Menyambut peringatan Hari Museum Nasional, Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) bekerjasama dengan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, menyelenggarakan Talkshow Ngobrol Bareng Edukator MKAA melalui Joint Screen Instagram (IG) live pada Jumat (8/10/2021) dengan mengusung tema “Museum Benteng Vredeburg: “Diplomasi untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”. Hadir sebagai Narasumber, Kepala Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Drs. Suharja, dengan dimoderatori oleh Edukator MKAA, Elda Tartila.
Sesi tersebut diawali Drs. Suharja dengan merunut kilas sejarah berdirinya Benteng Vredeburg. Bermula dari pecahnya Mataram Islam menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogakarta Hadiningrat. Kemudian bertahtalah Sultan Hamengkubuwono I di Kasultanan Ngayogakarta Hadiningrat. Ketika Sultan Hamengkubuwono I sudah mulai mendirikan keraton yang dilingkupi Benteng Pertahanan maka Belanda juga mendirikan Benteng Vredeburg pada tahun 1760 dengan menggunakan tanah Sultan dan meminta Sultan untuk menyediakan material untuk membangun. Secara yuridis status Benteng Vredeburg tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda. Belanda berdalih bahwa pembangunan benteng ditujukan untuk menjaga keamanan keraton, namun sesungguhnya benteng ini digunakan untuk memudahkan pengawasan pihak Belanda terhadap segala kegiatan Keraton.
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1980 Mendikbud Dr. Daoed Joesoef dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX berkeinginan untuk membuat perjanjian kerjasama pemanfaatan Benteng Vredeburg sebagai bangunan untuk mengenang sejarah perjuangan. Pada tahun 1981, Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Kemudian pada tahun 1984, pengganti Dr. Daoed Joesoef, Prof. Dr. Fuad Hassan hendak menjadikan Benteng Vredeburg sebagai museum sejarah karena salah satu sebutan kota Yogyakarta adalah sebagai Kota Perjuangan. Gagasan tersebut disambut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Perubahan yang dilakukan untuk interior fungsi museum, diizinkan oleh Sri Sultan HB IX. Kemudian dimulailah renovasi yang ditujukan untuk alihfungsi benteng vredeburg sebagai museum pada tahun 1985.
“Karena bangunan cagar budaya, maka bentuk Benteng Vredeburg tidak berubah (masih asli), perubahan hanya pada tata ruang dan fungsi sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum”, ungkap Suharja.
Setelah sebelumnya ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, pada tahun 2016 Kawasan Benteng Vredeburg semakin diperkuat dengan ditetapkan sebagi Objek Vital Nasional sektor Pariwisata. Salah satu keistimewaan Benteng Vredeburg, yakni Benteng Vredeburg mendapatkan nilai tertinggi berdasarkan keaslian dan keterawatan bangunannya, diantara 400an bekas Benteng Belanda di Indonesia (menurut penilaian Pusat Data Arsitektur Indonesia).
Lebih lanjut Drs. Suharja menyampaikan terkait peran Yogyakarta dalam upaya mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Yogyakarta merupakan wilayah pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) usai proklamasi kemerdekaan. Dukungan berikutnya diberikan tatkala Indonesia menghadapi situasi genting, tepatnya saat Belanda kembali menduduki Jakarta pada Januari 1946. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menawarkan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX rela membiayai serta menyediakan rumah-rumah maupun kantor. Selama 4 tahun menjadi ibukota, Yogyakarta kembali menunjukkan keistimewaannya.
Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Museum Khusus yang menampilkan Perjuangan Nasional yang terjadi di Yogyakarta, baik yang terjadi melalui meja diplomasi, maupun perang fisik, serta bentuk-bentuk dukungan perjuangan lainnya seperti dukungan para seniman untuk mengobarkan semangat juang rakyat Yogyakarta melalui poster yang dipasang ditempat-tempat strategis yang Berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1946.
“Karena sepanjang sejarah, Yogyakarta selalu tampil terdepan dalam perjuangan. Yogyakarta memperkokoh benteng pertahanan Indonesia, dan sangat signifikan perannya bagi Indonesia yang baru lahir. Dukungan rakyat Yogyakarta dalam perjuangan juga sangat besar, ketika Sultan ,”ngendiko”, rakyat patuh dan mendukung”, pungkas Suharja.