Tatabusana dan Kelengkapan Masyarakat Jawa Kuna
Oleh: Timbul Haryono
Tatabusana dan kelengkapan masyarakat Jawa Kuna pada masa Borobudur makin bisa dikaji. Beberapa sumber prasasti sejak abad ke 9 Masehi menyebutkan istilah untuk pakaian seperti: kulambi (dalam bahasa Jawa sekarang menjadi ‘klambi’ (baju). ‘Sarwal’ (kemudian menjadi sruwal yang artinya celana). ‘Ken’ berarti kain, istilah untuk kain yang dipakai oleh kaum wanita dan ‘wdihan’ sebagai istilah kain untuk kaum pria dan sebagainya. Di dalam prasasti, penyebutan untuk jenis kain ada bermacam-macam mengisyaratkan ada semacam jenis kain/motif yang hanya khusus untuk golongan tertentu.
Dari bukti seni arca bisa diamati cara pemakaian tatabusana dan kelengkapannya, motif hias kain, berbagai bentuk perlengkapan perhiasan seperti kalung, gelang tangan, gelang lengan, perhiasan untuk kepala atau gelung untuk putri. Sangat beruntung dan menarik bahwa telah ditemukan artefak-artefak perhiasan dari bahan emas untuk berbagai jenis perhiasan di situs Wonoboyo (Klaten). Dapat diperoleh kesimpulan bahwa tatabusana masyarakat Jawa Kuna dapat dibedakan sesuai dengan tingkat kedudukan dan fungsinya antara masyarakat biasa (rakyat) biasa dan penguasa (raja).
Pada masa antara abad ke-8 sampai masa Majapahit akhir sekitar abad ke-16, fungsi busana telah berkembang menjadi fungsi sosioteknik. Yaitu fungsi busana yang dapat menunjukkan tingkat struktur sosial. Tatabusana dan kelengkapan masyarakat Jawa Kuna dalam konteks ini dapat menunjukkan strata apakah berasal dari golongan rakyat biasa atau golongan bangsawan. Perbedaan fungsional tersebut berakibat pada aspek bahan, bentuk, dan motif ragam hiasnya. Misal, busana raja akan berbeda dengan busana para pejabat kerajaan di bawah raja. Busana juga punya fungsi ideoteknik yaitu busana dan kelengkapan yang dipakai sebagai ciri aktivitas ritual. Ketika Sang Raja melaksanakan aktivitas ritual keagamaan akan berbeda ketika ia sedang di hadap para punggawa kerajaan.