Refleksi Pusaka Arkeologi dan Histori di Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh Oleh: Ambo Asse Ajis (ambo.unsam@gmail.com)
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh Tahun 2018 berhasil mendata sebagian besar keletakan objek arkeologi di Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Demikian juga aktivitas dari berbagai organisasi pegiat sejarah Aceh, seperti: Masyarakat Pemerhati Sejarah Aceh (MAPESA), Peusaba, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh dan Provinsi Aceh, berhasil menghimpun data terkait potensi sejarah dan arkeologi khususnya Gampong Pande sekitarnya.
Tidak ketinggalan, kegiatan penelitian dan kajian ilmiah dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara, sedikit banyak juga menghasilkan penjelasan yang sangat menarik tentang kandungan arkeologi dan sejarah sekitar Gampong Pande yang begitu tua dan amat sangat penting dalam memahami kehidupan nusantara abad ke-13 Masehi bahkan juga periode jauh sebelumnya .
Alhasil, baru-baru ini, Tim dari Unit Pengembangan BPCB Aceh, mencoba mengolah data koordinat lokasi temuan situs dengan tujuan menampilkan rona gambaran distibusi (sebaran) potensi arkeologi di Gampong Pande sekitarnya dengan harapan bisa memberikan pemahaman atas bagaimana warna wilayah permukiman kuno ini di masa lalu.
Dari hasil olah data, penampakan sebaran objek arkeologis di atas, memberi banyak persepsi yang kemungkinan baru dalam studi ilmiah Arkeologi dan sejarah, seperti: pertama, sedikit banyak kita mendapatkan limpahan cahaya baru dari pola perkampungan kuno, luasan areal aktivitas hingga hubungan ekologi antara manusia dan lingkungannya; kedua, data sebaran lokasi objek arkeologi ini dapat menjadi bahan yang amat sangat penting bagi seluruh pemangku kebijakan terkait upaya penyelamatan kawasan cagar budaya di Kecamatan Kutaraja ini.
Peta keletakan objek arkeologi di Gampong Pande dan sekitarnya, Kecamatan Kutara, Kota Banda Aceh (Sumber: BPCB Aceh, 2018; Google Earth, 2019; dimodifikasi penulis, 2019)
Dari tampakan peta keletakan objek arkeologis di atas, sementara ini baru meliputi 34 buah lokasi, tetapi sudah bisa menjelaskan adanya pemusatan permukiman kuno di Gampong Pande pada masa lalu. Permukiman kuno Pra Gampong Pande ini, berada di atas tanah dataran muara pasang surut yang kini telah berubah fungsinya (sekarang areal tambak).
Tidak seperti dugaan penelitian-penelitian sebelumnya, ternyata keletakan permukiman kuno Pra Gampong Pande awalnya tidaklah memanjang di tepi Krueng Aceh melainkan berada di muara yang sangat luas, dimana pintu masuk ke muara ini sekarang bisa dilalui melalui bawah jembatan pelabuhan Ulee (Meuraxa) dan muara Krueng Aceh; kedua muara masuk kapal ini, terhubung satu sama lain dengan panjang sekitar + 6.320 meter dengan orientasi utara-Selatan.
Dalam penulisan kuno, khususnya sebelum abad ke-17 Masehi, lokasi permukiman ini dikenal dengan berbagai sebutan (merujuk koordinat lokasi Gampong Pande saat ini) dari penduduk negara yang melihat dan singgah ke lokasi ini, misalnya: Huang Che (Cina, sekitar abad ke-1 Masehi), Karpuradwipa (India, abad ke-2 Masehi), (Yeh-p’o-ti (Cina, sekitar abad ke-5 Masehi), Kant’oli/ Kint’oli (Cina, abad ke-5 dan 9 Masehi), Poli (Cina, sekitar abad ke-6 Masehi), O-Shan atau Oshan (Cina, abad ke-6 Masehi), Ka Ca (Cina, abad ke-7 Masehi), Po-ssu (Cina, abad ke-7 Masehi untuk ras Persia), Tazi/Tashi (Cina, sekitar abad ke-7 sampai 9 Masehi untuk orang Arab), Ilamuridecam/ Lamuri (India, sekitar abad ke-11 Masehi), Lambry (Venesia. Sekitar abad ke-13 Masehi) dan nama-nama lebih belakangan seperti: Achen/Aci/Atca/ Acas/ di tulis oleh ahli sejarah Hindia Blanda.
Sementara itu, nama Gampong Pande sendiri tidaklah dikenal dan tercatat dalam peta lokasi yang diketahui para pelancong, melainkan nama ini adalah nama yang baru disebut pada era jayanya Kerajaan Aceh Darussalam. Nama kunonya sangat beragam, sebagai contoh peta tahun 1588 menyebut lokasi permukiman ini dengan nama Achen.
Di tepi muara Achen (Gampong Pande dan sekitarnya saat ini) telah sejak jaman lampau (abad pertama masehi) telah ada permukiman kuno yang menyimpan kandungan arkeologi yang sangat kaya. Tetapi bukti-bukti ini belum ditemukan sampai sekarang. Namun jejak permukiman kuno abad ke-14 Masehi hingga 17 Masehi sudah ramai ditemukan tinggalan arkeologisnya, meliputi: makam kuno, sebaran makam kuno, sebaran tembikar, stoneware , keramik, sebaran tanah mengandung besi (laterit), benda-benda besi, koin emas (deurham), koin dari timah (keuh), gundukan tanah, struktur batu, struktur batu bata dan masih banyak lagi potensi arkeologi lainnya. Adapun tinggalan tertua yang sementara ini ditemukan berasal dari fragmen keramik era Song Selatan sekitar abad ke-14 Masehi atau sekitar tahun 1300 Masehi dan Prasasti Neusu sekitar Tahun 1300 Masehi.
Kandungan Pusaka Arkeologi dan Sejarah di Kecamatan Kutaraja
Dari kajian atas keletakan tinggalan arkeologinya, sudah sewajarnya memberikan kecemasan kepada kita betapa objek arkeologi yang kaya akan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan sedang berhadapan dengan ancaman musnah akibat salah kebijakan. Sebagai contoh, sampai hari ini belum ada kebijakan hukum (qanun) Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Aceh tentang Pelestarian Cagar Budaya yang melindungi kawasan kaya arkeologi di Kecamatan Kutara dan kecamatan-kecamatan lainnya.
Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman dan wakilnya, Zainal Arifin, memvisikan Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka. Referensi kota pusaka lahir karena latar belakang sejarah okupasi (penghunian) di tempat ini yang sudah sangat tua bahkan jauh sebelum nama Kota Banda Aceh disematkan sebagai penanda wilayah ini.
Tentu saja berbicara sejarah okupasi (permukiman) di Banda Aceh, tidak mungkin dilepaskan dari Kecamatan Kutaraja, khususnya tanah di Gampong Pande. telah dijelaskan sebelumnya bahwa lansekap kuno Gampong Pande sesungghunya menyimpan sejarah awal mula okupasi di Kota Banda Aceh dan barangkali di seluruh wilayah Aceh.
Peta 2. Perkiraan luasan aktivitas okupasi Achen berdasarkan topografi, keletakan makam dan sebaran arkeologi lainnya (Sumber: Google Earth, 2019; dimodifikasi penulis, 2019)
Letaknya bukan di muara Kreung Aceh atau Ulee Lheu (Meuraksa), tetapi berada di tempat yang nama aslinya telah disebutkan di atas (sekarang Gampong Pande), mencakup luasan area sekitar 200 hektar. Ruang intinya sendiri apabila merujuk kerapatan lokasi tinggalan arkeologis hari ini, seperti makam dan nisan kuno serta sebaran fragmen keramik, stoneware dan tembikar, diperkirakan ruang intinya mencakup areal seluas 30 hektar.
Sebelum terbentuknya Kerajaan Aceh, tempat ini merupakan perkampungan dengan beragam nama yang disematkan para pelaut (lihat uraian sebelumnya). Tempat ini dipercaya bagian dari Kerajaan Lamuri, Samudera Pasai dan Pedir, semakin tumbuh berkembang menjadi perkampungan pesisir yang kaya aktivitas sebagai lokasi pertemuan para pedagang.
Karena perkembangannya ini jugalah, mendorong Ali Mughayat Syah di Tahun 1507 Masehi mendirikan Kerajaan Aceh dan memisahkan diri dari Kerajaan Pedir. Dan, lokasi ini pun berganti nama menjadi Bandar Aceh Darussalam sebagai pusat perniagaan Kerajaan Aceh,kegiatan militer, perdagangan, pembuatan kapal, pengaturan kehidupan perkampungan dan sebagainya di atur dengan baik di tempat ini.
Pada masa kolonialisme Belanda bermukim, nama Bandar Aceh Darussalam di ganti menjadi Kutara. Kemudian ketika Belanda kalah oleh Jepang dan kalah oleh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, nama Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh yang digunakan sampai hari ini.
Bagaimana menjaga warisan pusaka Bandar Aceh Darussalam
Sejatinya, nama ibukota Aceh bukanlah Banda Aceh seperti sekarang ini dan usianya sebagai ibukota juga bukanlah 814 M. Fakta historisnya sebagai ibukota Aceh, sesungguhnya bernama Bandar Aceh Darussalam (merujuk Ali Mughayat Syah, 1507 Masehi) dan usianya saat ini baru 512 Tahun. Tetapi jika merujuk sebagai tempat hunian (okupasi) atau permukiman, maka lokasi ini sudah berusia kurang lebih 2000 tahun (merujuk nama Huang Che, lihat penjelasan sebelumnya).
Tahun 2016 dan 2017 lalu, Pemerintah Kota Banda Aceh dikejutkan dengan protes warga terkait perubahan peruntukan lahan sekitar muara Krueng Aceh menjadi lokasi Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Protes berlangsung berbulan bahkan bertahun yang dampaknya masih terasa sampai saat ini.
Di kasus ini, Pemerintah Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh dan Pemerintah Pusat dipandang tidak peka terhadap peninggalan warisan Kerajaan Aceh; abai dengan rasa keadilan sejarah serta budaya sehingga ceroboh dalam membuat keputusan. Alhasil, protes melahirkan gejolak, berujung demonstrasi dan hujatan karena menghina warisan arkeologi Kerajaan Aceh.
Menurut saya, ini sungguh ironi, masa depan tinggalan arkeologi dan sejarah Kerajaan Aceh yang memiliki rekam jejak pernah menjadi penguasa Selat Malaka dan lautan di Samudera Hindia, di bantai habis di depan rakyatnya sendiri. Tentu saja, secara pribadi saya sangat prihatin dan memahami kemarahan warga karena kebijakan pemerintah seperti ini.
Karena itu, sensitivitas diperlukan dalam membuat kebijakan pelestarian cagar budaya, khususnya di Kota Banda Aceh, ada banyak hal yang harus disiapkan. Pertama, Pemerintah Kota Banda Aceh dan DPR Kota Banda Aceh harus melahirkan apa yandisebut Qanun Pelestarian Cagar Budaya agar ada kepastian hukum terhadap tinggalan-tinggalan Kerajaan Aceh, baik yang sudah terdata maupun yang belum terdata atau bahkan yang belum ditemukan.
kedua, Pemerintah Kota Banda Aceh harus memiliki pengawas arkeologi atau pengawas cagar budaya yang bekerja membantu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan pelestarian, pengawasan dan penyusunan strategi keberlanjutan guna memastikan warisan agung Kerajaan Aceh di Kota Banda Aceh tetap lestari, dikembangkan dan dimanfaatkan dimasa depan, baik untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agam dan kebudayaan;
ketiga, Pemerintah Kota Banda Aceh harus bisa berkomunikasi hingga bahu membahu dengan berbagai varian stakeholder yang ada di Banda Aceh, seperti kelompok masyarakat pegiat cagar budaya, LSM, NGO, Yayasan, Akademisi, Praktisi dan lembaga pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian budaya (Universitas, Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh, BPCB Aceh, BPNB Aceh, Balar Sumatera Utara dan sebagainya) agar merumuskan strategi bersama dalam menjaga warisan budaya tersebut.
Dengan melakukan tiga hal di atas maka jalur komunikasi pelestarian cagar budaya di Banda Aceh akan terpola bersanding dengan gerak bersamanya dalam merespon persoalan-persoalan menyangkut penemuan, pengrusakan, penjagaan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya di Kota Banda Aceh.
Terakhir, pada akhirnya, seluruh komponen pemerhati cagar budaya di Kota Banda Aceh akan mampu bekerja sama menjaga warisan mulai Sultan Ali Mughayat Syah ini dengan baik dan bertanggungjawab karena sikap terbuka pemimpinnya yang menaruh keinginan besar menjaga pusaka bangsanya. : Ambo Asse Ajis (ambo.unsam@gmail.com)
[1] Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Aceh-Sumut