Profil Pewaqaf “Baitul Asyi” dari Kerajaan Aceh bernama Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi (1)

0
1377

Banda Aceh, 23/7/21. Salah seorang warga Kerajaan Aceh yang menetap di Tanah Suci Mekkah  sekitar tahun 1224 Hijriah atau 1802 Masehi (sekitar 219 tahun lalu), bernama Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi, seorang penuh pesona yang karena kemurahan hatinya telah mewaqafkan hartanya khusus untuk orang Aceh (al Asyi) yang beribadah haji di Tanah Suci Mekkah. Karena kedermawanannya ini, beliau sangat istimewa dan sosoknya sangat melegenda tidak hanya di tanah provinsi Aceh tapi juga di dunia Islam saat ini. 

Ia hidup di zaman pemerintahan Sultan Alauddin Jauhar Al Alam yang memimpin Kerajaan Aceh dari tahun 1795-1838. Pada saat yang sama, Tanah Suci Mekkah sendiri berada dalam pemerintahan ke Khalifahan Turki Oestmani masa Khalifah Selim III (1789-1807) dimana segala hal menyangkut aturan waqaf di atur dengan hukum Islam saat itu.

Sebagai warga kerajaan Aceh yang bernasab mulia, Haji Habib memiliki ayah bernama Buja yang berasal dari Aceh (Al-Asyi Al-Jawiy) atau dari tanah nusantara (Jawiy). Diyakini, sosok Haji Habib adalah pribadi yang sering bepergian ke tanah Suci Mekkah dan menjadi warga disana sehingga bisa memiliki asset bernilai ekonomi tinggi.

Naskah waqaf yang ditulis Qadhi Makkah Al-Musyarrafah, Syaikh ‘Abdul Hafizh bin Darwisy Al-‘Ujaimi (1224 Hijriah/1802 M) menyebutkan sifat mulia Haji Habib bin Buja Al-Asyi Al-Jawiy bahwa “Manakala Tuan yang mulia, Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawiy melihat bahwa dunia yang rendah ini adalah negeri kemusnahan, dan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal, dan kesanalah kembali dan berpulang, maka Tuan itu mempersembahkan untuk dirinya sesuatu yang bermanfaat demi mencapai ridha Allah serta mendapatkan pahala-Nya yang besar pada hari di mana Allah niscaya memberikan balasan bagi orang-orang yang bersedekah, dan tidak akan menyia-menyiakan balasan orang-orang yang berbuat baik, dan untuk melaksanakan sabda Penghulu para rasul Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam: “Apabila mati anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah (yang terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”

Pada naskah ini juga disebutkan bahwa saat pembuatan surat waqaf tahun 1224 Hijrian/1802 Masehi, beliau hadir di hadapan Qadhi Makkah Al-Musyarrafah, Syaikh ‘Abdul Hafizh bin Darwisy Al-‘Ujaimi “Karena waqaf merupakan sedekah jariah, maka Tuan yang mulia Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi tersebut telah hadir dalam Majlis Syar’iy di depan hadirat Tuan kita – penghulu para ulama besar, kebanggaan seluruh qadhi dunia, kamus balaghah dan suluh segala pemahaman, pencatat seluruh masalah dan hukum-hukum pada masa ini di Negeri Allah yang haram.”

Di naskah waqaf juga diuraikan harta yang diwaqafkan berupa keseluruhan sebuah rumah besar yang berada di Makkah Al-Musyarrafah di gang Al-Qusyasyiyah, yang meliputi ruang-ruang bangunan di atas dan di bawah, berbagai sarana utama, ruang kantor dan berbagai sarananya, bak air di batas-batas areal tanah serta seluruh sarana pendukungnya, serta hak-hak syar’iy yang membatasinya secara lengkap……” (Sumber: terjemahan Naskah Habib bin Buja). Ambo

Referensi: