berada di Desa Gurusinga. Kondisi fisik rumahnya rusak, lapuk dan tak berpenghuni. Kerusakan paling dominan pada atap ijuk dan dinding yang lapuk.

    

Foto : rumah adat di Desa Gurusinga dalam keadaan rusak

PENUTUP

Rumah adat di Kab. Karo semakin hari semakin berkurang. Apabila tidak ada penangangan dari semua pihak dalam pelestariannya maka sangat disayangkan rumah adat Karo ini akan punah (habis). Rumah adat yang masih tersisa dalam keadaan rusak, yang lama kelamaan kan ambruk. Maka tidak heran kalau suatu saat rumah adat Karo tinggal pondasi dan bekas rmah adat.

            Rumah rumah adat Karo yang masih lestari yaitu rumah adat di Desa Dokan, dan rumah adat di Desa Lingga. Rumah adat di Desa Sikap dan Rumah adat di Desa Gurusinga dalam keadaan rusak parah. Untuk melestarikan rumah rumah adat ini diperlukan perhatian dari semua pihak baik masyarakat, pemilik objek/ahli waris, pendidikan, pemerintah dan pemerhati rumah adat.

Daftar Pustaka

BPCB Aceh Besar, Tahun 2013

“Laporan Pendataan Cagar Budaya Di Kab. Karo”

 

BPCB Banda Aceh, Tahun 2010

“Laporan Pendataan Rumah Adat Karo, Kab. Karo, Prov. Sumatera Utara”

 

(https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Karo: 10 Mei 2016

(https://tongkronganwira.wordpress.com/category/tanah-karo/sejarah-tanah-karo/:31 Mei 2016