You are currently viewing Belajar Toleransi Beragama Lewat Relief Candi Borobudur
Relief Karmawibhangga 0-55 (Pertapa berjalan mengenakan payung, tiga orang bhiksu berhadapan dengan murid-muridnya)

Belajar Toleransi Beragama Lewat Relief Candi Borobudur

Akhir-akhir ini sentimen terhadap kerukunan umat beragama kian berkembang. Belum lama ini terjadi kasus pembakaran tempat pelayanan umat di Kabupaten Sigi (17/11/2020). Sebelumnya pada September lalu, terjadi gangguan terhadap kegiatan ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi. Faktanya, Komnas HAM hanya menerima 21 laporan masyakat atas kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2015 – 2018. Sedangkan jumlah kasus pada tahun 2019 mencapai 23 laporan masyarakat atas kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Fenomena tersebut ironis, mengingat semboyan bangsa Indonesia adalah “Bhineka Tunggal Ika”, yang juga tertera pada lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Artinya, semangat persatuan dalam keberanekaragaman merupakan identitas bangsa yang harus kita pertahankan untuk tetap ada.

Bhineka Tunggal Ika adalah frasa yang tertera pada Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantulan pada masa Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-14, yang memiliki arti ‘terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu’ (Yayasan Arsari Djojohadikusumo, 2014). Frasa ini menjadi indikasi yang menunjukan tolerasi umat beragama leluhur bangsa Indonesia pada masa lalu. Secara lebih jelas, penggambaran kerukunan leluhur bangsa dapat kita temukan pada relief Candi Borobudur, peninggalan Kerajaan Mataram Kuno.

Raja Dinasti Sailendra membangun Candi Borobudur pada sekitar abad VII – IX, tepatnya pada Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Balai Konservasi Borobudur, 2014). Candi Borobudur yang berdenah bujur sangkar dengan struktur berundak teras, dihiasi oleh stupa, arca-arca Buddha, dan relief yang menghiasi dindinginya. Terdapat dua jenis relief, yaitu dekoratif dan naratif. Relief naratif inilah yang kemudian dapat menunjukan eksplorasi keharmonisan hidup umat beragama pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Relief naratif Candi Borobudur terdiri atas relief Karmawibhangga, Lalitavistara, Jataka-Avadana, dan Gandawyuha.

Karmawibhangga dan Ajaran Toleransi

Relief Karmawibhangga dipahat di dinding kaki candi dengan jumlah 160 panil, yang menjelaskan tentang hukum karma (sebab-akibat) dari perilaku manusia. ‘Karma’ berarti perbuatan dan ‘wibhangga’ berarti alur atau gelombang (Nugrahani, 2012). Dalam relief menjelaskan tentang berbagai perbuatan yang akan mengakibatkan berbagai bentuk kelahiran baru setelah pelaku meninggal, kelahiran baru tersebut ada yang baik seperti kaya dan pintar, maupun kelahiran yang buruk seperti bodoh dan miskin.

Relief Karmawibhangga merupakan representasi kehidupan leluhur bangsa pada masa Mataram Kuno, yang menggambarkan salah satu realita sosial yaitu kerukunan umat beragama. Tidak hanya menggambarkan para bhiksu (tokoh agamawan Buddha), namun dalam relief ini terdapat berbagai tokoh agama lain, seperti pendeta Siwa, bahkan para pertapa (rsi). Perlu kita ingat bahwa Candi Borobudur adalah candi dengan latar keagamaan Buddha. Namun uniknya, penggambaran bhiksu hanya sekitar 18 orang, sedangkan pendeta Siwa berjumlah 29, belum termasuk identifikasi jumlah rsi (Santiko, 2012).

 Relief Karmawibhangga 0-55 (Pertapa berjalan mengenakan payung, tiga orang bhiksu berhadapan dengan murid-muridnya)
Relief Karmawibhangga 0-55 (Pertapa berjalan mengenakan payung, tiga orang bhiksu berhadapan dengan murid-muridnya)

Seperti yang terpahat pada relief Karmawibhangga 0-55, Bhiksu memiliki kepala yang gundul, berpakaian jubah yang pundak kanannya terbuka, memegang tempurung untuk menampung sumbangan, dan terkadang membawa tongkat atau tasbih. Sedangkan pada relief Karmawibhangga 0-26, tergambarkan Pendeta Siwa memakai jato-makuta (mahkota rambut) dan upawita (tali kasta). Sramana (penyebuatan pertapa dalam Buddha) dan rsi (penyebuatan pertapa dalam Buddha dan Hindu) memakai busana dari kulit kayu, sedang mengunyah kayu cendana, memagang tasbih, dan berbagai perlengkapan lainnya (Magetsari, 1998).

Relief Karmawibhangga 0-117  (Dua pertapa menggunakan payung sedang meminta sedekah pada orang kaya)
Relief Karmawibhangga 0-117 (Dua pertapa menggunakan payung sedang meminta sedekah pada orang kaya)

Semua penggambaran tokoh keagamaan yang beragam ini dalam kondisi yang harmonis tanpa adanya indikasi konflik. Hal ini tergambar pada relief 0-26, seorang pendeta Siwa yang sedang memberikan wewejangan kepada berbagai masyarakat. Begitu pula pada relief 0-117, terdapat dua pertapa yang meminta sumbangan kepada orang kaya pada aktivitas kaum Buddha. Dan masih ada lagi, yaitu pada relief 0-55 yang menggambarkan tiga orang bhiksu yang dihadapi oleh murid-muridnya, dengan satu panil yang sama digambarkan pula para pertapa yang sedang berjalan memegang payung.

Tolerasi Sebagai Jati Diri Bangsa

Perlu kita ketahui bahwa penggambaran yang ada pada relief Candi Borobudur merupakan pola kehidupan yang ada pada masyarakat Jawa Kuno (Mataram Kuno) saat itu, sehingga apa yang terpahat pada relief merupakan realita sosial yang ada pada masa itu (Santiko, 2012). Keharmonisan kehidupan beragama pada masa itu tergambar sangat jelas dari fenomena saling menghormati atas berbagai pilihan agama dan keyakinan, seperti penghormatan para pendeta yang berdampingan dengan bhiksu. Patut mendapat apresiasi pula bahwa candi berlatar keagamaan Buddha ini tanpa ragu menggambarkan bentuk-bentuk agama dan kepercayaan lain pada reliefnya (Santiko, 2009).

Penjelasan-penjelasan tersebut adalah bentuk tolerasi beragama leluhur bangsa yang patut menjadi refleksi bangsa Indonesia pada masa kini. Ternyata sudah sejak lama sekali bangsa Indonesia hidup dalam keberagaman agama. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula kita bersama dapat menjaga keberagaman ini dalam semangat persatuan, seperti contoh para leluhur kita. Sikap-sikap intolerasi atas keberagaman agama tidak perah menjadi bagian dari identitas bersama, sebaliknya identitas Indonesia adalah tentang menerima keberagaman yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa pada negeri ini. Relief Candi Borobudur dapat menjadi media pesan, inspirasi, dan pelajaran yang berarti bagi bangsa Indonesia masa kini untuk dapat menjaga warisan budaya bangsa, yaitu sikap-sikap kebersamaaan dalam lingkup perbedaan. Alih-alih memperlonggar persatuan, leluhur Indonesia malah menjadikan keberagaman sebagai motivasi persatuan bangsa yang patut bangsa Indonesia lestarikan pada masa kini. Karenanya, kita semua patut menjaga semangat persatuan ini sebagai bagian dari identitas bangsa sampai pada generasi yang akan datang.

Penulis : Rachmat Krismono

Referensi

Balai Konservasi Borobudur. 2016. Kearsitekturan Candi Borobudur. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

Nugrahani, D. S. 20120. Karmawibhangga: Peringatan Bagi Perilaku Manusia. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

Santiko, H. 2015. Toleransi Beragama dan Karakter Bangsa: Perspektif Arkeologi. Jurnal Sejarah dan Budaya. 7(1): 1-8.

_________. 2012. Identifikasi Ajaran Hukum Karma. Magelang: Balai Konservasi Borobudur.

_________. 2009. The Religious Atmosphere of the Karmawibhanga Reliefs of Borobudur, International Seminar on Karmawibhanga, 1-3 July.

Yayasan Arsari Djojohadikusumo. 2014. Inspriasi Majapahit. Jakarta: Yayasan Arsar Djojohadikusumo.