Cagar budaya dan pelestariannya di mata masyarakat kabupaten Nias Barat (Nurdin Staf Dok & Publikasi BPCB Aceh)
A. Pendahuluan
Kabupaten Nias adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara, pulau ini merupakan pulau terbesar di antara gugusan pulau di pantai barat Sumatera yang ditempati atau dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha). Daerah ini memiliki objek wisata penting seperti selancar, rumah tradisional, penyelaman juga dikenal dengan hombo batu (lompat batu). Di pulau ini banyak ditemui kebudayaan masa lampau seperti tinggalan-tinggalan Megalitik dan tinggalan Prasejarah.

Pulau Nias memiliki luas wilayahnya 5.625 km² dengan penduduk hampir 1.000.000 jiwa. Penduduk pulau ini mayoritas beragama Kristen Protestan yang diperkirakan sekitar 95%, selebihnya beragama Katolik, Islam dan Budha. Penduduk yang memeluk agama Islam pada umumnya berdomisili pada wilayah pesisir Kepulauan Nias.
Pulau Nias sebelumnya hanya terdiri atas 1 kabupaten saja dan setelah pemekaran pada tahun 2008 menjadi 4 Kabupaten dan 1 Kodya yaitu (Kabupaten Nias), Kabupaten Nias Utara,(Kabupaten Nias Selatan), Kabupaten Nias Barat dan Kota Gunung Sitoli).
Nama-nama Kabupaten dan Ibukota di Pulau Nias adalah:
- Kabupaten Nias Ibukotanya Gido yang terdiri dari 10 Kecamatan dan 170 desa
- Kabupaten Nias Utara ibukotanya Lotu terdiri dari 11 kecamatan, 1 kelurahan, dan 112 desa dengan luas wilayah mencapai 1.202,78 km² dan jumlah penduduk sekitar 146.663 jiwa (2017
- Kabupaten Nias Barat Ibukotanya Lahomi terdiri dari 8 kecamatan dan 105 desa dengan luas wilayah mencapai 473,73 km² dan jumlah penduduk sekitar 92.154 jiwa (2017) dengan kepadatan penduduk 194 jiwa/km².[1]
- Kabupaten Nias Selatan Ibukotanya Teluk Dalam terdiri dari 35 kecamatan, 2 kelurahan, dan 459 desa dengan luas wilayah mencapai 1.825,20 km² dengan jumlah penduduk 457.757 jiwa.
- Kota Gunung Sitoli ibukotanya Gunung Sitoli yang terdiri dari 6 kecamatan, 3 kelurahan dan 98 desa dengan luas wilayah mencapai 280,78 km² dan jumlah penduduk sekitar 139.094 jiwa (2017) dengan kepadatan penduduk 496 jiwa/km².[1] Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nias
Di Provinsi Sumatera Utara tinggalan megalitik paling dominan ditemukan di kepulauan Nias, dimana kepulauan ini merupakan satu pulau utama dan sejumlah pulau kecil lainnya (pulau batu) yang menghadap Samudera Hindia, di lepas pantai barat Sumatera dengan luas 7,8 persen dari luas Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak pada titik koordinat 1°07’26.2″N 97°31’11.9″E dengan batas-batas wilayahnya adalah; sebelah utara berbatasan dengan pulau-pulau banyak Provinsi Aceh, sebelah selatan berbatasan dengan pulau-pulau Mentawai Provinsi Sumatera Barat, sebelah timur berbatasan dengan pulau- pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah, dan sebelah barat berbatasan dengan Lautan Indonesia. Pulau ini menyimpan sejumlah misteri dan keunikan, mulai dari kehidupan sehari-hari di desa tradisional, culture landscape (saujana budaya) hingga peninggalan megalitik dan arsitektur yang mengagumkan.
Masyarakat Nias secara turun temurun menyebut dirinya sebagai Ono Niha (orang Nias), secara harfiah berarti anak manusia yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu suku yang berbahasa Austronesia, sebagai salah satu leluhur nusantara yang datang paling awal di dataran Asia. Dari Sejumlah bukti peradaban tertua, masyarakat di Nias sering dihubungkan dengan tradisi megalitik yang hingga kini masih terlihat keberadaannya. Daerah tersebut tinggalan megalitik tersebar di berbagai desa di wilayah Pulau Nias. Kebanyakan tinggalan megalitik berada di bukit-bukit dan pegunungan. Megalitik Nias berupa tinggalan manusia masa lalu yang berasal dari batu itu sangat unik dan hampir tiap komplek situs megalitik memiliki beragam jenis bentuk dan namanya seperti: menhir/behu, patung osa-osa, neogadi,owo-owo, daro-daro. Semua itu memiliki arti dan fungsi masing-masing, dan kandungan nilai filosofisnya masih dianut bahkan masih mempunyai relevansi dengan kehidupan masyarakat sampai kini. Patung-patung Nias yang dibuat pada masa itu memiliki makna sebagai simbol, sakti kekuatan, perwujudan dan perlindungan yang berfungsi sebagai kultus pemujaan leluhur dan ritus agar senantiasa diberi perlindungan, kesejahteraan, keharmonisan dan kesuburan. : Sumber : https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=menhir+ Download 23 Jan 2020
B. Kabupaten Nias Barat

Kabupaten Nias Barat Ibukotanya Lahomi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara memiliki budaya dan tinggalan-tingalan sejarah, megalitik dan cagar budaya yang unik. Kabupaten ini merupakan kabupaten yang baru dari hasil pekekaran atau pemecahan dari Kabupaten Nias yang Ibukotannya Gunung Sitoli, setelah pemekaran dan di resmikan pada tanggal 26 Mei tahun 2009. Dari pemekaran tersebut Kabupaten Nias Barat terdiri dari 8 kecamatan dan 105 desa dengan luas wilayah mencapai 544,09 km² dan jumlah penduduk sekitar 92.154 jiwa data informasi nias barat dalam angka tahun (2017) menunjukkan kepadatan penduduk 194 jiwa/km².[1] Secara geografis terletak pada titik koordinat 0°59’55.8″N 97°29’42.6″E. Sumber;https://www.google.com/jumlah+pendudukkabupaten+nias+barat Donwload tgl 22 Januari 2020
Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Nias Barat adalah :
1. Kecamatan Lahömi, 5. Kecamatan Mandrehe Utara,
2. Kecamkatan Lölöfitu Moi, 6. Kecamatan Moro’ö,
3. Kecamatan Mandrehe, 7 .Kecamatan Sirombu,
4. Kecamatan Mandrehe Barat 8. Kecamatan Ulu Moro’ö.
- LETAK GEOGRAFI
Kabupaten Nias Barat merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di dalam wilayah Pulau Nias Propinsi Sumatera Utara dan berada di sebelah Barat Pulau Nias yang berjarak ± 60 KM dari kota Gunungsitoli. - LUAS WILAYAH
Berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2008, luas wilayah Kabupaten Nias Barat adalah 544,09 Km2 yang terdiri dari 8 Kecamatan dan 110 Desa dengan ibukota terletak di Kecamatan Lahomi. 2.3. BATAS WILAYAH Kabupaten Nias Barat berbatasan dengan : Sebelah Utara dengan Kecamatan Tugala Oyo Kabupaten Nias Utara. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Lolowau Kabupaten Nias Selatan. Sebelah Timur dengan Kecamatan Botomuzoi, Kecamatan Hiliserangkai, Kecamatan Gido, dan Kecamatan Mau Kabupaten Nias. Sebelah Barat dengan Samudera Hindia. - KEADAAN TOPOGRAFI
Keadaan topografi wilayah Kabupaten Nias Barat, yaitu berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan dengan ketinggian dari permukaan laut bervariasi antara 0-800 m, terdiri dari dataran rendah sampai tanah bergelombang mencapai 48 persen, dari tanah bergelombang sampai berbukit-bukit 35 persen dan dari berbukit sampai pegunungan 16 persen dari keseluruhan luas daratan. Dengan kondisi topografi yang demikian banyak jalan Kabupaten Nias Barat yang berbelok-belok. disebabkan kota-kota utama di Kabupaten Nias Barat umumnya terletak di lahan perbukitan. - IKLIM
Kabupaten Nias Barat terletak di daerah khatulistiwa yang mengakibatkan curah hujan cukup tinggi. Menurut data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Meteorologi Binaka Gunungsitoli, rata-rata curah hujan pertahun 221,9 mm dan banyaknya hari hujan dalam setahun 240 hari atau rata-rata 20 hari perbulan pada Tahun 2009. Akibat banyaknya curah hujan maka kondisi alam menjadi sangat lembab dan basah. Musim kemarau dan hujan datang silih berganti dalam setahun. Keadaan iklim dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara berkisar antara 18,1°-31,3° dengan kelembaban sekitar 89-92 persen dan kecepatan angin antara 5-6 knot/jam. Curah hujan tinggi dan relatif turun hujan sepanjang tahun dan sering kali disertai dengan musim badai laut biasanya berkisar antara bulan September sampai Nopember, namun kadang badai terjadi juga pada bulan Agustus, karena cuaca bisa berubah secara mendadak. - WILAYAH ADMINISTRASI
Wilayah Kabupaten Nias Barat terdiri dari dua bagian. Bagian terbesar berada di pulau Nias dan sebagian kecil terletak di pulau-pulau sebelah barat pulau Nias. Di Kabupaten Nias Barat terdapat 10 buah pulau kecil yang terdiri dari 5 pulau yang didiami penduduk dan 5 pulau tanpa penghuni. Kesepuluh pulau kecil tersebut berada di wilayah kecamatan Sirombu.
- LOKASI SITUS CAGAR BUDAYA
Lokasi situs Kopleks Megalitik Baladano Laina berada di Kecamatan Mandrehe Desa Mandrehe, komplek situs ini terletak di puncak gunung yang ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut.

Di dalam Komplek Situs Megalitik Baladano Laina terdapat 7 buah tinggalan Megalitik yaitu:
- Megalitik Bagobale
- Megalitik Taila I
- MegalitikTaila II
- Megalitik Taila III
- Megalitik Tuha Nayo
- Megalitik Gato Zi Ila,
- Megaliti Tudo Bella
Dari masing-masing Megalitik tersebut punya filosofi tersendiri, yang pada umumnya budaya mareka untuk menobatkan sebagai kepala Suku atau ketua adat, pemberian nama anak dan lain sebagainya. Untuk pemberian nama anak yang pertama melakukan perayaan dengan memotong 50 ekor babi dan untuk anak kedua dan selanjutnya juga melakukan pemotongan hewan tetapi jumlahnya berkurang dari jumlah anak yang pertama.
Kabupaten Nias Barat dapat ditempuh dengan kenderaan roda 4 maupun roda 2 dengan jarak 60 km dari Ibukota Gunung Sitoli. Salah satu sampel yang terdata oleh tim monitoring BPCB Aceh tentang situs cagar budaya di Kecamatan Mandrehe desa Mandrehe adalah Kompleks Situs Megalitik Baladano Laina yang sudah terdaftar sebagai cagar budaya dan sudah dipelihara oleh Kemendikbud melalui BPCB Aceh selain itu di desa Mandrehe juga terdapat tinggalan Rumah adat suku Nias yang belum terdaftar dalam system registrasi cagar budaya. Rumah adat tersebut sangat unik dan memiliki gaya khas suku Nias yang masih utuh juga terawat dengan baik karena masih ditempati oleh keturunan kepala suku Nias dan rumah ini sudah berumur ratusan tahun layak untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.
Cagar budaya merupakan warisan tinggalan yang berupa benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak, seperti Bangunan, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air semua benda cagar budaya hasil tinggalan nenek moyang yang tergolong warisan cagar budaya perlu dilestarikan keberadaannya agar tidak terputusnya rangtai sejarah masa lalu karena cagar budaya ini memiliki nilai sangat penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan juga harus dipertahankan melalui proses penetapan registrasi.
Peninggalan Cagar Budaya selayaknya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat pada umumnya dan harus ditanamkan kesadaran perlindungan arti pentingnya nilai cagar budaya pada generasi muda demi mewujudkan serta menjunjung tinggi amanat dan cita-cita bangsa karena jika kesadaran sudah terpupuk dalam diri maka segala gelora energi akan berjalan tanpa hambatan dalam melestarikan Cagar Budaya.
Untuk memupuk rasa kecintaan akan Cagar Budaya pada pada masyarakat khususnya generasi muda membutuhkan pendekatan yang bersifat persuasive untuk melahirkan kesadaran terlebih dahulu arti pentingnya cagar budaya melalui proses penghayatan, pengenalan objek tinggalan cagar budaya serta pemahamannya, dengan demikian sudah ada rasa memiliki maka tidak akan merusak tinggalan-tingglan masa lampau dan dengan sendirinya senantiasa untuk melindungi dan melestarikannya.
Di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diamanatkan bahwa Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Atas dasar tersebut maka keberadaan semestinya senantiasa dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional. Dan untuk melestarikan cagar budaya, Negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. (sumber : UU No. 11 Tentang Cagar Budaya thn. 2010)
Cagar Budaya adalah hasil aktivitas atau peradaban nenek moyang masa lalu yang menjadi peninggalan budaya masa kini, jejak-jejak tinggalan masa lalu tersebut mempunyai nilai filosofis yang kuat tentang peradaban pada masanya dan semakin lama usia atau semakin tua warisan atau benda tinggalan tersebut maka semakin tinggi pula nilai sejarahnya. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Keberadaan tinggalan-tinggalan cagar budaya di Kabupaten Nias Barat terlihat sangat banyak yang tersebar di setiap pelosok desa namun masih kurangnya perhatian baik masyarakat maupun pemerintah daerah dalam pemanfaatan dan pelestarfiannya, dan untuk pelestarian cagar budaya harus ada ikatan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat atau keterlibatan semua pihak dalam melestarikan Cagar Budaya baik secara langsung maupun tidak lansung demi memperkokoh kepribadian identitas yang akan menjadi manifestasi juga dapat meninggkatkan harkat dan martabat bangsa.
Megalitik adalah tinggalan masa lalu yang merupakan kebudayaan nenek moyang yang disebut tradisi adat yang dilakukan menghasilkan benda benda/bangunan dari batu yang berhubungan dengan upacara/penguburan. Megalitik (juga dikenal sebagai “kebudayaan megalitikum”) adalah bentuk-bentuk praktik kebudayaan yang dicirikan oleh pelibatan monumen atau struktur yang tersusun dari batu-batu besar (megalit) di Indonesia banyak ditemukan tradisi kubur tempayan yang terkait dengan kultur megalitik. Tinngalan Batu Megalitik di Kecamatan Mandrehe Nias Barat ini merupakan tinggalan budaya, prilaku nenek moyang masa lalu yang perlu rawat dilindungi dan dilestarikan, di kecamatan Mandrehe khususnya Kabupaten Nias Barat masih banyak tinggalan-tinggalan prasejarah, batu megalitik yang belum terdaftar sebagai cagar budaya.
- Situs-situs di Kompleks Megalitik Balano Laina Kecamatan Mandrehe

Megaliti Bago Bale Megaliti Gati ZI Ila

Kompleks situs Megalitik Balano Laina ini terletak di puncak bukit/gunung sebelah Utara desa Mandrehe dan untuk mencapai ke situs ini harus melewati tanjakan gunung yang rindang dengan pepehonan kebun masyarakat juga medannyapun sangat terjal dan licin ketika musim hujan, tanjakan gunung ini dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dengan jalan kaki. Megalitik Baladano Laina, Desa Mandrehe, Kec. Mendrehe, Kabupaten Nias Barat. Kawasan situs ini berdekatan dengan aliran sebuah sungai besar yaitu Sungai Oyo Desa Baladano, untuk mencapai ke situs mendaki bukit setinggi 150 meter sampai ke lokasi. Situs ini terdiri dari kumpulan batu-batu megalitik berbentuk bulat, seperti meja batu, batu menhir, serta patung leluhur yang terlihat pada foto-foto diatas hasil rekaman tim monitoring BPCB Aceh bulan Desember tahun 2019.
- RUMAH SUKU NIAS DI DESA MANDRE KECAMATAN MANDREHE KABUPATEN NIAS BARAT
Rumah adat Nias adalah rumah panggung dalam bahasa Nias disebut ( Omo Hada) merupakan rumah tradional orang Nias pada umumnya, seperti yang terdapat di desa Mandrehe Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat masih utuh dan terpelihara namun belum terdaftar sebagai cagar budaya. Rumah adat ini terletak di jalan Raya Olimbu Lahomi arah menuju ke situs megalitik Balano Laina yang jaraknya sekitar 1 km sebelum tiba di situs. Rumah suku Nias ini terlihat saat tim BPCB Aceh melaksanakan monitoring ke situs megalitik Baladano Laina akhir Desember 2019, dan di Desa ini terdapat 2 buah Rumah adat yang bentuknya hampir sama juga rumah ini belum ada perubahannya, Jarak rumah adat tersebut antara satu dengan yang lainnya sekitar 300 meter,
Rumah adat suku nias ini sudah berumur ± 200 tahun dan sangat unik, bentuknya pun bulat telur dengan denah 12 x 10 m, rumah bentuk panggung yang berdiri diatas tiang – tiang dengan ketinggian 1,5 m, memiliki satu tangga, menghadap ke timur, dinding papan dan atap rumbia. Secara geografis terletak pada titik koordinat 1°01’32.1″N 97°29’05.0″E.menurut informasi masyarakat setempat rumah ini adalah rumah suku nias yang ditempati oleh keturunannya.
Sumber;https://www.google.com/jumlah+pendudukkabupaten+nias+barat Donwload tgl 22 Januari 2020
Foto 1 Foto 2

Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung (Oncosperma tigillarium) yang tinggi dan besar, yang beratap rumbia (Metroxylon sagu). Bentuk denahnya ada yang bulat telur (di Nias utara, timur, dan barat), ada pula yang persegi panjang (di Nias tengah dan selatan). Bangunan rumah panggung ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan antara kerangkanya tidak memakai paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Ruangan dalam rumah adat ini terbagi dua, pada bagian depan untuk menerima tamu menginap, serta bagian belakang untuk keluarga pemilik rumah. Di halaman muka rumah dahulu biasanya terdapat patung batu, tempat duduk batu untuk berpesta adat, serta di lapangan desa ada batu-batu besar yang sering dipakai dalam upacara lompat batu. Saat ini peninggalan batu dari masa Megalitik seperti itu yang keadaanya masih baik dapat dilihat di desa-desa Bawomataluwo dan Hilisimaetano kabupaten Nias Selatan. Selain itu di Nias Barat terdapat pula rumah adat Nias jenis lain yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri (Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan dan di Nias ada juga jenis rumah adat tertentu yang dahulu dipakai khusus untuk rumah berhala-berhala orang Nias, yang dinamakan Osali.
Di Kabupaten Nias Barat khususnya kecamatan Moro’ö masih banyak terdapat tinggalan cagar budaya seperti rumah adat, rumah tradional dan pemukiman yang unik, menurut informasi masyarakat setempat ada 20 rumah yang letaknya berjejer, rumah-rumah tersebut sudah berumur hampir 200 tahun, menurut uu cagar budaya no 10 tahun 2011 sudah memenuhi syarat untuk dapat diusulkan dalam system registrasi nasional sebagai dan di daftar sebagai cagar budaya, di Nias Barat ini potensinya sangat bagus untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata kerena daerah ini memiliki potensi alam yang indah seperti panorama yang asri dan sumber pemandian air panas yang keluar dari gunung. (Nurdin), (Sumber hasil monitoring desember 2019).
Megalitik adalah tinggalan masa lalu yang merupakan kebudayaan nenek moyang yang disebut tradisi adat yang dilakukan menghasilkan benda benda/bangunan dari batu yang berhubungan dengan upacara/penguburan. Megalitik (juga dikenal sebagai “kebudayaan megalitikum”) adalah bentuk-bentuk praktik kebudayaan yang dicirikan oleh pelibatan monumen atau struktur yang tersusun dari batu-batu besar (megalit) di Indonesia banyak ditemukan tradisi kubur tempayan yang terkait dengan kultur megalitik. Tinngalan Batu Megalitik di Kecamatan Mandrehe Nias Barat ini merupakan tinggalan budaya, prilaku nenek moyang masa lalu yang perlu rawat dilindungi dan dilestarikan, di kecamatan Mandrehe khususnya Kabupaten Nias Barat masih banyak tinggalan-tinggalan prasejarah, batu megalitik yang belum terdaftar sebagai cagar budaya.
D. PEMBAHASAN
Peletarian cagar budaya adalah usaha perlindungan tinggalan Megalitik, Prasejarah dan rumah tradisional yang merupakan rantai sejarah masa lalu, dengan pelestarian, perawatan dan pemanfaatan maka rantai sejarah ini tetap tersambung sampai akir zaman. Di Pulau Nias sudah dilakukan beberapa kali Inventarisasi tentang situs-situs megalitik, rumah adat, rumah tradisional yang merupakan tinggalan sejarah sejak berdirinya Kantor BPCB Aceh tahun 1991, dan sampai saat ini setelah monitoring akhir tahun 2019 data terperinci tentang jumlah, jenis, ukuran, gambar/foto dan denah/peta lokasi megalitik, rumah tradisinal belum terhimpun secara lengkap baik di Kantor BPCB Aceh maupun di Pemda Kabupaten. Pelestarian ini masih terbatas karena terbatasnya anggaran pemerintah sehingga pelestarian yang dilakukan berdasarkan skala perioritas dari situs-situs yang ada. disamping itu juga SDM pengelolaan masih kurang, terutama tenaga teknis perawatan dan masyarakat yang belum memahami arti pentingnya cagar budaya sehingga sebagian masyarakat rela menjual/menukarkannya dengan rupiah hanya untuk keperluan kebutuhan hidup.
- Kesimpulan
Dalam pelestarian cagar budaya pemerintah daerah perlu melibatkan semua pihak di daerah mulai dari tingkat Kabupaten hingga pendesaan dengan melakukan upaya pendekatan kepada masyarakat dan memberikan pemahaman serta mengajak untuk berperan serta dalam kepedulian dan pelestarian situs-situs tinggalan cagar budaya, dengan demikian akan terbinanya kerjasama antar instansi yang menangani pelestarian dengan instansi yang menyelenggarakan pemanfaatan (pariwisata) sehingga situs-situs yang telah dilakukan pengembangan dapat dijadikan sebagai objek wisata dan perlu dikembangkan keterampilan dan kreativitas masyarakat dalam upaya peningkatan ekonomi sehingga taraf hidup masyarakat setempat menjadi lebih mapan. Upaya pelestarian adalah rencana pemanfaatan dan pengelolaan yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu upaya pengelolaan harus dimulai dengan menumbuhkan apresiasi masyarakat tentang pentingnya pelestarian peninggalan budaya yang dapat dimanfaatkan dan senantiasa mempunyai nilai dan makna. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya arkeologi sebagai warisan budaya. Paradigma arkeologi publik memandang bahwa warisan budaya pada hakikatnya adalah milik semua orang, dan bukanlah milik individu-individu tertentu, sehingga semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya arkeologi tersebut masyarakat berhak untuk mengetahui serta merasakan manfaatnya (Little, 2002).
Masyarakat memiliki peran yang sangat urgen dalam pelestariannya. Akan tetapi, hal ini tidak cukup jika tidak ada kerja sama dengan berbagai pihak. Beberapa prinsip merupakan satu kesatuan faktor dalam meningkatkan proses pelestarian warisan budaya, karena upaya pelestarian merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis budaya–ekologi-masyarakat secara menyeluruh komprehensif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dibutuhkan masyarakat sebagai pusat pengelolaan, kerja sama dan kolaborasi antar disiplin ilmu maupun sektor, terciptanya mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aspirasi masyarakat, dukungan dan penegakan aspek legal, dan perlu diwujudkan pasar pelestarian yang menunjang kesinambungan pengelolaan. (Syam, seri 2, 2009).
- Saran
Tinggalan Situs Megalitik dan Rumah tradisional di Kabupaten Nias Barat agar diusulkan dalam system registrasi nasional sebagai cagar budaya dan perlu:
- Pemerintah melakukan Perekaman data situs-situs yang dianggap cagar budaya secara detail dengan Menginventarisasi, mengukur, mendokumentasi dan interview dengan masyarakat yang mengetahui sejarah agar seluruh cagar budaya di Kabupaten Nias dapat dikaji dan dievaluasi guna memperioritaskan upaya pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan dengan menempatkan juru peliharanya.
- Melakukan perbaikan/renovasi, pemugaran situs cagar budaya yang sudah mengalami kerusakan dilaksanakan dengan bahan-bahan yang sesuai agar dapat dikembalikan seperti bentuk aslinya.
- Menempatkan juru pelihara agar perawatan dan pemeliharaannya secara tradisional dan rutinitas selalu dilaksanakan.
- Pelunya melakukan kegiatan konservasi dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang dilaksanakan oleh tenaga-tenaga ahli konservasi baik dari daerah maupun pusat
Daftar Pustaka
Sinar, Teuku Luckman, 1991. Sejarah medan Tempo Doeloe, Medan Lembaga penelitian dan Pengembangan Seni Buadaya
Republik Indonesia. 2010 Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya Cagar Budaya. Jakarta :Republik Indonesia
BPCB, 2015 “Pendataan cagar Budaya di Kabupaten Nias”
BPCB, 2019 “Monitoring keterawatan situs cagar budaya Kabupaten Nias Utara, Kota Nias dan Nias Barat”
Internet
https://www.google.com/jumlah+pendudukkabupaten+nias+barat Donwload tgl 22 Jan. 2020
+tradisonal+Botohilitano+kab+nias+selatan Donwload tgl. 30 Jan. 2020
.dhttp://niasonline.net/ 2013/10/01/sekilas-asal-usul-desa-botohilitano/ download tgl 30 Jan.2020