Kompleks Makam Maharaja Gurah yang mewah dan Kedudukan Historisnya yang Istimewa (Oleh, Ambo Asse Ajis Staf /Honorer Unit Pengembangan BPCB Aceh)

0
2861

Kompleks Makam Maharaja Gurah yang mewah dan Kedudukan Historisnya yang Istimewa (Oleh, Ambo Asse Ajis Staf /Honorer Unit Pengembangan BPCB Aceh)

Makam Maharaja Gurah, Menteri Peternakan, Tanaman 
dan hasil-hasil laut pada era kesultanan Aceh (Foto: Ambo)

BPCB Aceh (14/7/18). Kompleks Makam Maharaja Gurah berada di Gampong Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh merupakan satu dari sekian banyak objek wisata religi yang terkenal di provinsi Aceh. Tokoh Maharaja Gurah ini, tidak hanya dikenal dengan batu Acehnya yang menakjubkan tetapi juga kedudukannya di Kesultanan Aceh  yang istimewa sehingga menjadi sesuatu yang menggoda banyak orang berziarah dan mengenal sosoknya lebih dekat.

Dalam khasanah tradisi lisan, tokoh ini juga seorang ulama sekaligus “Raja” di Glee Gurah yang kini lokasinya terletak di Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.  Karena nilai pentingnya ini, tidak heran situs kuno Maharaja Gurah, kerap dikunjungi warga Aceh hingga mancanegara seperti, Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam.

Letak geografis Kompleks makam Kuno Maharaja Gurah berada di koordinat 5º31’46.4”N dan 95º15’58.2”E, Desa (Gampong) Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Apabila hendak berziarah ke tempat ini, bisa dilalui dengan kendaraan rida dua dan roda empat, melewati dari jalan poros Banda Aceh-Meulaboh, kemudian mengarah ke pusat Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Dari tempat pusat Kecamatan Peukan Bada, untuk mencapai ke makam ini para peziarah hanya menempuh jarah ± 1 kilometer dari pusat kecamatan. Kompleks  Pemakaman Kuno Raja Gurah berada dekat dengan tebing tambang galian C, di sisi Selatan Gampong Gurah.

Seperti disebutkan di atas, ke-elokan kompleks makam ini tidak hanya pada bentuk nisannya yang sangat kuno dan mewah tetapi juga kedudukan tokohnya di sebut dalam naskah kuno Qanu Al-Asyi (undang-undang pemerintahan  Kesultanan Aceh) yang memiliki kuasa di bidang kehutanan, tanaman dan hasil-hasil laut bagi Kesultanan Aceh di masa lampau.

                        Makam Maharaja Gurah

Dari sisi arkeologis, nisan kuno Maharaja Gurah terbuat dari batu pasir (sand stone) dengan tipologi nisan kuno tipe Samudera Pasai, memiliki badan makam (jirat) tetapi sepertinya tidak lagi insitu sebagai akibat hempasan air tsunami pada peristiwa Tsunami tahun 2004 lalu. Pada nisan kepala  (di sisi utara) mengalami patah dan patahannya berada di bawah jirat atau terletak di samping sisi Timur badan makam. Disamping nisan patah, terdapat makam kuno lainnya dengan tipe nisan pipih bersayap dengan puncak terdapat mahkota susun tiga yang merupakan ciri khas nisan tipe Aceh Darussalam.

Nisan kepala yang patah (berada sisi Timur jirat makam Maharaja Gurah)

Menurut warga kompleks makam ini berada di dalam pondasi bangunan kuno yang oleh warga setempat di sebut benteng gurah. Dan, masih menurut tradisi lisan setempat, tokoh Maharaja Gurah ini juga seorang ulama sekaligus pemimpin “raja” di kawasan Gurah dan bahkan mendirikan dayah Gurah sebagai tempat menimba ilmu masyarakat setempat.

Di khasanah sejarah bangunan kompleks makam kuno peninggalan kesutanan Aceh, struktur yang disebut benteng oleh warga tersebut kemungkinan besar adalah “kandang” yang berfungsi sebagai tempat pemakaman khusus keluarga. Pengertian kata kandang dalam bahasa melayu kuno era Kesultanan Aceh sangat berbeda pengertiannya dalam bahasa Indonesia saat ini yang di sebagai tempat tinggal hewan yang khusus dibuat oleh manusia.

          Struktur pondasi kuno yang disebut Benteng Gurah di sisi Selatan

Kata kandang dalam era kesultana Aceh adalah bangunan berbentuk struktur persegi empat panjang, terbuat dari campuran batu (biasanya batu padas atau batu karang), pasir dan semen (kapur yang dibakar) difungsikan sebagai lokasi penguburan keluarga yang khusus disiapkan jauh-jauh hari. Umumnya lokasi kandang ini berada di sekitar atau tidak jauh dari rumah keluarga yang membangun kandang tersebut. Pada masa lampau kandang ini ada yang diberi cungkup dan ada juga yang terbuka.

Menurut warga, sebelum tsunami tahun 2004 lalu, struktur ini memiliki dinding yang tinggi. Tetapi sekarang tersisa hanya sedikit saja dan terkesan seperti pondasi. Terkait fungsinya sebagai benteng, hal ii tidak menutup kemungkinan ada penggunaan lain lokasi ini pada periode yang lebih muda terlebih lagi mengingat kawasan lokasi ini merupakan basis perjuangan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien dalam melakukan melancarkan perang semesta kepada kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 Masehi lalu.

Kompleks Makam Maharaja Gurah, tidak hanya ada makam Maharaja Gurah tetapi juga terdapat makam lainnya di percaya merupakan kerabat dekat dengan tipologi nisan, tipe tipe pipih bersayap sebanyak 3 buah dan tipe gada sebanyak 1 buah beserta jiratnya.

 

Tipe Nisan Pipih bersayap di samping jirat makam maharaja Gurah

Lingkungan Kompleks Makam Maharaja Gurah

Nisan tipe Balok/Gada dan Makam Maharaha Gurah yang diberi cungkup (atap) 
oleh warga setempat

Nilai penting Kompleks makam Maharaja Gurah

Dari terminasi cagar budaya sebagaimana substansi kandungan Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, sesungguhnya kompleks makam ini sangat memenuhi semua unsur untuk disebut sebagai cagar budaya. Kriteria cagar budaya yang dipenuhi antara lain: kompleks makam Maharaja Gurah berusia di atas 50 tahun, nisan-nisan kunonya memiliki masa gaya di atas 50 tahun, kompleks makam Maharaja Gurah memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Dari aspek ilmu pengetahuan, nisan kuno di Kompeks Maharaja Gurah ada 3 tipologi dengan periodesasinya sendiri, yakni makam Maharaja Gurah dengan tipologi Samudera Pasai yang mana tipe ini berkembang semenjak era Kesultan Samudera Pasai sekitar abad ke-13 Masehi. Kedua, tipe pipih bersayap dengan mahkota tingkat tiga sebagai tipologi khas masa keemasan Kesultanan Aceh dan tipe gada sebagai tipe nisan kuno kesultanan Aceh yang lebih belakangan. Dari konteks ini, kemungkinan pemakaman beberapa generasi Maharaja Gurah dilakukan di kompleks ini.

Dari aspek historis, kedudukan jabatan maharaja Gurah telah disebutkan dalam Qanun Al-Asyi yang terkenal pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Masehi) dan jabatan ini masih bertahan hingga kesultanan Aceh tidak eksis lagi dalam sejarah sejak tidak adanya sultan penerus pasca tertangkapnya Sultan Aceh terakhir pada Tahun 1904.

Demikian juga bagi penguatan kerpibadian bangsa, kedudukan jabatan Maharaja Gurah sebagai jabatan yang mengelola hal ikhwal kehutanan, tanaman dan hasil laut di Kesultanan Aceh menunjukan anak bangsa Indonesia sejak dahulu memiliki kapasitas dan kapabilitas mengelola sumber kekayaannya sendiri dengan cara yang sesuai dengan ketersedian sumberdayanya. Sebagai contoh, Kesultanan Aceh dikenal sebagai bangsa utama dalam perdagangan lada sejak abad ke-17 Masehi.

Kesimpulan

Kompleks Maharaja Gurah di Gampong Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh adalah satu dari sekian banyak kompleks makam kuno era Kesultanan Aceh yang prestasinya membanggakan di masa lampau.  Melalui kerja keras para Maharaja Gurah, di abad ke-18 Masehi Aceh mampu menjadi pemasok utama dari setengah kebutuhan lada dunia (Reids, 2005:164) dan menegaskan hegemoninya sebagai bandar lada yang sangat besar di Asia Tenggara pada masa tersebut.

Sejarah memberikan bukti bahwa melalui jabatan seorang Maharaja Gurah, Aceh menjadi kekuatan utama bidang pertanian khususnya tanaman lada di abad ke-18 Masehi.  Padahal hanya satu negeri bernama Aceh saja, sudah mampu memasuk setengah kebutuhan dunia di masa lalu. Dan, bagaimana jika gabungan berbagai negeri bekerjasama dalam satu gerak langkah, tentu akan semakin hebat lagi bukan!

Jika dibandingkan pada masa kini, luas Aceh tidak seberapa dibandingkan luas negara Indonesia. Hal yang pasti, Indonesia tidak hanya memiliki tanah dan lautan luas tetapi juga memiliki berbagai negeri (kerajaan) yang punya sejarahnya masing-masing (termasuk Aceh). Semua negeri itu, memiliki kekuatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya yang potensial untuk membangun Indonesia.

Inilah adalah kenyataan, negara Indonesia adalah kumpulan negeri-negeri yang besar dimasa lampau dan juga memiliki sejarah yang sama sebagai negeri yang pernah di jajah dan diperbudak oleh bangsa asing. Sebagai bekas kolonialisasi, kita pasti memahami dan memiliki nasib yang sama dan tentu saja cita-cita yang sama untuk merdeka dari penjajahan dan terbebas dari ketergantungan (utang) bangsa lain. Ini adalah ideologi hal yang sangat penting dan kunci memahami bangsa yang dianugerahi sumberdaya alam dan sumberdaya manausia yang melimpah oleh Allah Subhana Wataala.

Sebagai penutup, akhirnya, melalui satu tokoh Aceh sejarah bernama Maharaja Gurah,  ia memberikan cermin bahwa kita adalah bangsa yang bisa mengelola kekayaan sendiri. Dan hanya sebagai bangsa yang mandiri, negara Indonesia bisa lebih bermartabat baik di mata anak bangsanya sendiri maupun dimata bangsa lain. Jika ini terjadi, tidak mustahil Indonesia bisa mendominasi dunia di masa depan. Insha Allah