Beranda blog Halaman 211

Sidang Komisi 2 Sesi 3, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0

Sidang komisi 2 pada sesi 3 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10) dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik  Penyerbukan Silang Budaya yang dimoderatori oleh Edi Sedyawati.

DSC_0607

Paparan pertama dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Jean Couteau dengan judul Beberapa Catatan tentang Homogenisasi Budaya di Dalam Dunia Yang Menglobal.

Indonesia mempunyai suatu kekhasan. Ia adalah salah satu di antara sedikit negara yang menjadikan keanekaragaman budaya-budaya lokalnya sebagai dasar dari kebijakan kebudayaannya. Hal itu lahir dari situasi politik Indonesia sendiri, yaitu dari kenyataan bahwa, agar bersatu, Indonesia harus mengakui keragaman kulturalnya. Kenyataan itu juga dirumuskan di dalam ideologi dan lambang negara (Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan hingga kini, 68 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, kebijakan kultural Indonesia masih tetap mengacu pada pernyataan Ki Hadjar Dewantara bahwa “kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah”. Persatuan bersandar pada keragaman. Dan nasionalisme Indonesia menekankan kekhasan dan kekayaan budaya-budaya Nusantara.

Peradaban-peradaban agraris lama kini sudah mati. Yang tertinggal darinya hanyalah sisa-sisa, tercecer sana sini, yang dapat difungsikan di dalam kerangka sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sosio-politik kapitalistis yang baru. Kapitalisme ini kini menyeluruh secara geografis dan telah betul-betul menjadi global. Usai menguasai dunia Barat (Eropa Barat dan Amerika Utara) dua ratus tahun yang lalu, dia telah meluas ke Asia Timur (pertama Jepang, lalu kini Taiwan, Korea dan China), ke Timur Tengah dan Asia Tenggara (Thailand, Malaysia dan Indonesia), ke Amerika Latin dan bahkan ke bekas Uni Soviet dan Asia Selatan (India); ia kini tengah merambah ke Afrika. Selain memasuki semua pelosok bumi, kapitalisme juga merasuki semua segi kehidupan ekonomi dan, dengan sendirinya, kehidupan sosial pula: baik tanah, tenaga kerja, teknologi, sistem pengetahuan dan pendidikan, barang modal dan barang konsumsi dan bahkan sarana dan isi media komunikasi pun, semuanya menjadi komoditas. Jadi untuk pertama kali di dalam sejarah, kehidupan sosio-ekonomi bumi kita ditentukan oleh sistem tunggal: ekonomi pasar, nama baru dari kapitalisme global.

Paparan kedua dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Rizaldi Siagian dengan judul Penyerbukan Silang Kebudayaan Musik Nusantara.

Keragaman budaya Nusantara mewariskan “pusaka” tradisi musik/seni pertunjukan yang fenomenal di Asia Tenggara.  Sayang, potensi budaya ekspresif ini diabaikan kekuatan dan daya ikatnya, terutama untuk bisa dimanfaatkan memupuk rasa persatuan dan penghargaan atas perbedaan dan keberagaman budaya yang ada.

Tradisi bunyi-bunyian yang dihasilkan beragam bentuk peralatan musik, konsep seni pertunjukan yang meliputi musik, tari, teater, termasuk ritus-ritus dalam sistem kepercayaan tradisional maupun aneka warna upacara di tengah-tengah masyarakat adat Nusantara ini sangat kaya. Kekayaan ini selain disebabkan oleh berbagai faktor seperti letak dan situasi geografis, sistem budaya dan kepercayaan yang sangat beragam, juga berkaitan dengan sejarah persentuhan dan kontak budaya yang tak henti-hentinya terjadi.

Berikut ini ringkasan empat strata artistik yang terdapat di wilayah Indonesia bagian Barat, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali, berdasarkan pembagian yang dibuat oleh etnomusikolog Margaret Kartomi, dalam artikelnya “Musical Strata in Sumatra, Java, and Bali” (1980), sebagai berikut:

  • Strata I, pendekatan artistiknya masih diwarnai oleh sistem kepercayaan asli yang melakukan kegiatan persembahan terhadap roh nenek moyang serta simbol-simbol kekuatan gaib.
  • Strata II, masa Hindu dan Budha, tertutama ditandai oleh masuknya pengaruh filsafat dan alam pikir India di berbagai kerajaan Jawa dan Sumatra yang berlangsung di milenia pertama Masehi. Produk artistik pada strata yang dipengaruhi India ini meliputi seni pahat di sejumlah candi.
  • Strata III, ditandai dengan masuknya Islam ke Nusantara. Ketika itu muslim bangsa asing yang mempengaruhi kebudayaan dimana mereka masuk adalah berasal dari Arab, Persia, dan India.
  • Strata IV adalah saat pertamakali Kristen masuk Nusantara yang diawali oleh masuknya Portugis pada abad ke 16. Salah satu bentuk musik sinkretik yang dianggap sukses sebagai produk dari strata sejarah artistik musikal ini adalah musik kroncong; lagu-lagu nasional yang didasari oleh konsep musik Barat tetapi menggunakan teks dalam bahasa Indonesia.

DSC_0584

Paparan ketiga dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Roosandra D.Alqadrie dengan judul Penyerbukan Silang kebudayaan dalam Arsitektur Perkotaan Pontianak sebagai Wujud Warisan dan Pewarisan Budaya.

Warisan dan Pewarisan Budaya dalam Arsitektur Perkotaan yang dimaknai melalui proses penyerapan (absorption) dan pengaplikasian (application) nilai-nilai dari dinamika budaya masyarakat. Karya arsitektur perkotaan bukan hanya merupakan warisan dari satu budaya masa lalu tertentu, tetapi juga merupakan pewarisan dari dinamika budaya. Artinya, bagaimana suatu karya arsitektur diperoleh melalui proses penyerbukan silang suatu budaya lokal terhadap peradaban global yang mau tidak mau harus saling bersentuhan. Dengan demikian, proses penyerapan dan pengaplikasian (inheritance) selama penyerbukan silang justru memperkuat nilai-nilai lokal yang membawa kepada arah perbaikan hidup dan kematangan budaya itu sendiri untuk digenerasikan secara terus menerus menjadi warisan anak bangsa.

Potensi lokal memainkan peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat dan budayanya. Karena itu, mereka harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagaimana peranannya sebagai warisan budaya. Apabila potensi lokal ini diabaikan, maka kelangsungan hidup masyarakat dan budayanya akan punah atau berakhir.

Budaya akan terus mengalami metamorfosa sepanjang hayatnya, karena hakekat budaya adalalah mencari upaya, cara, strategi atau kaidah yang sempurna untuk mengelola alam semesta ini. Strategi, cara atau kaidah yang tepat dalam mewarisi potensi-potensi lokal ini dipelajari, diserap dan diaplikasikan oleh pendahulu-pendahulu kota Pontianak untuk membangun peradaban baru di pulau Kalimantan bagian Barat.

Budaya mengharmonisasikan sumber alam-hayati dan menyelaraskan hubungan sosial masyarakat merupakan kaidah-kaidah dalam mewarisi peradaban masyarakat Kalimantan. Keberagaman potensi alam-hayati dan kemajemukan masyarakat diyakini oleh mereka dapat memberi pengaruh negatif apabila kedua potensi lokal itu tidak dijaga dan dilestarikan.

Paparan keempat dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Aan Rukmana dengan judul Penyerbukan Silang Antarbudaya.

Indonesia sudah sepatutnya bangkit mengejar ketertinggalan dari negara-negara lainnya. Berbagai prasyarat kemajuan sudah dimiliki Indonesia. Mulai dari kemajemukan yang beranekaragam yang diikat oleh tali satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Belum lagi berbagai kekayaan yang terdapat di dalamnya, baik kekayaan hayati, flora & fauna serta keindahan alamnya. Maka tidak heran jika Soekarno menyebut Indonesia sebagai “Taman Sari Dunia,” yang di dalamnya berbagai unsur dunia berbaur menjadi satu melukis keindahan kanvas Indonesia. Ditambah lagi bentangan gugusan pulau yang sangat luas, terbentang dari Aceh sampai Papua yang bila dicarikan padanannya hampir mirip dengan jarak antara Paris di Eropa sampai Teheran di Iran.

Kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu: 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain sebagainyaa, 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Meski Indonesia memiliki berbagai macam jenis kebudayaan, namun kebudayaan itu  belum benar-benar menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dengan segenap pencapaian dan prestasi yang membanggakan.

Strategi ini dinamakan Strategi Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertilization). Strategi ini adalah jalan terbaik untuk bisa mengatasi persoalan budaya yang membuat bangsa Indonesia belum beranjak dari ketertinggalannya. Dengan jalan penyerbukan silang antarbudaya, etos kerja positif yang dimiliki satu kelompok bisa diambil dan diterapkan sehingga melahirkan sebuah budaya baru, etos baru dalam bingkai bangsa dan negara Indonesia. Apalagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Keberagaman budaya yang dimiliki bangsa ini bisa menjadi modal besar untuk mendorong kemajuan bangsa ini sampai ke level yang lebih tinggi dari yang ada sekarang.

Di samping menyerbukkan budaya-budaya lokal yang ada, juga kita harus terbuka untuk menyerbukkan budaya kita dengan budaya-budaya unggul yang berasal dari bangsa lainnya. Masing-masing budaya positif dapat dileburkan sehingga menjadi budaya unggul yang dapat terus tumbuh mengharumkan tanah Indonesia. Untuk memulainya, kita perlu memaksimalkan pendidikan yang menghargai pembentukan karakter yang dimulai dari level anak-anak sampai kalangan orang tua, termasuk para guru yang terlibat dalam proses pendidikan dan pengajaran.

Sidang Komisi 2 Sesi 2, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0

Acara sidang komisi 2 pada sesi 2 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 tanggal 10 Oktober 2013 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik  Glokalisasi Budaya yang dimoderatori oleh Arswendo Atmowiloto.

DSC_0555

Paparan pertama dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Ayu Sutarto dengan judul Upacara Tradisional, Kohesi Sosial, dan Bangunan Kebangsaan.

Masyarakat Indonesia sangat kaya dengan pusaka budaya (cultural heritage) dan salah satu bentuk pusaka budaya yang hingga saat ini masih memiliki pewaris aktif (active bearers) adalah upacara adat atau upacara tradisional. Upacara adat atau upacara tradisional adalah sebuah laku atau perbuatan dan tuturan tertentu yang dijalankan oleh komunitas tertentu (komunitas ini disebut komunitas adat),  berdasarkan keyakinan tertentu, dan  tradisi itu  diwarisi dari para leluhurnya. Senyatanya upacara tradisional merupakan sarana komunikasi, yakni komunikasi antara para pelaku upacara dengan lingkungannya dan kekuataan gaib yang dipercaya dapat memberi perlindungan atau solusi terhadap masalah yang membelit para pelaku dan pendukung upacara.

Akhir-akhir ini upacara tradsional mulai ditoleh, baik oleh pemerintah maupun pewarisnya, baik pewaris aktif maupun pewaris pasifnya. Pemerintah menoleh karena bentuk pusaka budaya yang satu ini bisa menjadi salah satu sarana untuk mengakomodasi kemajemukan dan mengembangkan pariwisata budaya, sementara sekelompok orang, terutama komunitas pemiliknya, beranggapan bahwa upacara tradisional merupakan laku yang bisa menjawab beberapa masalah yang membelit bangsa, yakni masalah yang terkait dengan terwujudnya kohesi sosial atau kerukunan dan penguatan identitas lokal.

Upacara adat atau upacara tradisional yang masih hidup di Indonesia dan masih memiliki pewaris aktif serta pendukung yang kuat (pewaris pasif) antara lain a) upacara daur hidup, b) upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, c) upacara yang berkaitan dengan peristiwa/gejala alam, dan d) upacara yang berkaitan dengan kegiatan produktif. Memang, pelaksanaan berbagai upacara tradisional tersebut terkadang menimbulkan gesekan dengan agama, tetapi para pelaku dan pendukung upacara tradisional (biasanya telah memeluk agama tertentu) selalu mengalah, berkompromi, atau bernegosiasi. Berikut ini akan diberikan paparan dan bahasan tentang beberapa upacara tradisional yang masih memiliki pewaris aktif dan pendukung yang signifikan.

Dilihat dari pesan sosio-kultural yang diusungnya maka upacara-upacara tradisional, apapun bentuknya, merupakan sarana yang dapat digunakan untuk membangun kohesi sosial. Peserta dan pelaku upacara tradisional tidak menonjolkan latar belakang keyakinan yang dipeluknya atau  latar belakang yang lain. Artinya, upacara ini tidak memberi peluang akan tumbuhnya sekat-sekat sosial dalam pelaksanaannya. Tua-muda, laki-laki-perempuan, kaya-miskin yang berasal dari berbagai keyakinan atau agama  dapat mengikuti upacara tradisional karena mereka memiliki tujuan yang sama, yakni membangun harmoni, keselarasan, dan keseimbangan, baik dengan Tuhan, kekuatan gaib yang lain, maupun dengan sesama.

DSC_0492

Paparan kedua dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Stanislaus Sandrarupa dengan judul Warisan dan Pewarisan Budaya : Glokalisasi Warisan Budaya.

Faktor penting yang sangat berpengaruh pada warisan budaya adalah bahwa di era globalisasi kita sudah menjadi penduduk dunia di kampung global. Globalisasi merupakan konsep kekinian yang menjadi satu elemen penentu bahkan bersifat hegemonik dalam mengevaluasi warisan budaya. Karena intensitasnya sangat tinggi, ia punya efek negatif pada warisan budaya sehingga dapat menghilangkan identitas maka timbul pertanyaan apakah kita akan luluh dalam perubahan tanpa permanensi?

Satu cara yang dapat dilakukan adalah penguatan budaya-budaya lokal. Namun, cara ini ternyata tidak tepat karena ia berasumsi bahwa realitas masa lampau harus sama dengan yang dulu. Warisan budaya menjadi tertutup padahal kita sudah berada di era globalisasi. Otonomi tertutup sangat menekankan perbedaan tanpa kesatuan.

Sebagai alternatif penyelesaian masalah diajukan teori glokalisasi budaya – budaya Indonesia. Glokalisasi adalah konsep kompleks yang terdiri atas global dan lokal dalam batas Indonesia dan dunia. Metode bagaimana sebuah budaya melakukan dan mengevaluasi glokalisasi bervariasi dari budaya ke budaya. Ada kelompok yang merasa globalisasi menekan mereka yang dilakukan oleh hegemonisme masyarakat adidaya, tapi ada juga yang berupaya mengundangnya. Apakah globalisasi dipaksakan atau diinginkan, ia tak dapat dihindari. Karena itu budaya-budaya harus berupaya memaksimalkan efek positipnya dan meminimalkan efek negatipnya. Cara budaya-budaya melakukan keseimbangan antara yang global dan lokal adalah dengan melakukan glokalisasi.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Agus Burhan.

Paparan kempat dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Sal Mugianto.

Sidang Komisi 2 Sesi 1, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10) terdapat Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Acara sidang komisi 2 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik Kebijakan Budaya yang dimoderatori oleh Totok Pribadi.

DSC_0464

Paparan pertama dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Hendri Gunawan dengan judul Dari “Tradisi” ke “Atraksi Budaya”, Potret Budaya Komunitas Tionghoa-Manado.

Warga komunitas Tionghoa di Manado atau sehari-hari dikenal dengan sebutan “Cina-Manado” adalah salah satu kelompok komunitas yang hidup bersama dengan warga kelompok komunitas etnis lainnya semenjak Manado tumbuh-kembang menjadi salah satu bandar di masa VOC.

Warga Tionghoa-peranakan sebagian besar memiliki darah Tionghoa dari garis ayah dan darah pribumi dari ibunya; hal ini terjadi terutama pada generasi kedua dari para perantau yang semula datang bersama istri mereka. Menjelang abad ke-19, masyarakat itu kemudian berdiri sendiri dalam arti bahwa kaum peranakan itu kawin sesama mereka, dan hal ini mungkin terjadi karena jumlah lelaki dan perempuan hampir sama besarnya.

Pada sisi lain, kita juga menemukan, bahwa lancarnya proses ‘pe-Manado-an’ juga dilakukan banyak warga keturunan Tionghoa dengan menyandang nama keluarga dari pihak ibu. Bagi warga Tionghoa di Manado, ini tidak hanya memberikan kemudahan dalam proses administrasi kependudukan, tetapi juga mempertegas identitas mereka sebagai orang Manado.

Warga keturunan Tionghoa di Manado telah berbaur sedemikian lekat dengan warga lokal, sehingga tidak lagi mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, tetapi menjadi orang Manado. Namun, pada pihak yang sama, mereka juga tidak melupakan tradisi dan tetap menjalankannya. Bahkan, pada masa Orde Baru, era dimana tradisi warga keturunan begitu dikekang. Maka, tak salah rasanya apa yang ditulis oleh Anggraeni (2008: 127) bahwa etnis Tionghoa di Manado membaur lebih jauh dengan masyarakat lokal daripada tempat-tempat lain di Indonesia.

Paparan kedua dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Burhanuddin Arafah dengan judul Warisan Budaya, Pelestarian dan Pemanfaatannya.

Beragam wujud warisan budaya memberi kita kesempatan untuk mempelajari nilai kearifan budaya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Hanya saja nilai kearifan budaya tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Akibatnya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable), bukan pelestarian yang hanya mode atau kepentingan sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat).

Tujuan akhir dari pelestarian Cagar Budaya (Warisan Budaya), adalah pemanfaatannya. Secara teoritik dengan berdasarkan aturan perundangan, seperti telah diatur dalam UU No.11, Tahun 2010, maka Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan antara lain:

1. Ilmu pengetahuan: yaitu pemanfaatan seluas-luasnya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti ilmu arkeologi ataupun lembaga arkeologi dan purbakala, antropologi, sejarah, arsitektur, dan ilmu-ilmu lainnya yang ada hubungannya dengan cagar budaya.

2. Agama: yaitu pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan keagamaan, misalnya Cagar Budaya yang masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya untuk kepentingan keagamaan, tidak boleh dibatasi fungsi-fungsi tersebut, yang penting tetap menjaga kelestarian, keselamatan dan kebersihannya.

3. Kreativitas seni: yaitu Cagar Budaya dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi bagi para seniman, sastrawan, penulis dan fotografer untuk dapat memanfaatkan obyek Cagar Budaya sebagai obyek yang dapat membangkitkan kreativitas dalam berkarya.

4. Pendidikan: yaitu Cagar Budaya mempunyai peranan penting dalam pendidikan bagi pelajar dan generasi muda, terutama dalam upaya menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsa dan tanah air.

5. Rekreasi dan pariwisata: yaitu pemanfaatan Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya untuk kepentingan sebagai obyek wisata yang dikenal dengan wisata budaya.

6. Representasi simbolik:  yaitu Cagar Budaya ataupun Kawasan Cagar Buadaya kadang-kadang dimanfaatkan sebagai gambaran secara simbolis bagi kehidupan manusia.

7. Alat legitimasi sosial: banyak pejabat dan orang-orang yang berduit, setelah mendapatkan kedudukan atau kekayaan.

8. Solidaritas sosial dan integrasi:  yaitu Cagar Budaya dapat dijadikan sebagai alat untuk membina solidaritas sosial dan integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat.

9. Ekonomi: yaitu Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata budaya yang akan mendatangkan keuntungan terutama bagi masyarakat di sekitar obyek.

Pewarisan budaya yaitu proses mewarsikan budaya (unsur-unsur budaya) dari satu generasi ke generasi manusia atau masyarakat berikutnya melalui proses pembudayaan (proses belajar budaya). Proses pewarisan budaya dilakukan melalui proses enkulturasi (pembudayaan) dan proses sosialisasi (belajar atau mempelajari budaya).

Paparan ketiga dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Abd.Rahman Marasabessy dengan judul Al Quran sebagai sumber kekuatan bagi tumbuhnya kehidupan bersama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas.

  1. Al-Qur’ān adalah kitab petunjuk dan rahmat bagi seluruh hamba Allah SWT. Terutama orang-orang Islam yang beriman, karenanya ia harus dijelaskan, dan dioperasionalkan, agar dapat dipahami oleh manusia diberbagai tingkat dan latar belakang sosiokulturnya.
  2. Al-Qur’ān menginformasikan bahwa  pluralisme agama merupakan suatu yang alami (sunnatullah), dan dengan pluralisme manuisia diciptakan, bahkan jikalau Tuhanmu menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, dan berselisih pendapat adalah rahmat. Dengan memahami konsep pluralisme agama sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat-ayat Al-Qur’ān, dapat diduga setiap muslim dalam pergaulan keseharian dapat mengamalkan dalam pergaulan dengan kelompok manusia yang lain, baik agama, suku bahkan pergaulan antar bangsa.
  3. Pluralisme agama yang dimaksud Al-Qur’ān, bukan saja untuk memberikan kahidupan yang layak intern umat Islam, tetapi lebih dari itu memberikan semangat hidup berdampingan dengan umat lainnya, baik dalam kehidupan keagamaan maupun dalam kehidupan kebangsaan dan antar bangsa. Sungguh para nabi dan agama-agama sebelumnya juga datangnya dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi kepada para hamba-hamba-Nya.para nabi dan agama-agama sebelumnya juga datangnya dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi kepada para hamba-hamba-Nya.

Sidang Komisi 1 Sesi 3, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0

Acara sidang komisi 1 pada sesi 3 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 tanggal 10 Oktober 2013 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik  Kearifan Lokal yang Memperkuat Demokrasi yang dimoderatori oleh I G Parimartha.

DSC_0596

Paparan pertama dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Nasrudin Suyuti dengan judul Bajo dan Orang Bukan Bajo.

Masyarakat Bajo pada awalnya tinggal di atas perahu yang disebut bido, hidup berpindah-pindah bergerak secara berkelompok menuju tempat yang berbeda menurut pilihan lokasi penangkapan ikan. Di atas perahu  mereka menjalani hidupnya sejak lahir, berkeluarga hingga akhir hayatnya.  Oleh sebab itu, orang Bajo sering disebut sea nomads (Sopher, 1971) atau sea gypsies (Brown, 1993). Dalam perkembangannya, sebagian besar dari mereka telah tinggal menetap di pinggir laut. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, mereka  hidup menetap di laut atau di pinggir laut. Laut dijadikan sebagai sumber kehidupan (panamamie ma di lao). Mereka memiliki prinsip  bahwa pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare  yang  berarti  memindahkan orang Bajo ke darat, sama halnya memindahkan penyu ke darat (Nasruddin, 2010. Bahkan banyak diantara mereka merasa pusing kepalanya jika tidak mendengarkan gemuruh ombak (piddi tikolo’na lamong nggai makale le goya). Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sulitnya memisahkan kehidupannya dengan laut.

Kelompok suku bangsa mayoritas (Bajo) telah  mengadaptasikan unsur-unsur budayanya ke dalam unsur-unsur budaya kelompok suku bangsa minoritas (Bugis). Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila unsur-unsur budaya suku bangsa Bugis lebih dominan ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat  Bajo. Sebagai warga sekampung yang memiliki hubungan simbiotik, mobilitas interaksi antar kelompok sangat intens, tidak mengenal lagi batasan waktu dan ruang. Kelompok masyarakat Bajo menganggap semua orang Bugis yang ada di perkampungan Sulaho  sebagai bagian dari kerabat dekatnya (dansihitang), sebaliknya orang Bugis sebagai kelompok minoritas memandan g masyarakat Bajo sebagai keluarga dengan istilah sumpu’ lolo Bajota.

Konsep sama  dan bagai adalah suatu simbol yang dipedomani oleh kelompok masyarakat Bajo dalam menjalin  hubungan antara kelompoknya dengan kelompok masyarakat lain. Bagi orang Bajo di Desa Sulaho, orang Bugis tidak lagi termasuk kategori orang bagai, oleh sebab itu dalam kehidupan masyarakat Bajo di Desa Sulaho berkembang istilah ”Bajo campuran” atau “Bugis Bajo”. Hal ini disebabkan karena terjadinya kawin mawin (amalgamasi) antara orang Bajo dengan orang Bugis, baik dengan orang Bugis yang berdomisili di Desa Sulaho maupun yang ada di luar Desa Sulaho. Berbeda halnya dengan kelompok bagai dari etnis lain jarang sekali terjadi kawin mawin dengan orang Bajo, karena faktor geneologis menjadi acuan bagi mereka.

Paparan kedua dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Alim.S.Niode dengan judul Pohala’a : Memperkuat Demokrasi ala Gorontalo.

Sejauh ini dilaporkan bahwa kualitas upaya demokratisasi di Gorontalo  cenderung bergeser ke elitisasi politik dan identitas diri warga lebih dikonstruksi oleh semangat etnik. Secara kuantitatif keadaan itu ditunjukkan oleh indeks demokrasi yang masih terbilang buruk. Semangat spasialisme yang terbangun bersama pemekaran wilayah bergandengan dengan statuta otonomi kabupaten/kota menghasilkan  raja-raja ”kecil” dan fanatisme masyarakat yang berlebihan. Sementara itu terciptanya kerawanan koordinasi pemerintahan di level provinsi makin potensial membawa pecahnya konflik masyarakat Gorontalo kedalam kepingan-kepingan wilayah teritorial di masa yang akan datang.

Demokrasi ala reformasi yang ditimpakan kedalam kultur masyarakat Gorontalo telah abai terhadap kearifan lokal pohala’a (baca; persaudaraan).  Pohala’a dibangun berdasarkan filosofi dan nilai-nilai budaya lokal, kemudian dimantapkan kedalam sistem ke-tatanegaraa-an yang demokratis sedemikian rupa menghasilkan tata pemerintahan yang disebut oleh pengamat Belanda sebagai “good ingericht bestuur bezaten”. Cakupan pohala’a pernah melampaui Gorontalo hingga kewilayah Ternate dan Gowa di Sulawesi Selatan.

Menurut catatan sejarah lokal, bahwa peristiwa-peritiwa politik yang merajut kesadaran kebangsaan dan demokrasi, memiliki akar yang panjang dalam kearifan lokal di Gorontalo. Cikal bakal daerah ini bermula dari penggabungan 17 kerajaan kecil (linula) menjadi kerajaan Hulontalo (sekarang: Gorontalo) pada  tahun 1385 M.

Gorontalo telah memiliki pengalaman dalam mengorganisasikan wilayah pemerintahan dari unit ssosial politik kecil kedalam tatanan pemerintahan yang lebih besar. Secara historis, Gorontalo memiliki “ensiklopedia” kearifan, serta cukup terlatih mempraktekkanya dengan memenej dan mengkoordinasikan kehidupan sosiopolitik unit-unit sosial kecil kedalam tatanan kepemerintahan yang lebih besar.

Riedel (1870:46) berpendapat bahwa pohala’a berasal dari kata wala’o (anak). Noorduyn, ketika berdiskusi dengan Nur (1977) membenarkan pendapat itu, bahkan menduga bahwa kata nagala’a (keluarga) adalah turunan dari kata itu. Tetapi dia lebih sependapat dengan Lipoeto (1943, III:22) yang mengartikan pohala’a sebagai keponakan. Secara etimologis pohala’a menunjuk tempat berkumpul dan berkembang biak dari anak-anak dalam satu keluarga yang tak dapat dipisahkan sesamanya. Perlekatan dasar kata itu dengan wala’o pada giliranya turut menguatkan ingatan bersama  masyarakat sehingga tak mudah hilang sepanjang keluarga tetap ada dan dianggap penting.

DSC_0591

Paparan ketiga dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Suriadi Mappangara dengan judul Demokrasi di Bumi Bangsawan (Kabupaten Bone).

Cikal bakal munculnya kelompok bangsawan di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Bone pada khususnya bermula ketika kondisi sosial dan politik dalam keadaan kacau balau. Pada waktu itu di wilayah Bone ada 7 daerah (wanua) yang dipimpin masing-masing oleh seorang pemimpin (matowa). Dalam catatan lontarak kondisi sosial politik dalam keadaan kacau balau.

Kelompok bangsawan Bone yang berada di pusat, melakukan aturan yang sangat ketat untuk menjaga kemurniaan darah kebangsawanannya. Di buat aturan ketat bagi siapapun yang akan menjadi raja. Raja terbuka untuk siapa saja, tidak ada pembatasan bahwa raja harus laki-laki atau perempuan. Seorang yang akan diangkat atau ditunjuk menjadi raja adalah mereka yang memiliki darah murni keturunan Tomanurung.

Perkawinan politik di kalangan bangsawan ini memungkinkan bangsawan Bone memiliki jaringan keluarga yang sangat luas. Tidak saja di wilayah Bone tetapi juga di Sulawesi Selatan. Bangsawan Bone masuk ke dalam istana Kerajaan Gowa dan Tallo, demikian pula di Kerajaan Luwu.

Dalam sejarah panjang Kerajaan  Bone, perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsawan pusat dilakukan dengan tiga cara. Pertama dengan penaklukan. Kedua, wilayah Kerajaan Bone semakin luas karena penguasa-penguasa lokal datang sendiri ke pusat kerajaan dan menyatakan tunduk dan patuh pada Kerajaan Bone. Cara ketiga adalah lewat perkawinan. Bangsawan pusat meluaskan pengaruhnya dengan cara menikah dengan puteri-puteri bangsawan lokal.

Paparan keempat dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Basri Amin dengan judul Budaya Demokrasi, Kesejarahan dan Potensi Konflik Lokal.

Demokrasi  di  Indonesia  akan  selamanya  menjadi  pembahasan  yang  menantang  karena perkembangannya  mengalami  pasang-surut  yang  menempatkan  pertarungan  pada  tiga dimensi  penting:  wacana,  watak  politik  dan  wawasan  kewaktuan.  Harus  jujur  kita  akui bahwa reformasi  di negeri ini  makin memperlihatkan bahwa “demokrasi” masih mengalami transisi hebat dan terancam melemah spirit sejatinya.

Demokrasi memang dibicarakan di mana-mana, tetapi ia tetap saja diselimuti ketidakpastian di  berbagai  lapisan.  Sebabnya  antara  lain  karena  (1)  kepemimpinan  politik  dan  figur-figur publik  di  berbagai  tingkatan  belum  matang  dalam  “praksis  demokrasi”;  (2)  institusi  partai dan masyarakat sipil belum optimal sebagai transformator nilai dan mediator budaya politik yang  beradab  dan  berkelanjutan;  (3)  basis  kebudayaan  demokratis  di  masyarakat  belum tergali dan terwujud dalam proses edukasi yang lebih terbuka dan partisipatif, dengan basis keteladanan yang otentik.

Semua dimensi kebudayaan dalam politik berhubungan dengan beberapa hal:

1.  Nilai-nilai (budaya) yang aktif menjadi rujukan dan memandu perilaku kolektif (shared values) atau partikuler yang eksis dan dipergunakan dalam berbagai mekanisme dan situasi dalam arena pengelolaan kekuasaan;

2.  Pola  pengelompokan  sosial  dan  mekanisme-mekanisme  kepemimpinan  yang membentuk variasi-variasi pengajuan kepentingan bersama secara kolektif;

3.  Pembagian fungsi-fungsi yang berlaku umum dan terterima di masyarakat, termasuk di dalamnya bagaimana bentuk-bentuk kontrol kekuasaan dan partisipasi masyarakat dalam  pengaturan  kepentingan  bersama,  cara-cara  menghadapi  kompetisi  dan konflik, hubungan lintas wilayah dan kelompok, dst.

Secara  universal,  demokrasi  adalah  sebuah  sistem  politik  yang  ditandai  dengan  (1) penyelenggaraan  pemilihan  yang  terbuka  dan  bebas;  (2)  pola  kehidupan  politik  yang kompetitif; dan (3) memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat. Pendapat yang lebih  tajam  menegaskan  bahwa  sebuah  sistem  demokratis  kalau  (1)  memberi  kebebasan kepada  masyarakat  dalam  merumuskan  preferensi  (pilihan)  politik  mereka  dalam  bentuk informasi, komunikasi dan organisasi; (2) menjamin kesempatan kepada semua warga untuk bersaing  secara  damai  dan  teratur;  (3)  tidak  melarang  siapa  pun  untuk  memperebutkan jabatan politik yang ada.

Demokrasi  di  Gorontalo  sedang  memasuki  tantangan  baru  ketika  pemekaran  teritori, keragaman  elite  (lokal),  institusi  politik,  basis  informasi,  dinamika  pasar  dan  konflik  lokal demikian berpengaruh. Sebagai akibatnya, formasi budaya politik kita tidak lagi bisa dibaca dengan  kacamata  statis,  melainkan  harus  dicermati  dengan  penglihatan  dinamis. Tantangannya  adalah  bagaimana  mengelola  percaturan  antara  nilai-nilai  (ideal)  demokrasi dan kapasitas masyarakat Gorontalo dalam membangun budaya demokrasinya.

Sidang Komisi 1 Sesi 2, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0

Sidang komisi 1 pada sesi 2 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 tanggal (10/10) dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik  Kearifan Lokal yang Memperkuat Demokrasi yang dimoderatori oleh Ninuk Kleden.

DSC_0536

Paparan pertama dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Susanto Zuhdi.

Paparan kedua dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Gregor Neonbasu dengan judul Kajian Antropologi Timor.

Kita menukik lebih dalam ke konteks Masyarakat Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk melihat ‘citra kearifan lokal’ dalam sosok tradisi lisan. Sebelumnya, tanpa memperpanjang diskusi tentang layak tidaknya tradisi lisan sebagai bahan untuk menyusun sejarah suatu daerah, penulis dan juga beberapa ahli sebelumnya (Vansina [1965], Schulte-Nordholt [1971], Parera [1971], Fox [1973, 1975, 1988], Gossen [1974], Rosaldo [1980], Danandjaja [1994]) menunjuk tradisi lisan sebagai suatu sumber yang dapat dijadikan informasi untuk menulis sesuatu yang bermakna tentang sejarah masa silam.

Dari hasil penelitian tradisi lisan pada beberapa daerah di Pulau Timor, ditemukan 10 fungsi tradisi lisan sebagai berikut: Peran tradisi lisan adalah

(1)   Mengungkapkan sesuatu peristiwa di masa silam

(2)   Menjelaskan identitas suku, keluarga atau pribadi tertentu

(3)   Melukis hubungan inter-komunikasi atau antar suku-suku dalam suatu jalinan sosial

(4)   Melukis pembagian tugas yang walau sangat baku, namun rapih dan disiplin

(5)   Mengungkapkan isi dan makna dari setiap struktur politik sekelompok orang/suku

(6)   Menjelaskan secara struktural hubungan di antara kawan dan lawan (musuh)

(7)   Melukis ekologi, dengan menempatkan manusia sebagai pusat

(8)   Sebagai jembatan emas untuk mengungkapkan alam pikir manusia dengan seluruh aspek kehidupannya

(9)   Sebagai sumber untuk mengkaji filsafat orang asli

(10)        Berisi religiositas orang asli

Pendekatan Partikularistik

Kedua pendekatan dinilai sangat humanistik karena memiliki respek pada segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat biasa setiap hari dan juga selalu melihat secara positif segala yang ada dalam masyarakat pedesaan. Kedua pendekatan berbeda dengan metode antropologi tradisional (1) kumpul data (2) perbandingan data, dan (3) klasifikasi data untuk sampai pada (4) kesimpulan.

 DSC_0479

Paparan ketiga dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Gusti Anan dengan judul Antara Lapau dan Balai (Adat) : Dinamika Demokrasi di Sumatera Barat.

Secara fisik, lapau adalah bangunan sederhana yang biasanya berdiri sendiri, namun ada kalanya bergabung dengan rumah tinggal. Pada umumnya lapau dipergunakan sebagai tempat jual beli berbagai barang keperluan sehari-hari. Tidak diketahui, sejak kapan lapau mulai muncul di Minangkabau, namun bisa dikatakan lapau mulai menjadi bagian dari sistem sosial (juga politik dan ekonomi). Pengalaman “membawa” lapau ke kantor atau dewan ini sesungguhnya juga terjadi di era reformasi ini.

Seiring dengan perjalanan waktu, dewasa ini keberadaan lapau sebagai tempat singgah atau menginap para saudagar dan para pengelana mulai berubah.

Berbeda dengan lapau, balai (adat) diakui keberadaannya dalam sistem sosial-politik tradisional Minangkabau. Balai (adat) adalah salah satu lembaga yang harus ada dalam setiap nagari. Tambo dan literatur lain tentang adat Minangkabau menyebut bahwa nagari, sebagai suatu lembaga sosial-politik tertinggi di Minangkabau, harus memiliki balai (adat), mesjid, jalan raya, gelanggang, tepian tempat mandi.

Balai (adat) menjadi penting dalam merumuskan atau menentukan berbagai sikap pemerintahan atau warga nagari terhadap berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Persoalan yang dirapatkan atau dimusyawarahkan di balat (adat) umumnya persoalan yang berhubungan langsung dengan kepentingan warga nagari. Umumnya persoalan tersebut muncul dari masyarakat.

Sidang Komisi 1 Sesi 1, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0

Acara Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal 10 Oktober 2013 ini terdapat acara Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Acara sidang komisi 1 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik  Demokrasi Keindonesiaan yang dimoderatori oleh Kacung Marijan, Direktur Jenderal Kebudayaan.

DSC_0434

Paparan pertama dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Rusjdi Ali Muhammad dengan judul Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi.

Konsep demokrasi pada abad ke-20 telah dibagi kepada dua aspek: sistem pemerintahan dan relasi sosial masyarakat. Pada pola pertama terlihat pada perjalanan sistem pemerintahan suatu negara. Karena itu, negara-negara di dunia berusaha agar bangsanya menjadi negara yang paling demokratis dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun, ketika dilekatkan konsep demokrasi pada aspek relasi sosial masyarakat, maka itu sangat terkait dengan budaya tempatan. Disini ingin dilihat bagaimana hubungan sosial di dalam masyarakat yang egaliter dan saling menghormati. Karena itu, negara yang demokratis juga diharuskan untuk membentuk dan membina masyarakat yang demokratis pula.

Paparan kedua dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Alex John Ulaen dengan judul Demokrasi Keindonesiaan : Pengalaman Sulawesi.

Perkembangan gagasan “demokrasi” di Indonesia – bila disimak dengan cermat – telah meninggalkan jejak dari beragam eksperimen, seakan membenarkan pikiran Daniel S. Lev bahwa sistem politik demokrasi dalam artian semua orang turut dalam pengambilan keputusan, hanya mungkin sebagai standar. Dalam lingkup partai politik dan lembaga swadaya masyarakat demokrasi mungkin diwujudkan. Pelajaran sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap lembaga apa pun, elitnya cenderung memperkokoh posisi yang menguntungkan mereka. Namun, akhir-akhir ini elit politik dan birokrat sudah mulai terjamah oleh kontrol lembaga kemasyarakatan yang demokratis.

Penelusuran atas latar budaya kepemimpinan, ada dua model yang ditemukan di daratan Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, sistem kakaraengan tumbuh-kembang menjadi yang dipertuan. Namun, memiliki akar budaya yang kuat dan berawal dari sebuah kesepakatan antara “yang dipertuan” dan “yang mempertuan”.

Di daerah Sulawesi Utara, ditemukan dua sistem kemasyarakatan, di Bolaang-Mongondow dan di Kepulauan Sangihe, mengenal sistem kerajaan yang rajanya tidak memiliki kekuasaan absolut dan monarkial. Sama halnya dengan yang ada di Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar). Sistem kemasyarakatan yang kedua sifatnya egalitarian dapat ditemukan di Minahasa dan kepulauan Talaud. Seorang pemimpin mulanya adalah “yang dituakan di kelompoknya”. Sistem pemilihan seorang kepala kampung atau negeri (desa) di Minahasa sudah dikenal sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mentradisi hingga dewasa ini.

Upaya pencarian demokrasi keindonesiaan direduksi lewat kehadiran parpol, ormas, pemilu, pilkada dan desentralisasi bukan pada pencarian dan perumusan kebijakan yang demokratis.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Demokrasi Keindonesiaan : dari Liberalisasi ke Oligarki Partai Politik.

Secara sederhana subtopik Demokrasi Keindonesiaan berarti membahas dan menelaah gejala demokrasi yang sesuai dengan akar budaya Indonesia atau paling tidak demokrasi yang menuju ke arah nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.Itu berarti demokrasi yang berkembang sejak 1998 dinilai sekelompok orang merupakan sistem politik yang berbeda dengan budaya Indonesia atau tidak sesuai dengan bangsa Indonesia.

Para akademisi yang menganalisis tentang budaya dan politik Indonesia pada umumnya memformulasikan sejarah demokrasi melalui tahapan demokrasi formal sebagai berikut (Abdul Mukthie Fadjar, 2012):

  1. Demokrasi Parlementer (1945-1959)
  2. Demokrasi Terpimpin (1959-1966/1967)
  3. Demokrasi Pancasila (1967-1998)
  4. Demokrasi masa reformasi (1998-sekarang)

Para Pendiri Negara Kesatuan Rupublik Indonesia (NKRI) ketika membangun Demokrasi Parlementer (DP) dilakukan secara inkremental (tambal sulam). DP dibangun secara inkremental karena tekanan kuat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Soekarno mengubah model DP menjadi Demokrasi Terpimpin (DT). Soekarno mengecam DP merupakan demokrasi liberal karena itu tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Demokrasi yang dianggap sesuai dengan budaya bangsa Indonesia adalah demokrasi yang dikembangkan dia yang bernama DT. Prinsip demokrasi dalam sistem politik DT adalah semua keputusan didasarkan atas musyawarah untuk mufakat. Prinsip musyawarah itu kemudian dituntun oleh suatu kepemimpinan dan kepemimpinan itu adalah kewibawaan Soekarno.

DSC_0470

Sebagaimana sejarah lahirnya DT dengan kekerasan politik, yaitu dengan Dekrit Presiden, pembreidelan media massa, dan penahanan lawan politik Soekarno, begitu pula lahirnya Demokrasi Pancasila ala Soeharto juga dimulai dengan kekerasan politik dan bahkan berdarah-darah. Pembunuhan 6 jenderal TNI-AD dan 1 orang perwira menengah oleh Gerakan 30 September 1965 merupakan sejarah kelam dalam sejarah demokrasi di Indonesia.

Pejabat Presiden Jenderal Soeharto saat awal membangun Demokrasi Pancasila juga berusaha membangun sistem politik yang berakar dari budaya bangsa Indonesia. Soeharto menamakan sistem politik Demokrasi Pancasila karena semangat untuk membangun demokrasi yang berbeda dengan DP dan DT. Soeharto menekan dan memaksa partai politik untuk berfusi menjadi 3 partai politik yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Demokrasi Pancasila telah mengantarkan masyarakat Indonesia untuk memperbaiki pendidikan, penghasilan, dan kesejahteraannya, meskipun masih pada level yang belum tinggi.

Secara sederhana tatanan demokrasi pasca reformasi memiliki sistem ketatanegaraan dibangun cukup demokrasi, terbuka, dan responsive.

LOMBA BACERITA RAKYAT MINAHASA

0

IMG_5942BPNB Manado menggelar Lomba ‘Bacerita’ Rakyat Daerah Minahasa (8-9/10), yang diikuti oleh siswa SD, SMP, dan SMA. Menurut Kepala BPNB Manado, Rusli Manorek, bahwa cerita rakyat merupakan warisan budaya bangsa yang perlu mendapat perhatian untuk dilestarikan. Apalagi pengaruh globalisasi saat ini, membuat banyak cerita rakyat di Indonesia tidak diwariskan lagi. Padahal dalam cerita rakyat mengandung makna nilai-nilai luhur bangsa yang terkemas dalam bentuk cerita rakyat dan itu terapresiasi dalam wujud bertutur lisan. Lomba “Bacerita” Cerita Rakyat Daerah Minahasa sebagai salah satu wujud pembinaan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Ketua Panitia Lomba ‘Bacerita’ Rakyat Daerah Minahasa, Evie Moningka mengatakan selama dua hari pelaksanaan lomba telah menghasilkan juara untuk kategori SD, SMP dan SMA dalam Lomba ‘Bacerita’ Rakyat Daerah Minahasa.

“Untuk juara pertama tingkat SD diraih Daniela Lingkan Tikoalu,  sedangkan juara pertama tingkat SMP diraih Audreyvia Kembuan dan Juara pertama tingkat SMA yakni Angela Pingkan Wagiu,” kata Minintja, Rabu (9/10) kemarin.

Dikataklannya, semua peserta yang meraih juara ini mendapatkan piala dan uang tunai sebagai pembinaan bagi siswa yang berprestasi. “Ini sebagai apresiasi yang kami berikan kepada para peserta yang meraih juara dalam kompetisi ini,” ujarnya.

Lomba ‘Bacerita’ Rakyat Daerah Minahasa yang ditutup oleh Sekretaris Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dikpora) Minut, Adri Pinaria ini mendapat respons dan apresiasi baik siswa maupun pihak Pemkab Minut.

“Saya baru kali ini menghadiri lomba seperti ini yang berusaha untuk melestarikan salah satu mata budaya bangsa yang bisa saja hilang. Lomba ini harus dilakukan secara terus menerus, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hilangnya cerita-cerita rakyat bisa berakibat buruk kepada pembentukan karakter bangsa” Ucap Pinaria, didampingi Salmin Zakharia mewakili Kepala BPNB Manado dalam acara pentupan tersebut.

Diketahui, sekira 69 Peserta telah berkompetisi di Lomba ‘Bacerita’ Rakyat Daerah Minahasa, dengan rincian untuk tingkat SD sebanyak 28 siswa, SMP 25 siswa dan SMA sebanyak 19 siswa. Kegiatan yang dipusatkan di di Aula Pertemuan Desa Kawiley, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado mendapat antusias dan apresiasi siswa di Sulut baik tingkat SD, SMP maupun SMA.  (Pen)

Sidang Komisi 5 Sesi 1 dan Sesi 2 , Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (9/10)

0

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, Rabu (9/10) terdapat Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Sidang komisi 5 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan Topik  Generasi Multimedia yang dimoderatori oleh Eka Budianta.

Paparan pertama dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Adhicipta R. Wirawan dengan judul Repackage Kebudayaan Indonesia Melalui Transmedia Storytelling

Internet hadir secara luas di masyarakat dunia pada awal tahun 2000. Kemunculannya sangat begitu pesat melalui teknologi informasi dan telekomunikasi. Keunggulan internet dibandingkan media surat kabar, radio, dan televisi adalah kemampuannya mengemas informasi dalam bentuk teks, visual, audio, dan video yang interaktif dalam sebuah media atau dikenal dengan konvergensi media (Rafaeli,1988). Arus kebudayaan dari luar tidak lagi dapat dibendung dengan kehadiran internet. Segala sesuatu yang terjadi di belahan dunia yang lain dapat diakses secara  real  time  dengan  melalui  handphone,  tablet,  laptop,  dll.  Ibarat  pisau bermata dua, internet memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan umat manusia. Generasi muda yang lahir di awal tahun 2000 merupakan generasi yang lahir dan tumbuh di era internet. Generasi ini dikenal dengan sebutan Generasi Z atau Millennial Generation (Horovitz,  2012). Tantangan  terbesar  bagi  para  pendidik  dan  pemerhati  budaya  saat  ini adalah bagaimana Kebudayaan Indonesia dapat tetap diwariskan dan dilestarikan kepada Generasi Z. Generasi tumpuan dan harapan bangsa Indonesia di masa kini

Penting bagi para pendidik dan budayawan mengetahui karakteristik Generasi Z  sehingga memberikan  pemahaman  akan  bagaimana  dan  apa yang memotivasi mereka dalam kehidupan yang mereka jalani.

  1. Generasi pertama yang lahir dengan teknologi yang lengkap. Mereka lahir dengan PC, ponsel, perangkat game, MP3 player dan internet (Mayhew, 2010). Mereka adalah generasi yang tidak dapat hidup tanpa teknologi. Mereka sering disebut sebagai digital natives dan nyaman dengan teknologi.  Mereka     menggunakan  email,  SMS  dan  komputer  tanpa masalah.  Selain  itu,  anggota  dari  Generasi Z  dapat  cepat  beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
  2. Generasi media sosial, dimana mereka menggunakannya sebagai cara berkomunikasi dengan dunia luar. Mereka tidak peduli tentang privasi dan bersedia untuk berbagi rincian intim tentang diri mereka sendiri dengan orang asing. Hal ini dilakukan setiap hari dengan facebook, twitter dan sebagainya.
  3. Generasi multi-task di mana mereka dapat melakukan beberapa aktivitas dengan gadget yang dimiliki secara bersamaan.
  4. Generasi Instant di mana mereka dapat dengan cepat menemukan solusi melalui mesin pencari di internet.

Dari 4 karakteristik Generasi Z di atas maka para pendidik dan budayawan dapat   menempuh   langkah   strategis   untuk   mengatur   strategi   pendidikan kebudayaan kepada mereka. Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia adalah dengan menggunakan Transmedia Storytelling.

Transmedia Storytelling berbeda dengan Multimedia. Multimedia adalah kombinasi dari teks, seni grafis, suara, animasi, dan video yang dikirimkan oleh komputer. Ketika Anda membiarkan pengguna untuk mengontrol apa dan kapan elemen   ini   disampaikan,   itu   adalah   multimedia   interaktif.   Ketika   Anda memberikan struktur unsur terkait di mana pengguna dapat menavigasi, interaktif multimedia menjadi hypermedia (Vaughan, 1993). Multimedia sendiri tidak selalu digunakan sebagai media penyampaian cerita. Contohnya penyampaian data statistik, pelaporan, dll. dalam dunia ekonomi dan bisnis. Keunggulan dari Transmedia Storytelling adalah kemampuannya untuk menciptakan struktur bermain sosial yang terdiri dari 4 hal, yaitu sensor motorik (menyentuh, bergerak, dll.), bersandiwara (memerankan peran), seni (bangunan, desain dll.) dan bermain dengan aturan. Keempat struktur bermain sosial itu dapat disampaikan secara bersama-sama untuk menciptakan pembelajaran yang konstruktif.

Paparan kedua dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Hafiz Ranjacale.

Sidang komisi 5 pada sesi 2 dilaksanakan di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan Topik  Kontekstualisasi Pemberdayaan Budaya yang dimoderatori oleh Pinky Saptandari.

Paparan pertama dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Prof. Dr. Moses Usman dengan judul Masyarakat Nelayan Suku Bajo Torosiaje Teluk Tomini Di Provinsi Gorontalo.

Sistem sosio-ekologis yang dimaksud dalam tulisan ini mencakup tiga dimensi yakni sosio-kultur, ekonomi, dan sistem pengelolaan sumberdaya/ekologi. Sistem sosio-kultur lokal/ideologi ini adalah adanya kesadaran dan kepercayaan penduduk memiliki lingkungannya, dan memanfaatkannya sesuai dengan sumber-sumbernya. Sistem  pengelolaan sumber daya alam lokal dan sistem tradisional lainnya, Serta sistem pengetahuan yang berkaitan dengannya bisa menjadi poin-poin nilai praktis dalam mengarahkan problema-problema yang muncul dari perubahan hubungan manusia dengan sistem ekologis baik pada skala global maupun skala lokal. Dengan demikian yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah apakah sistem sosial dan ekologi (sosial-ekosistem) yang ada memiliki sifat/sifat yang dapat mempromosikan kestabilan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang mencakup perubahan sosio-kultur, ekonomis, dan ekologis. Konsepsi-konsepsi sosio-ekologi dalam tulisan ini dikaitkan dengan konsepsi-konsepsi kebudayaan dan ekologi budaya dalam studi antropologi ekologi (Geertz. 1974, 1980; Hardesty. 1977). Dengan demikan Antropologi ekologi dapat dipandang sebagai antropologi yang dikaitkan dengan berbagai masalah studi perilaku dan pengetahuan kebudayaan manusia dilihat dalam hubungannya dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri dan dikaitkan dengan konsepsi ekologi. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang mengacu kepada Denzin dan Yuana S. Lincoln (1994), Conant, Francis et.al. (ed.1983), Spradley, James P. (1979, 1980) dan Thomas, Jim. (1993). Deskriptif kualitatif ini menguraikan dan menggambarkan setiap fenomena budaya yang berkaitan langsung dengan masyarakat nelayan sebagai pelaku budaya dalam seluruh aspek kehidupan berdasarkan data dan fakta di lapangan.

Masyarakat tradisional suku Bajo Torosiaje, dengan jumlah kurang lebih duaratus kepala keluarga, memiliki formasi ciri-ciri utama tatanan sosial neo-tradisional. Hingga kini desa Torosiaje laut masih tetap berupa desa air yang terisolasi dari perubahan-perubahan di daerah ini. Masyarakat suku Bajo Torosiaje laut masih merawat kebiasaan budaya khususnya bagi mereka yang generasi tua dengan cara mereka sendiri. Mereka masih menjaga sistem ekonomi subsistensi untuk mencukupi diri sendiri. Ini yang peneliti kaitkan dengan tatanan sosial suku Bajo Torosiaje ‘tradisional’.

Hubungan-hubungan ekologis suku Bajo Torosiaje sekarang ini dilakukan dalam tiga dimensi: sosio-kultur, ekonomi, dan ekologi. Perubahan-perubahan sosio-kultur membawa bentuk perubahan-perubahan dalam sistem kepercayaan, hasil gradual dan progresif dari adopsi kepercayaan Islam. Peneliti sebagai penyumbang  terhadap telaah ini menyuarakan perhatian tentang menurunnya secara luas kepercayaan lokal dan pengetahuan yang ditransmisikan kepada generasi berikut. Prospek hilangnya pengetahuan institusional mengkodekan bahwa aspek-aspek tradisi yang  berhubungan dengan eksploitasi lingkungan alam menggambarkan bahaya yang serius terhadap fungsi-fungsi yang berkelanjutan dari sistem pengelolaan tradisional, dan satu yakni tidak ada sekarang remedi. Seperti dalam kasus ini, perubahan dalam kepercayaan dan praktik-praktik pada suku Bajo Torosiaje tidaklah terpisah, tetapi adalah proses umum degenerasi sistem transmisi kepercayaan-kepercayaan tradisional dan pengetahuan, kekuatan-kekuatan utama lainnya di belakang yang berupa perubahan ekonomi.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan sebelumnya, ditarik beberapa kesimpulan bahwa sistem sosio-ekologi yang ada memiliki sifat-sifat yang dapat mempromosi kestabilan dan dapat merespon perubahan-perubahan baik  sosio-kultur, perubahan ekonomi, maupun perubahan ekologi, namun demikian eksploitasi lingkungan alam akan menjadi bahaya yang serius terhadap fungsi-fungsi yang berkelanjutan dari sistem pengelolaan tradisional, dan perlu ditekankan bahwa laut tetap menjadi penting bagi cara hidup suku Bajo Torosiaje tidak saja dalam ekonomi tetapi juga dalam terma budaya, dan masih merupakan komponen kunci identitas serta  praktik-praktik pemanfaatan sumber-sumber yang tidak berkelanjutan menjadi ancaman nyata pada sistem subsistensi.

Paparan kedua dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Firdaus.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Prof. Aji Qamara Hakim dengan judul ISBI Sebagai Proses Pemberdayaan Yang Mengalir.

Di tahun 2012 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merencanakan mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI).  Belum dijelaskan secara mendalam mengapa ISI harus diubah menjadi ISBI.  Bahasan hanya difokuskan pada penambahan materi ‘budaya’ di dalam proses pendidikan lembaga tersebut. Pengubahan nama diharapkan tidak hanya menciptakan para sarjana yang ahli di bidang seni, tapi juga menjadi ahli di bidang budaya.  “Semua ISI (Institut Seni Indonesia) akan diperluas tugasnya.  Kalau tadinya hanya terfokus pada kesenian, nantinya akan diperluas dengan kebudayaan yang terkait dengan kesenian tersebut,” kata Joko Susanto, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (www.kompas.com, 5 Februari 2012). Tentunya penetapan ini tidak mudah direalisasikan.  Akan menjadi pekerjaan tambahan di dalam menyusun kurikulum pendidikan seni di dalam ISI.  Seiring dengan pengubahan nama tersebut menjadikan pro dan kontra terhadap konsep “seni dan budaya”; “seni vs budaya” dan “budaya” itu sendiri.

Konsep pemberdayaan bisa dilihat dari tujuan, proses dan cara˗cara pemberdayaan.  Dari sekian banyak konsep tentang pemberdayaan, penulis mengambil definisi yang sesuai dengan pembahasan bagaimana menciptakan keahlian atau keberdayaan terhadap suatu bidang sehingga bisa menjadi ahli di bidangnya.  Menurut Weissglass (1990:351), pemberdayaan adalah “a process of  supporting people to construct new meanings and exercise their freedom to chose”. Orang-orang yang memiliki keahlian-keahlian tersebut membantu orang-orang yang “belum/tidak berdaya” tersebut hingga “berdaya” seperti apa yang diharapkan. Sedangkan menurut Payne  (1997:266), pemberdayaan adalah  “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self-confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.”  Upaya membuat orang-orang yang diberdayakan  sehingga mandiri dan menentukan nasibnya dan lingkungannya. Salah satu harapan dari berdirinya ISBI Kaltim adalah mampu memberikan bekal pendidikan terbaik bagi anak didiknya sehingga bisa memberdayakan dirinya sendiri dan lingkungannya.  Upaya membantu yang dilakukan oleh ISI Jogjakarta terhadap mahasiswa ISBI Kaltim adalah upaya pemberdayaan melalui kerangka pendidikan seni yang mereka miliki. Tujuan pemberdayaan ini adalah menciptakan para sarjana yang ahli di bidang seni.

Tak ada yang salah dengan ISBI.  Tak ada yang salah dengan penolakan ISI terhadap ISBI.  Tak ada yang salah jika Kaltim dan propinsi-propinsi lain punya mimpi ingin memiliki institusi pendidikan seni budaya.  Tinggal bagaimana semua pihak yang terlibat bisa saling bekerjasama, menguatkan konteks ke-lokal-annya  dan memiliki kepedulian terhadap generasi muda yang ingin mandiri dalam bidang seni budaya,  Pemberdayaan yang ada pada ISBI Kaltim memang memerlukan proses yang cukup panjang dan mengalir.  Begitu pula dengan pendirian ISBI˗ISBI yang lainnya. Kasus terciptanya para ahli ‘tanggung’ pada ISBI Kaltim cukup menjadi pelajaran bagi calon ISBI-ISBI lainnya. Harapan dari tulisan ini adalah tidak terjadi pemberdayaan yang mengalir lagi pada pendirian ISBI˗ISBI lainnya. Pemberdayaan yang juga menjadi pemberdayaan terselubung dengan mengatasnamakan pemberdayaan.  Pemberdayaan terselubung di mana memberikan kesempatan pemberdayaan bagi kepentingan˗kepentingan tertentu yang terlibat dan belum tentu para pemberdayanya adalah para ahli yang diharapkan.

 

Paparan keempat dalam sidang komisi 5 dengan pembicara La Ode Sidu Marafad  dengan judul Budaya Gompula Dalam Konteks Persatuan Dan Kesatuan Masyarakat  Muna Di Kecamatan Watupoe.

Gopula merupakan warisan budaya masyarakat Muna terdahulu yang bernama pokaowa atau pokaowa yang artinya gotong royong.Pekerjaan apa yang dipokaowakan    /dipokadulukan/digotongroyongkan? Pekerjaan yang digotongroyongkan, semua pekerjaan yang melibatkan banyak tenga atau banayk energi yang dibutuhkan, pekerjaan yang memerlukan banyak orang, pekerjaan yang memerlukan banyak alat, pekerjan yang memerlukan banyak bahan, pekerjaan yang luas, pekerjaan yang berat. Kondisi dan pola hidup masyarakat dalam lingkup Kecmtan Watopute khususnya dan masyarakat Muna umumnya belum banyak mengalami perubahan dari dahulu hingga sekarang. Berbeda dari gaya hidup mereka, sebagian mengikuti gaya hidup sesuai dengan kondisi sekarang terutama generasi mudanya. Gaya hidup dimaksud, mislnya, sekarang sebagiaan bear anggota masyrakt sudah memiliki HP dan motor, dan sebagian kecil sudah memiliki kendaraan mobil. Meskipun begitu, pola hidup mereka masih hidup berkelompok, masih saling membantu atau menolong orang lain.

Budaya gompula  sangat bermanfat bagi masyarakat baik masyarakat umum maupun masyarakat anggota gompula.  Manfaat yang utama ialah  dengan kelompok gompula masyarakat itu lebih terorganisasi, mudah dimobilisasi, mudah dikontrol, mudah bersatu. Di tengah budaya gompula tumbuh rasa cinta yang mendalam, rasa  kasih yang mendalam, dan rasa sayang yang mendalam kepada sesama dan hal ini dapat menumbuhkan harmonisasi  di tengah masyarakat yang heterogen. Mudah dikontrol maksudnya, dengan gompula, hampir di setiap kesempatan anggota-anggotanya dapat bertemu. Di mana ada keramaian, pesta tentu mereka bertemu dan di sanalah mereka saling menetahui keadaan masing-masing. Apakah para anggota dalam keadaan utuh, apakah anggota ada keluhan, ada informasi baru, dan lain-lain. Dengan kegiatan gompula tak ubahnya  dengan reuni  rutin karna hampir dipastikan setiap keluarga akan menyelenggarakan upacara apa saja entah lambat atau cepat.

Sidang Komisi 4 – Sesi 1 dan Sesi 2, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (9/10)

0

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, Rabu (9/10) terdapat acara Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Acara sidang komisi 4 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel Ambarukmo Yogyakarta dengan Topik  Konflik dalam Perspektif Budaya yang dimoderatori oleh Endjat Djaendrajat.

Paparan pertama dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Prpf. Dr. H. Sulaiman Mamar, MA, Drs dengan judul Konflik Dalam Prespektif Budaya.

Dipandang dari perspektif budaya, fenomena konflik tersebut menunjukkan bahwa “nilai-nilai budaya suku bangsa di Indonesia telah mengalami degradasi” sehingga tidak berfungsi lagi sebagai pedoman tingkah laku manusia. Fenomena itu terjadi karena nilai budaya telah tergeser oleh kebutuhan materi (harta benda, kekuasaan dan jabatan).

Oleh karena itu, nilai-nilai budaya  kelompok etnis di Indonesia perlu digali kembali, direvitalisasi, dan diwariskan kepada generasi muda sehingga dapat memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya akan mengurangi pikiran negatif dan akan memecahkan permasalahan konflik di berbagai wilayah Indonesia.  Tindakannya antara lain sebagai berikut:

a.  Pendidikan nilai-nilai kearifan lokal

  • Lingkup keluarga sebagai wahana pembelajaran nilai-nilai kearifan lokal
  • Lingkup satuan pendidikan sebagai wahana pembelajaran budaya berpikir positif sehingga
  • Lingkup   pemerintah   sebagai   wahana   pembangunan   karakter   bangsa   dengan menjadikan budaya berpikir posiitif sebagai pedoman dalam penyelenggaraan Negara
  • Lingkup  masyarakat sipil lewat  tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat melakukan  pembinaan  terhadap  generasi  muda  dalam  mewarisi  budaya  berpikir positif
  • Lingkup masyarakat politik sebagai wahana menerapkan budaya berpikir positif
  • Lingkup dunia industri sebagai wahana pembangunan perekonomian dengan berpedoman pada budaya berpikir positif sehingga menjadi teladan bagi masyarakat pengusaha ekonomi
  • Lingkup media massa sebagai wahana yang berperan dalam membuat opini bagi publik yang  berkaitan dengan budaya berpikir positif dan pembangunan manusia

b.   Pendidikan Etika

  • Dapat membedakan prilaku yang benar dan salah
  • Ramah – tamah dalam berbicara
  • Sopan – santun dalam pergaulan
  • Menghargai orang tua dan guru
  • Simpati terhadap orang lain
  • Solidaritas terhadap sesama manusia
  • Mengutamakan persatuan dan kesatuan

c.  Pendidikan Multikultural

  • Memahami dan menghargai budaya sendiri sebagai identitas suku bangsanya
  • Memahami dan menghargai budaya suku bangsa lain
  • Menghormasi perbedaan budaya antar suku bangsa
  • Menjunjung tinggi persamaan budaya antar suku bangsa
  • Mengembangkan dialog dan toleransi antara sesama manusia dan warga suku bangsa
  • Memahami dan  mengamalkan nilai universalitas agama

d.  Pemberdayaan Ekonomi Generasi Muda

  • Generasi muda perlu dilatih dalam berbagai macam usaha produktif
  • Kemudian dikelompokan sesuai minat usaha
  • Setiap  kelompok  diberikan  modal  (uang  dan  peralatan)  untuk  mengelola  usaha produktif
  • Selama mengelola usaha produktif, didampingi oleh seorang fasilitator professional
  • Setelah satu tahun menjalankan usahanya, dievaluasi oleh suatu tim khusus untuk mengetahui keberhasilan usaha

 

Paparan kedua dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Gufran Ali Ibrahim dengan judul Keburukan Sosial dan Tanda Kebudayaan Kita.

Indonesia  yang  amuk,  tidak  tertib  sosial,  gaduh,  dan  mengelompok sebagai tanda-tanda rendah budaya sebagaimana yang ditunjukkan dalam angka dan kekerapan keburukan sosial  yang telah dijelaskan memerlukan strategi pembentukan manusia Indonesia menjadi ramah, tertib sosial, kuat apresiasi atas perbedaan dan keragaman, serta tinggi budi-bahasa. Pembentukan ini tidak dengan cara lain, tetapi melalui belajar sebagai latihan pembiasaan dan pembentukan watak. Sekolah, sebagai entitas pemandaian dan pengadaban manusia Indonesia, melalui Kurikulum 2013, perlu menyusun suatu peta jalan (road map) pembentukan “Generasi Emas” seperti dilansir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dikonfirmasikan dengan penyusunan indeks kebudayaan yang tengah dipersiapkan.

“Budaya mengelompok” menjadi ancaman bagi kemajemukan Indonesia; “masyarakat yang gampang amuk” dan “tidak tertib sosial” menjadi ancaman bagi intergrasi bangsa; “tidak bersih” menjadi ancaman bagi kualitas kesehatan bangsa; dan “gaduh” bisa menjadikan bangsa ini pekak, kehilangan nalar sehat, dan bahkan kemudian bisa menjadi bangsa “rusuh”.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Sudjarwo dengan judul Persoalan Bangsa yang Tercecer.

Pertama,   bahwa sudah  sangat  mendesak  perlu  disusun  suatu grand  disain pembangunan  bangsa jangka   panjang   terutama   berkaitan   dengan   tata   laku   dan   tata   kehidupan   bernegara,   dasar orientasinya   bukan   hanya   berdasar   pada   konsep   demokrasi   semata,   akan   tetapi   juga   azaz musyawarah untuk mufakat dengan warna khas lokal, perlu diberi ruang untuk partisipasi warganya.

Kedua,  bahwa  suara  terbanyak  adalah  penentu  dalam demokrasi  seperti  selama  ini terjadi,  harus dikaji  ulang  bahwa  suara  minoritas  juga  memiliki  hak  yang  sama  dalam  partisipasi  membangun bangsa. Budaya memberi ruang pada minoritas ini perlu dihidupkan kembali, sehingga tidak menimbulkan bangunan tempok penyekat sosial yang tidak jarang menjadi pemisah. Eliminasi sosial

serupa ini merupakan  bentuk  kegagalan  demokrasi,  atau juga cacat bawaan  yang harus  ditangani secara sungguh-sungguh.

Ketiga,  bahwa  kearifan  lokal harus  diberi  ruang untuk  ikut berpartisipasi  dan berkontribusi  dalam membangun   ideologi   bangsa   dengan   tidak  mengesampingkan   kepentingan   bangsa   yang  luas. Kearifan  lokal ini justru jika dirajut akan membangun  networking  yang kokoh  guna pembangunan budaya indonesia.

Paparan keempat dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Sjarif Ibrahim Alqadrie dengan judul Persoalan Bangsa yang Tercecer.

Proses konflik yang berkembang menjadi kekerasan lebih tepat disebut konflik kekerasan (violent conflict). Kalau begitu, kekerasan atau pertikaianpada umumnya berujud tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur/ sistem yang menyebabkan kerusuhan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang atau kelompok orang untuk meraih potensinya secara penuh.

Upaya dasardalam memahami, melakukan pencegahan atau mengelola konflik (management of conflict) dan menangani kekerasan atau membangun perdamaian (peace building) dapat dilakukan paling kurang melalui 2 (dua) cara pandang utama (main perspectives) yaitu (1) perspektif budaya (cultural perspective) dan (2) perspektif bukan-budaya (non-cultural perspective).  

Paparan kelima dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Prof. Dr. H. Anwar Hafid dengan judul Konflik SARA di Wilayah Pertambangan (Kasus Sulawesi Tenggara).

Munculnya tambang dari bumi Sulawesi Tenggara, selain merupakan rahmat, juga membawa masalah baru termasuk konflik ekonomi yang bernuansa sara. Suku Tolaki yang mendiami sebagian besar wilayah pertambangan dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang  mengatur  segenap  tata  tingkah  laku  masyarakat  yang  disebut  kalosara.  Kalosara

Sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan  oleh segenap  lapisan masyarakat,  terutama dalam kehidupan  sosial budaya. Dengan  demikian  seiring  dengan  perkembangan  dinamika  kehidupan  masyarakat  yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk konflik bernuansa sara di wilayah  pertambangan,  maka  kehadiran  kalosara  sebagai  instrumen  solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.

Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah sengketa  tanah,  masalah  perkawinan,  dan masalah  kriminalitas  di wilayah  pertambangan, terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya  yang murah. Peran pabitara  selaku tokoh masyarakat  Tolaki pemegang otoritas kalosara, perlu dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan memanfaatkan kalosara  sebagai instrumen utama.

Paparan keenam dalam sidang komisi 4 dengan pembicara PM Laksono.

Paparan ketujuh dalam sidang komisi 4 dengan pembicara Marko Marin.

 

 

 

 

Sidang Komisi 3 Sesi 2, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (9/10)

0

Sidang komisi 3 pada sesi 2 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 dilaksanakan hari Rabu (9/10) di Hotel Ambarrukmo dengan topik Budaya Sebagai Kekuatan Diplomasi yang dimoderatori oleh Jabatin Bangun.

Paparan pertama dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Djoko Dwiyanto.

Paparan kedua dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Rahayu Supangggah dengan judul Mengglobalkan Seni (Budaya) Bangsa Indonesia.

Kekuatan seni budaya sejak lama telah disadari dan dikenal mampu memberikan image positif terhadap sesuatu, baik itu pada bangsa yang memiliki, yang menggunakan kesenian/kebudayaan tersebut. Demikian juga melalui pekerjaan, karya atau produk yang dihasilkannya. Sifat dan Wujud kesenian/kebudayaan yang menarik, sering digunakan berbagai fihak sebagai daya tarik yang efektif untuk mengenalkan, menggemari, mencintai, mengapresiasi dan mengagumi kesenian kebudayaan, bahkan sampai ingin memilikinya.

Dalam mengenalkan dan mengembangkan seni budaya sekaligus dengan kapasitasnya  sebagai sarana diplomasi atau pencitraan Indonesia, sampai saat ini lebih banyak dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah Indonesia, provinsi, kota, dan atau lembaga pendidikan maupun lembaga lainnya) adalah melalui kegiatan kegiatan sebagai berikut.

  • Misi Kesenian
  • Expo
  • Misi diplomatik
  • Pendidikan
  • Pagelaran dan Kolaborasi
  • Indonesia Year
  • Pusat Kebudayaan Indonesia di luar negeri

 DSC_0076

Paparan ketiga dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Wagiono Sunarto dengan judul Budaya Sebagai Kekuatan Diplomasi Strategi Pengembangan Budaya Pop Indonesia.

Diplomasi Budaya sudah cukup banyak dan cukup lama dilakukan oleh Indonesia dalam berbagai misi diplomasi ke luar negeri, dan tentunya sudah mempunyai dampak yang cukup baik. Contohnya adalah pengiriman tim seni dari pusat maupun daerah ke tempat penyelenggaraan  Trade Fair, Inventment Road Show, Industrial Fair, International Fair, Tourism Mission, berbagai bentuk International Conference, Floriade, International Expo dan sebagainya. Expo Internasional yang embrionya dilakukan di London, Crystal Palace 1856, merupakan hajatan dunia untuk merayakan kemajuan teknologi dan industri di berbagai negara, terutama yang berada di Eropa dan koloni koloninya.

Bentuk lain adalah hubungan langsung personal atau kelompok minat, person to person, community- to community yang membawa misi budaya melalui berbagai bidang. Bentuk yang lebih canggih adalah melalui penerbitan dan penyebaran media cetak serta penyiaran radio dan televisi.

Secara singkat bisa dikatakan bahwa ada beberapa kepentingan yang bisa menjadi ukuran keberhasilan Diplomasi Budaya Internasional,

  1. Pada tingkat courtessy, dimana pertunjukan atau seni tradisi atau garapan baru mendukung suatu misi diplomasi. Terjadi pada tempat khusus yang terkait dengan event diplomatik yang diselenggarakan.
  2. Pada tataran khlayak terbatas, dimana kekayaan seni tradisi kita dan inovasi serta kreasi baru kita punya landasan lebih mapan pada lembaga lembaga tertentu di luar negeri. (melalui dunia ilmu, profesi, komunitas atau pendidikan formal), terjadi di sarana pendidikan dan sarana budaya secara regular dan konsisten, atau melalui media media baru.
  3. Pada tingkat apresiasi populer, yang menjangkau khlayak lebih luas dan mendapat apresiasi positif (mempunyai penggemar). Terjadi pada sarana publik dan media media baru.
  4. Pada tataran Industri Budaya atau Industri Kreatif, yang mengarah pada peningkatan citra dan peningkatan devisa, dengan sasaran konsumen massal dan segmen pasar, melalui  outlet atau media dan event lain yang tersedia, secara konsistent melalui program branding dan marketing (termasuk promosi) yang masif.

Paparan keempat dalam sidang komisi 3 dengan Kamaruzzaman B.A dengan judul Rancang Bangun Strategi Kebudayaan dalam Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia.

Kajian ini telah menunjukkan bahwa pemilihan satu kebudayaan tertentu di dalam negara bangsa, seperti Indonesia, tidak mampu membawa pada persatuan nasional yang utuh. Upaya untuk mensimbolisasi suatu kebudayaan yang begitu dominan, ternyata telah mengikir rasa persatuan nasional di kalangan rakyat Indonesia. Disadari atau tidak, peran ilmu-ilmu sosial dari Eropa dan Amerika Utara ternyata telah merubah cara pandang di dalam pola pembangunan. Disini peran agama dan budaya selalu menjadi objek dari dampak ilmu sosial di dalam merekayasa pembangunan di Indonesia.

Indonesia harus memiliki konsep yang tegas di dalam menghadapi imperialism budaya dan budaya global yang telah merubah cara pandang masyarakat Indonesia di dalam kehidupan sehari-hari. Dikhawatirkan generasi baru Indonesia lebih banyak memahami dan mengamalkan budaya global, ketimbang memahami dan mempraktikkan budaya lokal mereka sendiri. Keempat, di dalam persoalan keamanan dan pertahanan, ternyata budaya memiliki yang cukup signifikan di dalam merubah cara pandang rakyat Indonesia. Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana arah strategi pertahanan dan keamanan yang berbasiskan pada penguatan budaya lokal di Indonesia.

BANYAK DIBACA

BERITA TERBARU