ARSITEKTUR TRADISIONAL SUKU KARO/RUMAH ADAT KARO KABUPATEN KAROPROVINSI SUMATERA UTARA

0
24639

Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, struktur, dan cara pembuatannya diwariskan secara turun menurun dan dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik baiknya. Bangunan tradisional Batak Karo memperlihatkan saat itu telah menggunkan konsep membangun yang menyesuaikan diri dengan iklim tropis lembap. Ini dapat dilihat dari sudut kemiringan atap yang cukup besar, teritisan yang lebar dan lantai bangunan yang diangkat dari muka tanah.

Rumah adat Karo terkenal kerena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial budayanya. Rumah Adat Karo memiliki kontruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua kompenen bangunan seperti tiang, balok, kolam, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa adanya melakukan penyurutan atau pengolahan. Pertemuan antar komponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalam setengah meter, dialasi dengan beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 m dari timur ke barat dengan pintu pada kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan rumah adat karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.

Biasanya membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah mengenai besar, tempat dan hal hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan menggambil kayu ke hutan mereka menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan penjaga hutan agar jangan murka kepada mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah. Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh Yang Maha Kuasa agar tidak terjadi hal hal yang buruk.

Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru sebelum rumah itu ditempati. Mereka akan mempimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni maupun tidak. Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah baru (pesta memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas semua batu tersebut kepada saudara-saudara dan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama pada kerabat, kenalan dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak berkompeten seperti : kalimbubu anak beru dan senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah baru guru akan menepung tawari bagian-bagian tertentu dari rumah tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menepati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. Gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.

Keberadaan rumah adat Karo juga tak terlepas dari pembentukan kuta (kampung) di tanah karo yang berawal dari barung, kemudian menjadi talun, dan menjadi kuta dan di dalam kuta yang besar terdapat kesain. Pada sebuah barung biasa nya hanya terdapat sebuah sebuah rumah sederhana, ketika sebuah barung berkembang dan sudah terdapat 3 rumah di dalamnya disebut dengan talun dan bila telah terdapat lebih dari 5 rumah adat disebut sebagai kuta ketika kuta sudah berkrmbang lebih pesat dan lebih besar maka kuta dibagi atas beberapa kesain (halaman/pekarangan), disesuaikan dengan merga-merga yang pertama menteki (mendirikan ) kuta tersebut.

Struktur bangunan rumah adat karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagian dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa karo disebut dibata atas, dibata tengah, dan dibata teruh (allah atas, allah tengah dan allah bawah). Pembagian anatomi rumah adat karo menggambarkan dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang peliharaan, yang dalam kepercayaan suku Karo disukai oleh Tuhan banua koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak menganggu kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Semuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan  kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.

Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabunya di dalam rumah  diatur menurut ketentuan adat dan di dalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.

Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau untuk dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai dua belas keluarga dapat tinggal dirumah tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami, istri dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh sampai enam puluh orang. Anak-anak tidur dengan orang tua sampai menjelang usia dewasa, pada pria dewasa (bujangan) tidur dibale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga lain dirumah lainnya.

Rumah adat Batak Karo berukuran 17 x 12 m² dan tingginya 12 m² bangunan ini simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit untuk membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunungan atau sungai. Delapan dari tiang-tiang ini menyanga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap kedua pintu masuk dan kedelapan jendela dipasang diatas dinding yang miring, di atas lingkaran balok. Tinggi pintu kira-kira 1,5 m hal ini membuat orang yang masuk ke dalam harus menundukkan kepala dan jendela ukuran nya lebih kecil. Pintu mempunyai daun jendela tunggal.

Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau bambu. Bubungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. bagian terendah dari atap pertama dibagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dinding atap yang menonjol ditutup dengan tikar bambu yang sangat indah.

Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar dari tunggku dalam rumah. Pada bagian depan dan belakang rumah adalah panggung besar yang disebut ture kontruksinya sederhana dari potongan bambu melingkar dengan diameter 6 cm. Panggung ini digunakan untuk tempat mencuci, menyiapkan makanan, sebagai tempat pembuangan (kotoran hewan) dan sebagai ruang masuk utama. Jalan masuk menuju ture adalah tangga bambu atau kayu. (Nurdin)