“Perlu dorongan kebijakan politis yang dapat diterima oleh semua karena para arkeolog berusaha menjaga keaslian Candi Borobudur sementara kita juga berusaha mendengarkan aspirasi dari umat Buddha” demikian yang disampaikan Anton Wibisono Pamong Budaya Ahli Muda Direktorat Jenderal Kebudayaan ditemui seusai Rapat Koordinasi Akselerasi Pemasangan Chattra Stupa Induk Candi Borobudur di Grand Artos Hotel & Convention Magelang, Jumat (9/8/2024).
Anton menjelaskan bahwa karena ada perbedaan-perbedaan yang muncul dalam rencana pemasangan Chattra dibutuhkan suatu keputusan politis sehingga nantinya dapat diterima oleh semua pihak dan tidak akan ada salah satu pihak yang disalahkan oleh masyarakat.
“kita membutuhkan hitam di atas putih bahwa ada, perintah ataupun arahan yang meminta kepada Kemendikbud-ristek untuk mendampingi pemasangan Chattra” terang Anton
Jika Chattra akan dipasang harus bersifat reversible dalam arti dapat dikembalikan ke kondisi semula dan tentu saja tidak merusak struktur stupa induk yang ada saat ini. Hal ini untuk mengantisipasi adanya perkembangan ilmu pengetahuan baru terkait dengan Chattra atau atau kebijakan baru.
Direktur Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan, dan Kebudayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Anugerah Widiyanto mengatakan, tim khusus yang dibentuk untuk mengkaji pemasangan Chattra memutuskan tidak menggunakan Chattra hasil rekonstruksi insyinur Belanda, Theodoor van Erp pada 1907-1911 itu.
“mereka akan menawarkan beberapa model sesuai dengan kebutuhan umat Buddha sehingga kita tidak akan memasang semua batu yang telah disusun oleh van Erp, hanya batu-batu yang asli saja yang nantinya akan kita pasang” ujar Anugerah.
Rapat tersebut dihadiri perwakilan Kemenko Polhukam, Dirjen Binmas Buddha, Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha, Direktur Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan, dan Kebudayaan (BRIN), Perwakilan Dirjen Kebudayaan, Balai Pelestarian Kebudayaan X, Museum dan Cagar Budaya Warisan Dunia Borobudur, serta perwakilan Umat Buddha.