Cagar Budaya Sebagai Mitra Pendidikan (5)
Dalam penerapan cagar budaya sebagai mitra pendidikan, diperlukan sebuah formulasi agar cagar budaya dapat memberikan pengetahuan sesuai dengan yang diharapkan oleh dunia pendidikan, diperlukan juga program-program untuk mendukung sinergi antara pendidikan dan pengetahuan cagar budaya, program-program yang dapat dilaksanakan antara lain adalah:
- Sekolah Cagar Budaya merupakan kegiatan bersekolah dengan materi berhubungan dengan cagar budaya dengan kunjungan dan penjelasan yang diberikan oleh instansi terkait yang dapat menuturkan bagaimana penting dan berharganya cagar budaya untuk bangsa Indonesia, terlebih lagi untuk pendidikan. Salah satu instansi yang telah mengadakan program ini adalah BPCB DIY yang dilaksanakan di Candi Kedulan. Kegiatan ini sangat potensial dan dapat dilaksanakan dikawasan Candi Borobudur karena banyak sekolah-sekolah maupun instansi di sekitar Candi Borobudur sebagai sasaran pendidikan. Program ini dapat terlaksana dengan kerjasama dengan Balai Konservasi Borobudur dan PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko.
- Pramuka Cagar Budaya merupakan kegiatan luar ruangan yang sama dengan kegiatan pramuka pada umumnya namun dapat dilakukan di sekitar cagar budaya dan dengan materi-materi pendidikan yang berhubungan dengan cagar budaya dengan harapan memupuk jiwa mandiri dan nasionalisme, karena tujuan kegiatan pramuka sendiri dilaksanakan untuk menginternalisasikan nilai ketuhanan, kebudayaan, kepemimpinan, kebersamaan sosial, kecintaan alam, dan kemandirian peserta didik. Lokasi kawasan Candi Borobudur dapat dipilih selain karena wilayahnya yang luas, juga memiliki keragaman materi yang dapat mendukung kegiatan pramuka.
- Laboratorium lapangan merupakan gagasan cagar budaya sebagai suatu objek penelitian dan pengembangan baik untuk siswa sekolah, mahasiswa dan masyarakat umum. Kenapa laboratorium? Karena cagar budaya merupakan spesimen budaya yang dapat dibedah dan dipelajari bahkan oleh orang awam sekalipun. Candi Borobudur sejak dulu memang sudah menjadi laboratorium lapangan karena merupakan kawasan penelitian yang sudah dilakukan sejak jaman kolonial hingga sekarang dan bukan hanya akademisi arkeologi saja namun dari banyak disiplin ilmu lain yang dapat turut serta.
Ide-ide tersebut tentu bukan merupakan pilihan utama dalam bahasan ini, pasti ada pilihan dan ide-ide lain yang lebih baik dan dapat memformulasikan dengan tepat “cagar budaya sebagai mitra pendidikan” karena keberagaman metode akan selalu berkembang dari masa ke masa mengikuti kebutuhan jaman, namun perlu diingat bahwa di sela-sela kemajuan jaman, kita sebagai bangsa Indonesia harus mengingat dari mana kita berasal, dari mana kita bermula, dan dari mana kita berpijak hingga menjadi bangsa yang besar seperti saat ini, hal tersebut harus dipahami dan direnungkan karena tanpanya pengetahuan cagar budaya atau pengetahuan apapun itu hanya akan menjadi pengetahuan yang mencerdaskan manusia tanpa memiliki “jiwa”. Apa maksud jiwa disini? Yaitu moral, budi pekerti, semangat nasionalisme dan rasa bangga atas nenek moyang atau leluhur bangsa Indonesia.
Referensi
Prasodjo, Tjahjono. 2013. Interaksi Arkeologi dengan Publik: Tantangan Kedepan. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Tanudirjo, Daud A. 2003. Warisan Budaya Untuk Semua: Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Tanudirjo, Daud A. 2003. Akeologi dan Masyarakat. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Sayuti, Suminto A. 2013. “Borobudur dan Pendidikan: Prespektif Startegis” dalam Trilogi III 100 tahun pemugaran candi Borobudur. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.
Mundarjito. 2011. “Borobudur: Masalah Puncak Stupa Induk” dalam Trilogi III 100 tahun pemugaran candi Borobudur. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.