Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya yang bisa digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kekayaan sumber daya budaya dapat berupa fisik maupun non fisik. Salah satu kekayaan tersebut adalah sumberdaya arkeologi yang tersebar di seluruh Indonesia.Salah satu kawasan yang banyak mengandung sumberdaya arkeologi adalah kawasan pegunungan kapur Maros dan Pangkep di Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan pegunungan kapur (karst) terdapat gua-gua yang pada masa prasejarah dihuni oleh manusia. Terpilih gua sebagai tempat bermukim manusia tidak terlepas dari tersedianya sumberdaya alam yang terdapat pada lingkungan sekitar gua. Selain sebagai tempat tinggal, dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua (Stern, 1973 dalam Linda, 2005). Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (Kosasih, 1983). Menurut H.R. Van Hekeren (1972 dalam Permana, 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di Sulawesi Selatan berlangsung sejak pertengahan atau penghujung kala Pleiostosen akhir yakni sekitar 50.000 hingga 30.000 tahun sebelum Masehi.
Setelah ribuan tahun ditinggalkan, kini lukisan dinding gua di Kabupaten Maros dan Pangkep telah banyak mengalami kerusakan karena proses pelapukan dan pengelupasan kulit batuan terus berlanjut. Lukisan pada dinding gua prasejarah umumnya mengalami kerusakan yang sama, selain terjadi pengelupasan juga terjadi retakan mikro dan makro. Di samping itu di beberapa tempat warna lukisan memulai memudar terutama lukisan yang terletak di bagian dinding depan mulut gua. Demikian pula proses inkrastasi (pengendapan kapur) terus berlanjut, hampir semua gua terjadi proses pengendapan kapur pada kulit batuan gua, coretan spidol dan goresan benda tajam juga banyak dijumpai (Said, dkk, 2007).
Meskipun banyak yang telah mengalami kerusakan, keberadaan lukisan prasejarah yang mampu bertahan selama puluhan ribu tahun tersebut sangat menggugah untuk dikaji. Banyak pertanyaan yang timbul mengenai lukisan tersebut, mulai dari bahan yang digunakan, metode peramuan dan aplikasinya, hingga interaksinya dengan dinding gua dan lingkungan sehingga mampu bertahan dalam kurun waktu yang sangat lama.
Pengetahuan mengenai bahan lukisan tersebut sangat penting untuk dikaji secara mendalam sebagai bagian dari usaha konservasi. Berbagai manfaat dapat diambil apabila pertanyaan mengenai bahan yang digunakan pada lukisan tersebut dapat terungkap. Manfaat tersebut antara lain dapat diketahui interaksi bahan tersebut dengan dinding dan lingkungan, sehingga dapat digunakan untuk merumuskan metode konservasinya. Manfaat yang lain adalah dapat dijadikan acuan dalam melakukan restorasi lukisan yang hilang/ mengelupas jika diperlukan. Dan yang lebih penting adalah dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan untuk mengungkap pola kehidupan masa lalu dan kearifan budayanya.
A. Tinjauan Pustaka (Penelitian Terdahulu yang Relevan)
Sulitnya mengungkap bahan yang digunakan pada lukisan menyebabkan hingga saat ini belum ada statemen yang pasti mengenai jenis bahan lukisan maupun cara aplikasinya. Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan adalah laporan survey, serta laporan studi konservasi dan observasi yang dilakukan oleh Samidi (1985 dan 1986). Pada laporan tersebut dilakukan survey kerusakan dan beberapa tindakan konservasi.
Tindakan konservasi yang dilakukan meliputi konsolidasi dengan beberapa bahan dan restorasi lukisan. Restorasi dilakukan pada lukisan yang mengelupas dengan bahan oker hematit yang dicampur dengan bahan pengikat. Bahan pengikat yang diujicoba adalah Paraloid B-72 dan EPIS yang merupakan bahan kimia sintetis dan Tuak sebagai bahan alami. Meskipun tidak secara langsung menyebut bahan lukisan terbuat dari hematit, Samidi telah menggunakan hematit sebagai pigmen pengganti. Dengan kata lain Samidi telah menduga bahwa bahan pewarna lukisan yang digunakan adalah hematit. Pemilihan hematit sebagai bahan pewarna oleh Samidi didasarkan pada masyarakat tradisional Toraja yang menggunakan hematit untuk membuat pewarna pada hiasan rumah adat. Beberapa peneliti terdahulu juga telah menyebutkan dugaan warna merah berasal dari hematit. Dugaan ini didasarkan atas temuan hematit yang terdapat di Leang Burung 2 dan Pattae. Temuan hematit di Leang Burung 2 diperoleh pada penggalian yang dilakukan oleh I.C. Glover pada tahun 1973. Hematit ini ditemukan pada berbagai lapisan bersama-sama dengan temuan batu inti dan alat serut. Hematit yang ditemukan berupa pecahan seperti batu merah dan tampak adanya alur-alur yang diduga sebagai akibat dari usaha manusia untuk memanfaatkannya (Glover, 1981 dalam Restiyadi, 2007). Hematit di Leang Pattae ditemukan oleh Van Hekeren tahun 1950. Selain itu ditemukan pula alat-alat batu berupa mikrolit, serpih, mata panah dan kapak genggam Sumatera. Kapak genggam Sumatera ini diduga pernah digunakan sebagai bahan pukul atau batu giling karena pada beberapa bagiannya tempak bekas-bekas warna merah (Heekeren, 1965 dalam Restiyadi, 2007). Hematit bukanlah perwarna instant yang siap dipakai, akan tetapi diperlukan sebuah proses pengolahan terlebih dahulu yaitu proses dari hematit padat ke pewarna cair. Melalui temuan hematit dan adanya tanda-tanda pengerjaan yang ditemukan oleh Glover dan Hekeren, dapat diduga adanya persiapan-persiapan (pra produksi) sebelum produksi lukisan gua (Restiyadi, 2007).Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Sadirin (1998). Pada penelitian tersebut dicoba usaha untuk membuat dugaan campuran yang digunakan dengan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan (sirih, gambir, dan pinang). Namun sayang laporan penelitian tersebut tidak tersimpan di BP3 Makassar, sehingga sulit untuk digunakan sebagai dasar pijakan teoritis. Menurut keterangan pegawai BP3 yang terlibat, hasil penelitian yang menggunakan bahan-bahan alami tumbuh-tumbuhan tersebut pada awalnya cukup baik, namun tidak dapat bertahan lama. Dalam waktu beberapa bulan sudah memudar.
B. Kerangka Berfikir dan Observasi Lapangan
Untuk membuat dugaan dan analisis lebih lanjut mengenai bahan lukisan beberapa dasar pemikiran yang digunakan adalah sebagai berikut :
Bahan yang digunakan merupakan material anorganik. Bahan organik merupakan bahan yang relatif mudah terurai, sehingga bahan anorganik lebih mungkin untuk dapat bertahan hingga puluhan ribu tahun. Hal ini telah dibuktikan oleh Sadirin (1998) yang menggunakan bahan organik ternyata hanya mampu bertahan beberapa bulan.
Tanpa menafikkan adanya kearifan budaya, tingkat ilmu pengetahuan manusia prasejarah belumlah begitu tinggi, sehingga campuran yang digunakan bersifat relatif sederhana. Ramuan yang digunakan diduga tidak sangat kompleks dan rumit.
Sumber bahan yang digunakan berasal dari wilayah yang tidak terlalu jauh dari situs.
Kelekatan lukisan pada dinding gua yang kuat mengindikasikan adanya interaksi kimia yang efektif. Pengelupasan yang terjadi umumnya merupakan pengelupasan lapisan dinding, bukan lapisan lukisan yang terkelupas.
Oleh karena itu tim penulis berupaya membuat hipotesis mengenai bahan lukisan dan teknologi campurannya. Untuk mendukung hipotesis maka diupayakan untuk mencari fakta-fakta dan bukti di lapangan. Berdasarkan survey yang dilakukan diperoleh hal-hal sebagai berikut :
Ditemukan mineral merah (hematit ?) disekitar situs. Berdasarkan observasi juga ditemukan bahwa mineral merah tersebut merupakan mineral yang menyusun struktur karst. Namun mineral tersebut bersifat lunak sehingga mudah terlarut (tergerus) oleh air. Keberadaan mineral tersebut saat ini tidak lagi melimpah karena sifatnya yang rapuh. Namun jejaknya masih dapat dilihat dengan mudah, yaitu berupa pecahan-pecahan pada sampah dapur, dijumpai sebagai bongkahan di tanah, dan lapisan merah pada permukaan dinding karst yang dilewati air. Banyak dijumpai dinding karst yang berwarna merah secara alami, diduga ada mineral merah diatasnya yang tergerus oleh air kemudian mengendap pada permukaan. Penelusuran di sungai juga menunjukkan bahwa sungai banyak mengandung endapan mineral merah, termasuk pasirnya yang berwarna kemerahan akibat bercampur dengan mineral merah yang halus. Survey di Sumpang bita menemukan banyak bongkahan mineral merah di wilayah kaki karst dari penggalian tanah oleh penduduk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mineral merah (hematit ?) merupakan mineral yang kelimpahannya tinggi di pegunungan karst Maros-Pangkep terutama pada masa lampau.
Observasi vegetasi di sekitar situs menemukan tumbuhan khas yang hampir selalu ada di sekitar situs adalah pohon asam dan pohon lontar (Talla; makassar, Siwalan; Jawa). Meskipun belum tentu berhubungan dengan lukisan, namun vegetasi ini juga perlu mendapat perhatian pada saat mempertimbangkan jenis campurannya.
Observasi terhadap hasil pengujian dari penelitian Samidi (1986) yang mengejutkan adalah dapat bertahannya campuran hematit dengan air tuak. Sampai observasi terakhir oleh tim penulis lapisan tersebut masih bertahan dan cukup kuat, meskipun pada awalnya diragukan oleh peneliti sendiri. Fakta ini perlu diungkap secara ilmiah sehingga dapat mendukung hipotesis-hipotesis selanjutnya.
Dasar teori yang digunakan untuk berpijak adalah teori mengenai pembentukan stalaktit pada gua (Reaksi karstifikasi). Reaksi kimia yang terjadi pada pembentukan stalaktit tersebut adalah sebagai berikut ;
– Reaksi air dengan CO2 diudara, H2O + CO2 —-> H2CO3
– Asam karbonat (H2CO3) bereaksi dengan kapur,
H2CO3 + CaCO3 —–> Ca2+ + 2 HCO3– (larut)
– Reaksi menghasilkan seyawa bikarbonat (HCO3–) yang larut
– Senyawa bikarbonat kembali menjadi karbonat yang keras, sehingga
terbentuk stalaktit, Ca2+ + 2 HCO3– —–> CaCO3 (keras) + H2O + CO2
Secara ringkas dapat dituliskan :
Karbonat (keras) + asam —–> Bikarbonat (larut) —–> Terurai kembali menjadi Karbonat (keras)
C. Hipotesis dan Pengujiannya
Berdasarkan kerangka berfikir dan hasil observasi di atas maka disusun beberapa hipotesis yang akan diuji lebih lanjut melalui serangkaian analisis dan percobaan. Adapun hipotesis yang dikemukakan adalah :
Bahan pewarna (pigmen) yang digunakan berasal dari mineral merah (hematit ?) yang banyak terdapat di sekitar situs.
Bahan pengikat yang digunakan agar dapat melekat dengan kuat pada dinding karst adalah bahan alami yang bersifat asam (sedikit asam). Bahan pengikat tersebut tidak bersifat seperti perekat tetapi menggunakan prinsip pembentukan stalaktit di atas. Yaitu bahan asam bereaksi dengan dinding karst menyebabkan permukaan karst yang berkontak dengan larutan pewarna menjadi larut sementara, kemudian mengeras kembali dan bahan warna terikat (berinteraksi secara kimia).
Bahan alami bersifat asam dapat berupa berbagai ekstrak tumbuhan, pada umumnya ekstrak tumbuhan memang bersifat asam. Tim penulis memilih jenis vegetasi endemik yang hampir selalu dijumpai di setiap situs yaitu buah asam dan air buah lontar. Sebagai perbandingan diuji juga larutan asam cuka, serta ekatrak gambir dan pinang.
Hipotesis tersebut masih bersifat dugaan sehingga perlu dilakukan pengujian untuk membuktikan kebenarannya. Pengujian yang dilakukan meliputi serangkaian analisis dan percobaan sebagai berikut :
Analisis terhadap bahan lukisan dengan analisis elemental kimia dan analisis intrumental modern. Instrumental yang direncanakan adalah spektroskopi XRD untuk analisis mineral, dan FTIR untuk analisis gugus fungsi. Untuk mempermudah interpretasi dilakukan analisis terhadap sampel lukisan, mineral merah, dan batuan dinding gua. Analisis ini sekaligus menguji jenis mineral merah tesebut apakah benar hematit atau bukan.
Percobaan pembuatan campuran bahan lukisan dengan bahan mineral merah dan beberapa bahan pencampur. Bahan pencampur yang diuji adalah larutan asam 10 %, Air buah lontar segar, Air buah lontar yang telah didiamkan satu hari (telah asam), Ekstrak daun sirih, Ekstrak buah pinang, Ekstrak daun sirih + buah pinang, Larutan asam cuka, dan Akuadest sebagai kontrol.
Bahan percobaan dioleskan pada permukaan batu karst percobaan yang diambil dari sekitar situs, dan diuji ketahanannya.
D. Penutup
Setelah diketahui bahan pewarna yang digunakan melalui pengujian hipotesis diatas, maka dapat dilakukan tahap-tahap selanjutnya. Tindakan konservasi yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian adalah memperlambat pelapukan dan pengembalian dengan rekonstruksi. Konsep konservasi yang dikemukakan oleh penulis dalam melakukan tindakan adalah sebagai berikut :
Menggunakan bahan-bahan alami. Bahan asli pembuatan benda-benda bersejarah merupakan bahan-bahan alami sehingga pada rekonstruksinya juga diusahakan menggunakan bahan-bahan alami. Bahan alami juga diharapkan bersifat lebih ramah terhadap objek dan lingkungannya.
Sedikit mungkin menggunakan bahan kimia sintetis.
Diupayakan bersifat reversible, artinya rekonstruksi yang dilakukan tidak bersifat tetap dan merusak. Sehingga pada saat ditemukan masalah atau kesalahan aplikasi, masih dapat dikembalikan pada kondisi sebelum rekonstruksi.
Perlu memperhatikan teknik aplikasi yang sesuai dengan objek aslinya, sehingga hasilnya selaras dan bernilai estetika tinggi. Sebagai contoh pembuatan garis-garis lukisan pada gambar badan babi rusa agar disesuaikan dengan pola garis lukisan aslinya. Dalam hal ini perlu melibatkan ahli (kurator)
Teknik rekonstruksi bagian yang mengelupas adalah dengan mengembalikan pengelupasan terlebih dahulu, tidak langsung dilukis pada bagian yang sudah mengelupas. Sehingga perlu dikembangkan bahan penutup pegelupasan yang bersifat alami dan reversibel. Selanjutnya pewarna untuk rekonstruksi digambar di atas permukaan lapisan tersebut. Pada studi ini dikembangkan bahan pelapis dari serbuk karst yang dicampur dengan bahan pengikat. Bahan pengikat yang dicoba adalah gamping (kapur bangunan) dan larutan cuka. Dengan cara ini diharapkan diperoleh metode konservasi efektif yang menggunakan bahan tradisional dan bersifat reversibel. *
————————————————————
Nahar Cahyandaru, S.Si – Yudi Suhartono, M.Hum – Riyanto P Lambang (Balai Konservasi Borobudur) – Dr. Nuryono(Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Gadjah Mada)
Daftar Pustaka
Kosasih, S.A. 1983. “Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta, hal 158-175,
Linda, 2005. Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM
Restiyadi, Andri 2007. “Diskursus Cap Tangan Negatif Interpretasi Terhadap Makna dan Latar Belakang Penggambarannya di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan” dalam Artefak Edisi XXVIII. Yogyakarta : Hima UGM
Samidi, 1985. Laporan Hasil Survey Konservasi Lukisan Gua Sumpang Bita dan Pelaksanaan Konservasi Lukisan Gua Pettae Kerre, Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan
Samidi, 1986, Laporan Konservasi Lukisan Perahu/ Sampan si Gua Sumpang Bita (Tahap Awal) dan Konservasi Lukisan Babi Rusa di Gua Pettae Kerre (Penyelesaian), Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.