Focus Group Discussion Nilai Penting Situs Loyang Mendale dan Sekitarnya di Aceh Tengah, BPCB Aceh peserta aktif

0
1066

Focus Group Discussion Nilai Penting Situs Loyang Mendale dan Sekitarnya di Aceh Tengah, BPCB Aceh peserta aktif

     

Foto 1. Narasumber kegiatan FGD yang diselenggarakan Balar Sumatera Utara

BPCB Aceh, 28/8/2018. Balai Arkeologi Sumatera Utara melaksanakan kegiatan Focus group Discussion (FGD) dengan tema “Nilai Penting Situs Loyang Mendale dan Sekitarnya di Aceh Tengah” yang dilaksanakan pada hari Jumat, 29 Februari 2018, pukul 8.00 WIB di ruangan Aula Grand Panamas Hotel, Takengon, Aceh Tengah, Aceh.

Kegiatan ini merupakan program rutin Balai Arkeologi Sumatera Utara bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah bersama sejumlah stakeholder kebudayaan di Provinsi Aceh untuk mendorong pemahaman publik akan nilai penting Situs Loyang mandale dan sekitarnya.

Kegiatan diawali dengan registrasi peserta FGD di ruangan Aula Grand Panamas Hotel. Sekitar sekitar 20 orang mulai dari Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara beserta beberapa staf penelitinya, perwakilan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, Perwakilan Pemda Kab. Aceh Tengah, Perwakilan Kepala BPNB Aceh, Perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Aceh Tengah, LSM Kebudayaan, Pemilik Lahan Loyang Mendale dan Loyang Ujong Karang, Pihak Polres Kab. Aceh Tengah, Perwakilan Majelis Adat Aceh Kab. Aceh Tengah, beberapa Tokoh Masyarakat Kab. Aceh Tengah dan beberapa perwakilan masyarakat di sekitar Loyang Mendale dan Loyang Ujong Karang, terlihat memenuhi ruangan Aula Grand Panamas Hotel.

Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara membuka kegiatan FGD sekaligus memaparkan secara singkat hasil penelitian arkeologi di Aceh Tengah tahun 2018 dengan judul “Migrasi Manusia dan Budaya Atas Temuan Arkeologis di Situs Loyang Mendale dan Sekitarnya” yang dimoderatori perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Aceh Tengah.

Beliau memaparkan hasil penelitian arkeologi di Aceh Tengah tahun 2018 dimana disebutkan terjadi migrasi gelombang pertama, dibuktikan analisis radio carbon dating hasil ekskavasi fragmen tulang gajah 8430 ± 80 BP dan tengkorak hoabinhian 7525 BP yaitu ras seperti orang Papua (Melanesia). Kemudian terjadi migrasi gelombang kedua, dibuktikan dengan temuan hasil ekskavasi berupa fragmen gerabah bermotif yang menandakan kehadiran ras Austroasiatic, ras Austronesia yang lebih tua.

Migrasi gelombang ketiga terjadi ± 3000 tahun yang lalu berdasarkan hasil penelitian dilihat dari cara penguburan dimulai dari gelombang pertama terjadi pembauran dengan perkawinan. Disamping melakukan pengasahan dan penambalan gigi, ada aspek keindahan/kecantikan selain aspek religi. Temuan artefak berupa kapak lonjong, pahat batu yang berkaitan dengan tradisi pembuatan perahu. Stratigrafi hasil ekskavasi menunjukkan adanya lapisan erupsi yang diselingi dengan lapisan budaya. Kemudian, Migrasi gelombang keempat, berdasarkan hasil penelitian, terdapat temuan fragmen gerabah bergaya dongson pada situs gua muslimin. Pola hias pada fragmen gerabah tersebut sampai sekarang masih dipakai pada pembuatan gerabah dan motif kerawang Gayo. Temuan ini menunjukkan migrasi pada masehi. Terakhir terjadi migrasi gelombang kelima berdasarkan hasil penelitian pada situs Loyang Ujung Karang, terdapat hunian yang cukup kompleks. Ada pembauran DNA yang menunjukkan kompleksitas situs.

Muhammad Syukri, Perwakilan Pemda Aceh Tengah menyampaikan materi berjudul Arti Penting Jejak Prasejarah di Aceh Tengah menjelaskan bahwa Situs parsejarah di Aceh Tengah dapat menjadi objek wisata yang dapat menciptakan ruang usaha masyarakat sekitarnya. Selain itu, secara keilmuan, turut menambah teori-teori baru tentang sejarah, karena kapak lonjong yang selama ini hanya ditemukan di wilayah Timur Indonesia, saat ini juga ditemukan di wilayah Barat Indonesia (Takengon). Demikian juga berdasarkan hasil penelitian arkeologi membuktikan bahwa orang Gayo berasal dari Utara (Taiwan), meruntuhkan teori yang selama ini yang menyatakan bahwa orang Gayo berasal dari Romawi dan membuktikan bahwa motif kerawang Gayo asalnya bukan dari Belanda tapi sudah ada motifnya sejak masa Prasejarah. Selain itu, menurut Prof. Truman Simanjuntak, bahwa orang Gayo bukan sub etnik Batak, melainkan dekat dengan etnik Karo. Usulan beliau dalam FGD ini agar segera dilakukan penataan dan pengelolaan situs prasejarah yang ada di Kab. Aceh tengah agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas.

Sesi terakhir ditutup dengan pemaparan materi oleh narasumber (Pak Win) dari perwakilan LSM pegiat kebudayaan di Kab. Aceh Tengah dengan judul materi “Nilai Penting Situs Mendale dan Sekitarnya”, adapun poin materi yang dipaparkan tentang Jejak prasejarah di Aceh Tengah merupakan bukti identitas orang Gayo dan Jejak prasejarah di Aceh Tengah membuktikan kemajemukan/keberagaman ras/etnis.

Setelah ketiga narasumber memaparkan materinya, moderator kemudian memberikan kesempatan kepada peserta FGD untuk memberikan tanggapan dan masukannya. Pada sesi diskusi ini muncul beberapa pertanyaa, tanggapan, dan masukan oleh peserta FGD. Haladun (pemilik lahan Loyang Ujung Karang) mengatakan bahwa pada awal kegiatan pertama kali ingin dilaksanakan di Loyang Ujung Karang, beliau sempat tidak mengijinkan kepada pihak Balar Sumut untuk melaksanakan penelitiannya, namun setelah terkuak bukti arkeologis yang mebuktikan identitas Gayo, akhirnya belaiu sangat mendukung penelitian tersebut, bahkan beliau mengusulkan agar Pak Ketut Wiradnyana sebagai pelopor penelitian tersebut diberikan apresiasi penuh.

Miftah dari BPNB Aceh memaknai hasil penelitian arkeologi di Aceh Tengah memberikan gambaran bahwa teori tentang subetnis Batak di Gayo terbantahkan, perlu sosialisasi dan publikasi terkait hasil penelitian arkeologi di Aceh Tengah.

Demikian juga Mahadi (LSM Kebudayaan Gayo) yang memandang temuan arkeologis di Loyang Mendale dan sekitarnya terkait dengan identitas orang Gayo yang dapat menjadi kekuatan politik dalam membangun kesejahteraan orang Gayo.

BPCB Aceh dan 5 Situs

Andi Irfan Syam yang mewakili Kepala BPCB Aceh menjelaskan tentang nilai penting situs prasejarah di Aceh Tengah. Menurutnya, gagasan pengembangan dan pemanfaatan situs cagar budaya tetap merujuk pada amanah UU RI no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Selanjunya, Irfan menyampaikan “perlu segera di bentuk tim verifikasi data cagar budaya dan TACB tingkat Kabupaten Aceh Tengah untuk mendukung pelestarian cagar budaya di Aceh Tengah. BPCB Aceh memiliki juru pelihara di lima (5) situs cagar budaya mulai dari situs cagar budaya periode parsejarah sampai masa Islam/Kolonial, BPCB Aceh sangat mendukung upaya penelitian yang dilakukan oleh Balar Sumut namun harus sejalan dengan upaya pelestariannya.

Sebagai penutup, semua proses kegiatan FGD yang diselenggaran Balai Arkeologi Sumatera Utara terlaksana dengan lancar. Dinamika diskusi mewarnai kegiatan mulai dari awal hingga akhir kegiatan dan seluruh peserta memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya pelestarian cagar Budaya di Takengon, Aceh Tengah karena mengingat tinggalan arkeologisnya sangat penting dari berbagai sudut kepentingan, baik ilmu pengetahuan, identitas, pendidikan, sosial, budaya dan ekonomi. Semoga upaya pelestarian dan peningkatan nilainya melalui jalan penelitian dan pengembangan serta pemanfaatannya seiring sejalan antara keinginan masyarakat dan pemerintah. Ambo

Foto 2. Registrasi Peserta FGD

Foto 3. Pemaparan Materi oleh Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara

 

Foto 4. Pemaparan Materi oleh Narasumber (Muh. Sukri)

Foto 5. Tanggapan oleh pemilik lahan Loyang Ujung Karang (Haladun)