HARI KARTINI yang diperingati setiap tanggal 21 April, menjadi momen untuk melihat kembali figur perempuan dalam sejarah kehidupan Borobudur. Salah satunya adalah Maharatu Pramodhawardhani, yang bergelar Sri Kahulunan.
Pada tahun 842 M, dia mengeluarkan sebuah prasasti, yang sekarang disebut Prasasti Tri Tepusan/Sri Kahulunan, untuk menganugerahkan tanah di desa Tri Tepusan untuk pemeliharaan sebuah bangunan suci bernama Kamulan I Bhumisambhara, atau tempat asal muasal Bhumishambara. J.G. de Casparis, seorang epigraf dari Belanda, mengartikan nama bangunan tersebut sebagai nama asli Borobudur.
Maharatu Pramodhawardhani merupakan putri dari Rakai Warak Dyah Manara, atau dikenal juga sebagai Raja Smaratungga. Berasal dari wangsa beragama Buddha, dia diketahui menikah dengan Rakai Pikatan dari wangsa yang beragama Hindu pada tahun 832 M. Setahun setelahnya, Pramodhawardhani mulai berkuasa di Jawa setelah berhasil memenangkan perebutan kekuasaan dengan Balaputradewa. Masih belum dapat dikaji secara pasti kedudukan Balaputradewa, apakah saudara kandung atau paman dari Pramodhawardhani.
Dalam sejarah kuno Indonesia, pernikahan Maharatu Pramodhawardani sering dianggap sebagai salah satu momen pertama perkawinan lintas agama antara raja dan ratu yang sedang berkuasa penuh terhadap sebuah kerajaan. Secara tidak langsung, hal ini membuat Borobudur menjadi bukti toleransi beragama di periode Mataram Kuno pada sekitar abad VIII-X M.