You are currently viewing Sejarah Replika Kadet AU RI-Misi Pengeboman Putera Indonesia Pertama

Sejarah Replika Kadet AU RI-Misi Pengeboman Putera Indonesia Pertama

img_0031

Yogyakarta, Dua dari empat misi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta adalah Mewujudkan peran museum sebagai pelestari benda-benda peninggalan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia di Yogyakarta. Mewujudkan peran museum sebagai sumber informasi sejarah perjuangan rakyat Indonesia di Yogyakarta. Salah satu upaya yang ditempuh pengelola museum dalam pencapaian misi museum dengan menambah koleksi berupa Replika Patung Kadet Penerbang yang dipamerkan di Diorama II Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

Replika Patung tersebut merupakan visualisasi foto sejarah berukuran kurang lebih 1:1 dengan aslinya. Diharapkan keberadaan koleksi ini menjadi pendukung diorama adegan       : Puing-puing pesawat Dakota VT-CLA yang jatuh akibat ditembah pesawat Kitty Hawk Belanda.

Dalam sejarahnya pada tanggal 29 Juli merupakan salah satu peristiwa yang monumental, yakni terjadinya dua peristiwa penting dalam satu hari. Tanggal tersebut kemudian dijadikan sebagai Hari Bhakti TNI-AU.

Pagi hari, 29 Juli 1947, dua pesawat Churen dan satu Guntei, melakukan serangan udara atas target Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Serangan ini bagai petir di siang bolong di mata Belanda. Aksi ketiga penerbang AU RI di atas merupakan operasi udara pertama dalam sejarah RI melawan agresor, sekaligus juga aksi balasan terhadap Belanda yang sejak tanggal 21 Juli 1947 terus menyerbu Republik dengan membabi buta.

Pukul 05.00, ketiga  pesawat mulai merayap dan tak lama kemudian pesawat pertama—jenis Guntei—lepas landas, diterbangkan oleh Penerbang Mulyono. Pesawat kedua, sebuah Cureng, menyusul sesaat kemudian, diterbangkan oleh Penerbang Sutarjo Sigit. Yang terakhir lalu menyusul, juga sebuah Chureng, yang diterbangkan oleh Penerbang Suharnoko Harbani.

9-para-kadet-penerbang-auri-pengebom-ambarawa-c img_0030

Ketiga penerbang saat itu masih tercatat sebagai Kadet Penerbang dari Sekolah Penerbang yang didirikan 15 November 1945 dengan Komandan Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto.

Guntei dan Cureng merupakan pesawat peninggalan Jepang dengan peralatan sederhana. Keduanya tak memiliki lampu dan radio. Ketiga penerbang waktu itu hanya dibekali dengan lampu senter untuk saling memberi isyarat, dengan cara menyorot pesawat agar diketahui oleh rekannya.Tutup kokpit pesawat dilepas, badan dan sayap, diberi cat warna hijau militer. Sedangkan, modifikasinya terletak pada pemasangan mekanisme untuk menjatuhkan bom yang digantungkan di kedua sayapnya, masing-masing sayap dibebani sebuah bom seberat 50 kg.

Pesawat yang dikemudikan Suharnoko Harbani dilengkapi senapan mesin dengan penembak udara Kaput menyerang Ambarawa. Sedangkan, pesawat Sutardjo Sigit dibekali bom-bom bakar dan penembak udaranya Sutardjo menyerang Salatiga. Kadet penerbang Mulyono dan penembah Dulrachman diperintahkan menyerang Semarang dengan menggunakan pesawat pengebom tukik ”Driver Bomber” Guntei berkekuatan 850 daya kuda. Pesawat berkecepatan jelajah 265 km/jam itu dibebani bom 400 kg dan dilengkapi dua senapan mesin di sayap dan sebuah dipasang dibelakang penerbang.

Meski menghadapi kesulitan teknis karena primitifnya sarana pelepasan bom, misi bisa dikerjakan dengan baik. Bahkan Sutardjo Sigit menjatuhkan bom bom bakar dengan menggunakan kedua tangan. Untuk menghindari sergapan pesawat pemburu Belanda P-40 Kitty Hawk (Curtiss), ketiga penerbang terbang rendah di atas puncak- puncak pohon. Begitu penerbang ketiga mendarat pukul 06.20, ketiga pesawat yang baru saja menunaikan misi pengeboman tadi segera disembunyikan.

Aksi ketiga penerbang AU RI di atas merupakan operasi udara pertama dalam sejarah RI melawan agresor, sekaligus juga aksi balasan terhadap Belanda yang sejak tanggal 21 Juli 1947 terus menyerbu Republik dengan membabi buta.

Ada tiga efek yang ditimbulkan dari operasi udara itu. Pertama, meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia dan menambah rasa percaya diri. Kedua, aspek diplomasi yaitu pengakuan atas keberadaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia di masyarakat dunia. Ketiga, aspek militer yaitu keberadaan Angkatan Udara RI diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda.

Serangan yang dilancarkan di pagi buta itu, tidak hanya memporakporandakan kubu-kubu pertahanan Belanda, namun lebih dari itu menurunkan mental dan semangat pasukannya. Ini terbukti dengan pemadaman lampu di seluruh kota besar di Jawa Tengah pada malam hari untuk mencegah serangan udara dari pasukan Indonesia. Untuk mengembalikan semangat tempur tersebut, Belanda melancarkan serangan balasan dan tidak mengindahkan lagi aturan perang.