Seni Pertunjukan Masyarakat Jawa Kuna
oleh: Timbul Haryono
Seni pertunjukan masyarakat Jawa Kuna pada masa Borobudur dijumpai dalam prasasti Kuti tahun 762 Saka (18 Juli 840) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo, Jawa Timur lempengan IVa. Di situ tertulis istilah hanapuka, hatapukan berasal dari kata ‘tapuk’ yang berarti ‘topeng’. Sedangkan kata ‘haringgit’ berasal dari kata ‘ringgit’ yang berarti ‘wayang’. Kata ‘ringgit’ sampai sekarang masih ada dalam bahasa Jawa Baru yang artinya juga wayang atau bentuk bahasa Jawa karma ‘wayang’.
Pada sisi belakang (Ib) prasasti Waharu I tahun 795 Saka (20 April 873), yang menunjukkan jenis pertunjukan adalah kata ‘widu mangidung’ dan ‘mapadahi’. Widu mangidung dapat diartikan sebagai penyanyi wanita atau di dalam seni pertunjukan tradisional disebut ‘pesindhen’, ‘waranggana’. Kata ‘widu’ dalam bahasa Indonesia sekarang ini menjadi ‘biduan’, sedangkan kata ‘mangidung’ artinya tembang (berasal dari kata ‘kidung’). Adapun kata ‘mapadahi’ berasal dari kata ‘padahi’ yang berarti ‘kendang.
Di dalam prasasti Poh tahun 905 M selain disebutkan adanya seni musik gamelan dan juga seni tari dan lawak. Mereka (para seniman) diundang untuk menghadiri upacara penetapan sima sebagai saksi. Barangkali mereka juga menggelar pertunjukan. Gamelan yang ditabuh adalah padahi, regang, tuwung; sedangkan tariannya adalah tari topeng dan lawak.
Upacara penetapan sima diuraikan secara lengkap dalam Prasasti Taji tahun 823 Saka (8 April 901). Pesta yang diadakan selain makan minum juga menari atau mangigel, serta adu ayam jago (masawungan – sawung artinya ayam jago). Menarik perhatian bahwa pesta tarian dilakukan semua yang hadir termasuk pejabat kerajaan secara bergantian.