Beranda Berita Leang Mandale diajukan sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional

Leang Mandale diajukan sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional

0
Leang Mandale diajukan sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional

Leang Mandale diajukan sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional

BPCB Aceh, 13/11/2018. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Direktur Jenderal Kebudayaan,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan kajian lapangan dalam rangka Penetapan Cagar Budaya Nasional Tahun 2018 di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Lokasi kegiatannya berada di Loyang Mendale, dilaksanakan dari tanggal 13 – 18 November 2018.

Dalam kegiatan tersebut di atas, sejumlah aktivitas akan dilakukan Tim PCBM, diantaranya kunjungan langsung ke lapangan di Leang Mendale ( koordinat 4°38’35.92″LU – 96°52’3.83″ BT)yang berada di Jalan Panca Darma, Dusun Mendale, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah serta kegiatan pengolahan data guna melengkapi dokumen Naskah Rekomendasi Penetapan dan Pemeringkatan Lokasi Loyang Mandale sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional.

Adapun pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh (BPCB Aceh) turut diundang dalam kajian lapangan di atas. Kepala BPCB Aceh, Bambang Sakti Wiku Atmojo, mengutus staf Arkeologi, Sdr. Ambo Asse Ajis dan mengamanahkan agar dapat mendampingi secara aktif seluruh proses kegiatan kunjungan lapangan dan pengolahan data tersebut.

Dapat juga disampaikan bahwa Loyang Mendale merupakan kelompok ceruk yang terletak di pinggiran kota Takengon, dalam wilayah Kampong Mendale, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Berjejer menempati tebing sebuah perbukitan karst yang memanjang pada arah baratlaut-tenggara, ceruk-ceruk ini menghadap ke arah selatan. Berjarak sekitar 50 meter di sebelah selatannya terletak Danau Laut Tawar. Lingkungan di sekitar depan ceruk ditumbuhi tanaman kopi, lamtoro, bambu hijau, dan pepohonan keras lainnya.

Setidaknya terdapat empat ceruk di lokasi ini, masing-masing merupakan situs dengan deposit artefak atau ekofak prasejarah di dalamnya. Keempat ceruk tersebut (dari arah baratlaut ke tenggara) adalah sebagai berikut:

  1. Ceruk pertama di ujung baratlaut memiliki luas 25,2 m2. Mulut ceruk menghadap ke selatan (170°) dengan lebar 9 m dan tinggi 3 m.
  2. Ceruk kedua berukuran luas 14 m2. Mulut ceruk menghadap barat daya (210°) berukuran 9 m, dan tinggi 8 m.
  3. Ceruk ketiga berukuran 102 m2.. Mulut  menghadap ke selatan (180°) dengan lebar 17 m, dan tinggi 5 m.
  4. Ceruk keempat merupakan yang terbesar dengan luas  210 m2 dan paling dekat dengan Laut Tawar. Mulut ceruk menghadap barat daya (200°) berukuran diameter 28 m, dan tinggi 6,5 m (Wiradnyana & Setiawan: 2011).

 

Temuan Arkeologis di Lokasi Loyang Mendale

Hasil penelitian pada keempat ceruk memperlihatkan himpunan tinggalan yang sama, walaupun kedalaman lapisan hunian berbeda-beda di setiap ceruk. Di antara keempat ceruk tersebut, ceruk ke-1 diteliti paling intensif dan memberikan hasil yang paling lengkap. Ekskavasi yang sudah mencapai kedalaman 4 meter memperlihatkan adanya tiga lapisan hunian, yaitu (dari bawah ke atas):

  1. Lapisan Preneolitik, dicirikan oleh tinggalan Budaya Hoabinhian berupa kapak Sumatra yang dicirikan oleh pemangkasan monofasial pada bahan baku hingga menghasilkan alat dengan bidang pangkasan yang datar berhadapan dengan bidang natural; tengkorak manusia; cangkang dan artefak kerang, alat serpih; dan sisa hewan darat. Penemuan kapak-kapak Sumatra di lapisan ini menjadi penanda hunian bercorak Budaya Hoabinhian di dalam ceruk. Temuan ini menjadi sangat penting mengingat keletakan situs di wilayah pedalaman. Umumnya situs-situs Hoabinhian terletak di wilayah pesisir timur Sumatra Utara-Aceh yang selain dicirikan oleh kapak sumatra, juga pemanfaatan kerang-kerangan dan biota laut lainnya. Ceruk Loyang Mendale merepresentasikan perkembangan Budaya Hoabinhian di pedalaman dengan memanfaatkan sumberdaya lingkungan, antara lain berupa hewan darat yang hidup di sekitarnya dan biota air Danau Laut Tawar. Penting dicatat pula bahwa di antara himpunan tinggalan terdapat juga beberapa cangkang kerang laut Articidae. Hal ini menunjukkan penghuni Ceruk Mendale masih memiliki hubungan dengan wilayah pesisir. Berdasarkan pertanggalan radiokarbon, masa hunian pada lapisan ini berlangsung dari 7400±140 BP sampai dengan 5040±130 BP.
  2. Lapisan Neolitik yang dicirikan oleh beliung persegi baik yang sudah dipakai maupun yang belum jadi, kubur manusia dengan tangan terlipat, pecahan-pecahan tembikar, kapak lonjong, dan sisa pembakaran. Tembikar pada lapisan ini bervariasi dengan corak-corak yang menunjukkan adanya interaksi penghuni dengan dunia luar. Salah satu di antaranya adalah tembikar hias tali (cord-marked pottery) dan hias tera lainnya yang merupakan budaya penanda Neolitik yang berasal dari Asia Tenggara Daratan. Corak tembikar lainnya adalah tembikar slip merah (red-slipped pottery) yang mencirikan budaya Neolitik Penutur Austronesia yang berasal dari Taiwan. Temuan lain yang tak kalah penting adalah kapak lonjong yang umumnya tersebar di kawasan Indonesia Timur dan selalu dihubungkan dengan persebaran Penutur Austronesia dari Taiwan. Kehadirannya di Loyang Mendale mengindikasikan adanya keterkaitan penghuni Loyang Mendale dengan migrasi Penutur Austronesia. Pertanggalan yang tersedia menunjukkan hunian pada lapisan ini berkisar antara 3580±100 BP dan 1740±100 BP (Setiawan, 2011b:313).
  3. Lapisan resen dengan tinggalan berupa pecahan-pecahan keramik asing dan benda-benda resen lainnya. Keberadaan temuan ini mencerminkan adanya aktivitas berlanjut di ceruk Loyang Mendale hingga Zaman Sejarah. Ambo

Sumber: Disarikan dari Naskah Rekomendasi Penetapan dan Pemeringkatan Lokasi Loyang Mendale sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional

 


Kondisi terkini lansekap Leang Mendale (Foto: BPCB Aceh, 2018)