Candi Borobudur Sebagai Mandala di Masa Lampau ( Bagian I)
oleh: Daud Aris Tanudirjo
Candi Borobudur sebagai mandala di masa lampau sudah lama menjadi topik diskusi para pakar. Candi Borobudur sebagai mandala tidak hanya terbatas pada penafsirannya untuk masa lampau tetapi juga penafsirannya di masa kini. Mandala dapat berarti sebuah lingkaran. Namun, dalam penerapannya, konsep ini diberi makna kontekstual yang berbeda-beda. Dalam Hindu World, an Encyclopedic Survey of Hinduism (Walker, 1983), misalnya, disebutkan bahwa mandala lebih banyak dipahami sebagai diagram simbolis yang terdiri atas bentuk-bentuk persegi, segitiga, labirin, permata, atau suluran yang ada dalam suatu lingkaran. Diagram ini seringkali dilukiskan di atas kertas atau tanah, atau digoreskan dan dipahatkan pada lembaran logam, batu, kayu, tulang, atau media lain. Orang yang ingin bermeditasi dapat memakai diagram ini untuk membantu konsentrasi. Dalam konteks ini, mandala dianggap sebagai pusat kekuatan psikis.
Dalam konteks yang lain, secara lebih luas mandala juga diartikan sebagai suatu medan yang disucikan. Medan ini dipisahkan dari wilayah profan dengan jajaran tokoh-tokoh magis di tempat-tempat tertentu dan ‘penjaga’ pintu masuknya. Bagian-bagian yang ditandai khusus pada mandala itu dipercayai ditempati oleh dewa tertentu atau sebagai tempat kedudukan para dewa (surga, istana, altar). Karena itu, di bagian yang ditandai itu sering terdapat gambar dewa, tokoh, atau lambangnya.
Pengertian yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Grover (1980), ketika membahas arsitektur Hindu dan Budhis. Menurutnya, mandala sesungguhnya adalah bentuk geometris yang paling hakiki dan dasar dari bentuk yang lain, yaitu bentuk persegi dan lingkaran. Untuk mendirikan bangunan suci para dewa, tidak ada bentuk dasar yang paling sesuai selain kedua bentuk dasar ini. Karena itu, denah bangunan suci untuk para dewa selalu menggunakan konsep mandala. Dalam konteks arsitektur, bentuk persegi lebih banyak digunakan pada bangunan hinduistik, sedangkan bentuk lingkaran lebih banyak digunakan pada bangunan budhis. Namun, pada dasarnya kedua bentuk itu akan menjadi rujukan utama dalam setiap karya arsitektur hinduistik maupun budhis, sehingga menjadi dasar apa yang disebut sebagai Vastupurush-mandala, yang secara hurufiah dapat diartikan ‘skema magi untuk arsitektur Manusia Utama’. Berbagai paduan bentuk dasar dalam Vastupurushmandala menjadi pangkal pedoman bagi para arsitektur India untuk menghasilkan desain bangunan yang rumit dan beragam.