Predikat sebagai seorang dokter dan pejuang, memang layak disematkan pada Sardjito, karena sumbangsihnya dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau memiliki moto hidup yakni Door het geven wordt men rijk dalam bahasa Indonesia yang berarti “dengan memberi kita menjadi kaya”.
Pemikiran nasionalisme Sardjito terbentuk saat dia menempuh pendidikan di STOVIA. Kala itu Sardjito bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo. Soetomo merupakan salah satu orang yang mengispirasi Sardjito. Argumen ini terbentuk karena Soetomo merupakan pendiri sekaligus ketua Boedi Oetomo. Selain itu cita-cita dan pemikiran yang dimiliki Soetomo mirip dengan Sardjito mengenai kemajuan bangsa Indonesia.
Pengabdian yang dilakukan Sardjito untuk bangsa Indonesia baik di bidang Kesehatan maupun Pendidikan dilatarbelakangi oleh apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada waktu itu. Dalam bidang kesehatan Sardjito membuat obat untuk penyakit kencing batu dan kolesterol. Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit rakyat. Kedua obat itu dibuat dengan bahan-bahan tradisional. Sampai saat ini obat untuk batu ginjal (Calcusol) dan obat untuk menurunkan lemak dalam darah (Calterol) masih dijual dengan harga yang murah.
Dalam bidang kesehatan Sardjito merupakan seorang dokter dan guru besar spesialis Farmakologi dan Bakteriologi. Sumbangsih Sardjito terhadap masyarakat dalam bidang kesehatan yakni penemuan obat untuk penyakit batu ginjal (calcusol) dan obat untuk penyakit jantung (calterol), serta penemuan Sardjito untuk bahan pengganti membuat vaksin bagi gerilya masa Revolusi.
Calcusol merupakan obat tradisional yang berasal dari seratus persen ekstra daun Tempuyung (Sonchus Arvensis L). Obat ini memiliki khasiat yakni meluruhkan batu urin ginjal serta melancarkan buang air seni. Calterol merupakan obat tradisional yang berkhasiat membantu menurunkan lemak dalam darah. Calterol terbuat dari ekstrak Shonci Folium, Murrayae Folium, Guazumae Folium, dan Curcuma Rhizoma.
Saat revolusi kemerdekaan, Sardjito ikut berjuang dengan menciptakan vaksin-vaksin untuk para pejuang. Sardjito berhasil menemukan cara agar tetap dapat membuat vaksin di tengah keterbatasan yang dialami. Penggunaan kembali agar-agar yang telah dipakai dan mengganti kaldu daging dengan kaldu dari tempe merupakan penemuan Sardjito sebagai solusi dari keterbatasan yang dihadapi pada masa itu. Sardjito juga menciptakan vaksin anti penyakit infeksi seperti vaksin untuk Typus, Kolera, Dysentri, Staflokoken, Streptokoken, dll. Semua itu beliau lakukan demi bertahanya kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pengabdian Sardjito di bidang nutrisi di buktikan dengan penemuanya yakni makanan siap saji untuk yang dinamakan Biskuit Sardjito. Biskuit Sardjito tercipta saat beliau bekerja di Institud Pasteur Klaten 1946. Biskuit ini merupaan makanan rangsum yang memiliki kalori yang tinggi serta nutrisi yang cukup untuk kebutuhan para Tentara Mahasiswa yang sedang menghadapi pertempuran pada masa revolusi. Makanan ini dinamakan biskuit karena bentuknya yang padat menyerupai biskuit. Namun pembuatan Biskuit Sardjito tidak bisa diteruskan karena situasi Klaten pada masa itu yang tidak memungkinkan.
Pemikiran Sardjito untuk membuat Biskuit Sardjito dipengaruhi oleh keprihatianan beliau terhadap keadaan bangsa Indonesia pada masa itu. Sardjito tahu betul bagaimana suasana perang saat revolusi karena pada masa itu merangkap sebagai Ketua Palang Merah Cabang Klaten.
Sardjito merupakan salah satu Pahlawan Nasional yang koleksi benda-benda realianya banyak terdapat di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Salah satu koleksi pribadi Sardjito adalah Piagam Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera dari Presiden Soeharto. Beliau resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 8 November 2019 dari Presiden Joko Widodo.