MEMAKNAI (KEMBALI) KEBANGKITAN NASIONAL: KAUM MUDA DAN TANTANGAN ZAMAN Oleh: Dwi Ratna Nurhajarini

Sejarah adalah peristiwa masa lampau dengan melukiskannya untuk masa kini.

Sejarah dengan begitu dapat menjadi sarana untuk berdialog

antara masa lampau dengan masa kini,

Sehingga masa lampau tidak sirna tanpa fungsi/arti.

(Gilbert J. Garraghan, 1940)

Pengantar

Dalam sejarah Indonesia, salah satu tahap yang krusial dalam pembentukan negara bangsa Indonesia adalah tahap yang kemudian dikenal dengan Kebangkitan Nasional, yang dimulai pada awal abad XX. Dan itu ada di bulan Mei dengan mengambil tanggal terbentuknya organisasi Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908. Di kemudian hari waktu-waktu seperti sekarang ini, sepertinya banyak digelar acara untuk mengenang, memaknai kembali atau menghidupkan lagi semangat tentang kebangkitan nasional. Memang waktu seratus tahun lebih sejak tahun 1908 mestinya menjadi momentum yang tepat untuk merefleksi kembali pengalaman Indonesia dengan kebangkitan nasional relasinya dengan kaum muda pada masa kini.

Problematik Indonesia sebagai sebuah negara bangsa modern pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang identitas nasional yang dilakukan oleh para elit masa pergerakan nasional yang muncul sejak awal abad XX. Dewasa ini ada banyak kalangan menilai semangat kebangkitan nasional maupun nasionalisme Indonesia tengah mengalami kemerosotan.

Fokus utama yang diusung pada tahap awal nasionalisme ini adalah penciptaan dan penggalangan semangat nasionalitas versus penjajah. Tahapan tersebut menurut Azyumardi Azra (2011:120) disebut sebagai kebangkitan nasional. Pada masa awal tumbuhnya nasionalisme ini dimensi sosial,pendidikan maupun budaya tampak dominan dalam aksi dibandingkan dengan dimensi politik. Hal itu karena tekanan pemerintah kolonial terhadap munculnya organisasi-organisasi modern pada masa tersebut.

Kebangkitan Nasional telah berlangsung selama 105 tahun. Pertanyaannya kemudian adalah kearifan apa yang dapat dipetik dari kebangkitan nasional di masa lalu itu untuk masa kini dan yang akan datang? Di dalam setiap peringatan mudah-mudahan tidak hanya sebuah ritual kosong tanpa arti. Dalam setiap peringatan tentunya mengandung nilai-nilai afektif dan edukatif yang dapat dijadikan teladan untuk generasi masa kini dan yang akan datang. Lantas apa kaitan antara pertanyaan di atas tentang arti penting kebangkitan nasional dan peran pemuda? Jawaban dari itu tentunya dengan dilihat atau disesuaiakan dengan tantangan di masa kini.

Kaum Muda, Nasionalisme Dalam Perspektif Sejarah

Berbicara mengenai pemuda tentu tidak bisa lepas dari sejarah perjalanan bangsa ini. Kaum muda, pemuda atau angkatan muda bukan sekedar kategori biologis semata, tetapi pemuda adalah sebuah fenomena historis dan juga sosiologis. Masalah kepemudaan telah menjadi bagian dari proses sejarah bangsa Indonesia. Peran kaum muda dalam mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan, melahirkan orde pembangunan, membuka pintu orde reformasi. Dengan kata lain pemuda di dalam pengaturan kehidupan bangsa secara historis memiliki posisi yang signifikan. Pemuda sebagai pendobrak atau membuka pintu ke arah pencerahan.

Pemuda sebagai aktor sejarah tidak hanya terbawa oleh keharusan struktural, namun mereka membuat sebuah ‘pilihan’ dari berbagai kemungkinan yang terdapat dalam struktur. Sebagai sesuatu kategori demografis, dengan ukuran tahun tertentu pemuda telah memainkan peran dimanapun. Dalam proses sejarah perjuangan bangsa pemuda sebagai aktor sejarah terutama kesadaran akan status kepemudaannya bisa dicatat bahwa itu mulai tampak di awal abad XX. Sejak masa itu kesadaran tentang identitas kepemudaan yang memiliki pemikiran tentang sebuah” bangsa yang baru” terus meninggi. Apabila dicermati gejala sosiologis dalam diri para pemuda menunjukkan kecenderungan yang kuat dalam menjalin ikatan solidaritas (Marta, 1984: XXIX).

Awal abad XX telah lahir generasi muda, golongan intelektual terdidik yang memiliki pandangan luas tentang perlunya meningkatkan kedudukan dan martabat rakyat. Pada masa pergerakan di awal abad XX para kaum muda menemukan kesadaran tentang kepemudaannya dan muncul dalam kesadaran berorganisasi. Dengan berorganisasi, anak muda dengan segala sifat kepemudaannya menyalurkan ide, bakat, perhatian dan pikiran. Pengalaman dalam berbagai corak organisasi itu yang kemudian turut menentukan sikap mereka dalam memasuki aktivitas ‘dunia dewasa’ (Marta, 1984: XXXII).

Kaum muda, itulah yang kemudian mendirikan organisasi modern pertama dengan nama Budi Utomo, yang berdasarkan hasil rapat kemudian menjadi ketua organisasi tersebut (Anhar Gonggong, 2008: 17). Corak kegiatan yang dipilih Budi utomo adalah pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan, walaupun pada awalnya program ini hanya ditujukan pada kaum priyayi saja tidak untuk pribumi pada umumnya. Sutomo yang menjadi ketua Budi Utomo pada tahun 1908 saat itu baru berusia 20 tahun karena Sutomo dilahirkan tanggal 30 Juli 1888 di Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur (Scherer, 2012: 148). Setelah Budi Utomo lahirlah organisasi-organisasi lain yang membawa cita-cita untuk memperbaiki kehidupan bersama. Dengan berorganisasi corak kegiatan perlawanan terhadap kolonial tidak lagi dengan mengangkat senjata namun bertumpu pada kekuatan rasional yang melalui organisasi, media massa, pendidikan, dan dialog.

Generasi baru itu atau dalam bahasa Robert van Niel (1960) disebut dengan elit baru (elit terpelajar) berperan dalam menumbuhkan wacana baru tentang nasionalitas berdasarkan pengalaman mereka terhadap apa yang dinamakan imperialisme dan kolonialisme. Generasi tersebut adalah para elit terpelajar yang memiliki cara pandang dan identitas baru sebagai reaksi atas kondisi yang mereka alami. Bentuk perlawanan terhadap kolonial itu kemudian melahirkan identitas kebangsaan Indonesia. Kaum elit pribumi terpelajar tersebut merupakan sumber utama nasionalisme.

Sampai saat ini dalam sejarah Indonesia dikatakan bahwa kelahiran organisasi Budi Utomo (20 Mei 1908) dianggap sebagai organisasi modern pertama yang didirikan bangsa Indonesia. Sejauh ini memang benar, akan tetapi oraganisasi tersebut masih menitikberatkan usahanya pada kemajuan bangsa Jawa. Oleh karena itu nasionalisme yang dikembangkan juga dalam lingkup Jawa.

Organisasi modern yang secara tegas mengusung nasionalisme Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan oleh tiga serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat pada tahun 1912. Paham kebangsaan yang diusung adalah Indische Nationalisme (Nasionalisme Hindia), dan kemudian diganti dengan nama nasionalisme Indonesia (selengkapnya baca di Hans Van Miert, 2003; Slamet Muljana, 2008). Indische Partij bersikap tegas dan berusaha mewujudkan kemerdekaan Hindia. Sikap tegas Indische Partij dan non kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda, maka partai itu terus diawasi. Bahkan akhirnya partai tersebut dibubarkan dan ketiga tokohnya dikirim ke Belanda.

Masa-masa awal abad XX kemudian diisi dengan berbagai organisasi modern dengan beragam corak dan tujuan. Nasinalisme yang berkembangpun beragam, dari yang bersifat kedaerahan (nasionalisme Jawa), nasionalisme Hindia (Indonesia) bahkan nasionalisme yang beraliran marxis.

Seperti yang telah ditulis di bagian awal bahwa perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak terlepas dari kaum muda pada masa pergerakan nasional. Kesepakatan yang terbentuk adalah bahwa mereka menyebut diri mereka sebagai satu bangsa (baru) dengan nama Indonesia. Perumusan dan penggunaan nama Indonesia untuk simbol nama kebangsaan dan tanah air, serta bahasa dilakukan dengan dialog antara kaum pergerakan nasional. Nama simbol diri Indonesia tersebut telah dirumuskan dalam Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia (1925). Ikrar itu kemudian menguat lagi dan diformalkan dalam sebuah kongres kaum muda. Para kaum muda tersebut kemudian bersatu dalam sebuah acara yakni kongres pemuda. Kongres pemuda pertama membahas tentang masalah persatuan sebagai agenda utama. Kongres pemuda yang kedua menghasilkan sebuah ikrar sumpah pemuda. Dengan ikrar tersebut maka Indonesia telah menjadi nama diri sebagai salah satu bangsa (baru) di atas bumi, yang ada bersama bangsa-bangsa lain di dunia ( Anhar Gonggong, 2008: 20).

Sebuah pertanyaan, siapakah pemuda itu? Apakah itu kaum muda yang berjenis kelamin laki-laki, karena ada pemuda yang merujuk pada kaum muda laki-laki dan pemudi yakni kaum muda yang merujuk pada jenis kelamin perempuan, begitu juga dengan putra dan putri. Menurut hemat saya, kata kaum muda atau generasi muda lebih netral sebab mencakup laki-laki dan perempuan. Menarik memang bahwa kesadaran nasional tidak hanya milik kaum muda laki-laki (pemuda). Wajah pergerakan nasional juga diwarnai dengan kiprah perempuan. Perempuan-perempuan Indonesia juga turut membangun kesadaran nasional. Para perempuan bergabung dalam organisasi dan pada tahun 1928 berhasil menggelar kongres pertama di Yogyakarta.

 

“Ikut Berjuang untuk mencapai

keselamatan tanah air dimasa datang.

Hanya itulah yang menjadi dasar hidupmu dan kelanjutan umurmu”.

(Mohammad Hatta, “Fajar Menjingsing”, 1944)

 

Apabila merujuk pada pidato Mohammad Hatta di lapangan Ikada 9 September 1944, mereka yang disebut generasi muda adalah sebagai “pahlawan dalam hatiku” ( Bambang Purwanto, 2012, makalah diseminarkan di UNY Yogyakarta). Pada masa itu telah semakin meruncing wacana tentang “Indonesia merdeka kelak di kemudian hari”. Dan bahkan Mohammad Hatta telah melontarkan pernyataannya sejak awal masuknya Jepang di Indonesia, yakni “bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan dari pada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali”. Merujuk padakata-kata Mohammad Hatta, maka para pemuda pada masa itu adalah orang-orang yang sadar betul dengan kekiniannya. Mereka menempatkan kesadaran akan kebangsaan dan kerakyatan dalam setiap langkahnya.

Tonggak sejarah masa berikutnya yang dipelopori kaum muda yakni masa masa menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Peristiwa Rengasdengklok menjadi bukti keberanian kaum muda. Penculikan Sukarno oleh golongan kaum muda (Sukarni, Sayuti Melik, Chaerul Saleh) agar Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia mampu mengubah tatanan politik yang berkecamuk pada masa tersebut. Hasil dari perjuangan tersebut adalah dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno – Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945.

Masa-masa tersebut perjuangan kaum muda menghadapi tantangan baik dari pihak internal maupun eksternal. Musuh internal karena sifat majemuk yang terdiri dari banyak suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda dan sejarah yang berbeda. Dengan sifatnya yang majemuk tentu memerlukan strategi dan pendekatan yang cerdas untuk membangun kesadaran berbangsa. Identitas kebangsaan Indonesia merupakan kesepakatan dari banyak suku bangsa yang ada di dalamnya. Dengan kata lain faktor kebangsaan Indonesia bersifat historis oleh karena yang mempersatukan bangsa Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, yakni akibat faktor luar, berupa penderitaan akibat penjajahan, penindasan, perjuangan kemerdekaan, dan tekad untuk kehidupan bersama. Faktor eksternal tentu saja dari pemerintah kolonial Belanda.

Secara teoritis pencarian identitas nasional yang dialami bangsa Indonesia sejak awal abad XX dapat dipandang sebagai upaya mentranformasikan bentuk nasionalisme dari bentuk nasionalisme kultural (cultural nationalism) ke dalam nasionalisme politik (political nationalism) (Haris, 2011:47).

 

Melanjutkan Perjuangan: Tantangan Kaum Muda

“generasi muda saat sekarang jangan hanya menjadi penikmat kemerdekaan”

(Anhar Gonggong, 2008: 22).

 

Kalimat yang ditulis oleh seorang sejarawan, Anhar Gonggong, tentunya bukan tanpa makna. Bahwa dari penggalan kalimat tersebut tersimpan harapan akan semangat yang perlu dibuktikan oleh para kaum muda dalam menghadapi tantangan zaman. Sudah barang tentu tantangan yang dihadapi kaum muda sekarang di era digital.

Perjuangan yang era kemerdekaan tentunya berbeda dengan perjuangan pada masa awal abad XX. Di alam kemerdekaan kaum muda Indonesia justru harus berjuang keras agar tatanan kehidupan bangsa Indonesia menjadi lebih kuat. Jangan sampai negara yang telah merdeka ini tetap gagal untuk mewujudkan mewujudkan tujuan kemerdekaan.

Tantangan yang dihadapi pada masa awal kemerdekaan adalah mempertahankannya dari rongrongan musuh yang menyebabkan perang senjata (fisik) dan juga perang diplomasi. Masa tersebut kembali kaum muda membela bangsanya. Periode itu kemudian juga melahirkan angkatan ’45 yang terdiri dari para kaum muda yang terjun dalam medan pertempuran sebagai pasukan tentara pelajar. Mereka mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa dan negaranya.

Setelah era mempertahankan kemerdekaan maka masalah dalam negeri segera menghadang Indonesia yang masih ‘bayi’. Gangguan ‘keamanan’ dalam negeri, masalah perekonomian dan politik kembali mencuat.

Era tahun 1960 an Indonesia mengalami masa ketegangan politik yang meruncing dalam peristiwa 30 September 1965. Sementara kondisi perekonomian rakyat cukup meresahkan, harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Situasi tersebut memberi stimulan pada kaum muda kali ini para mahasiswa yang bersama sama partai politik, organisasi pemuda, melakukan gerakan moral (moral force). Gerakan yang awalnya hanya bersifat lokal dikampus masing-masing kemudian membentuk suatu aliansi yang besar dengan terbentuknya organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Tiga tuntutan dari KAMI dilontarkan kepada pemerintah yaitu : Bubarkan PKI; Bubarkan Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga. Tiga tuntutan tersebut disebut TRITURA atauTri Tuntutan Rakyat. Gerakan moral yang dimunculkan para mahasiswa tersebut dibangun untuk menegakkan keadilan dan mengembalikan kebenaran (Usman, 1999: 150), namun pemerintah mencurigai gerakan dan kemudian sejumlah tokoh KAMI juga KAPPI ditangkap dan ditahan. Masa itu kemudian juga melahirkan sebuah generasi baru yaitu angkatan ’66. Angkatan itu di kemudian hari menjadi sebuah kekuatan penopang dari rezim yang berkuasa.

Peran yang dimainkan kaum muda apabila ditelisik dari waktu ke waktu, maka daftarnya akan cukup panjang. Di hari depan, untuk Indonesia masa depan, kaum muda tetap diharapkan tetap menempati tempatnya yang khas sebagai pelaku dan kekuatan menuju perubahan yang lebih baik. Masalah-masalah seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, korupsi, dan lainnya merupakan tantangan bangsa ini yang harus dihadapi dan di cari solusinya. Kembali mengutip tulisan Anhar Gonggong (2008: 22). “generasi muda saat sekarang jangan hanya menjadi penikmat kemerdekaan”. Selamat Berjuang.

PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2011. “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Perspektif Islam dan Ketahanan Budaya” dalam Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia sebuah Tantangan. Jakarta: LIPI dan Obor

Garraghan, Gilbert. J. 1940. A Guide to Historical Method. New York: Fordham University Press.

Gonggong, Anhar. 2008 “Peranan Pemuda Di Dalam Sejarah Perjuangan Bangsa”, Warta Sejarah, Vol.7.No. 11 Juni 2008.

Haris, Syamsuddin, 2011, “Nasionalisme Indonesia dan Keberagaman Budaya” dalam Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia sebuah Tantangan. Jakarta: LIPI dan Obor

Marta, A.G. dkk. 1984. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Kantor Menpora.

Muljana, Slamet, 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Jilid I dan II. Yogyakarta: LkiS

Purwanto, Bambang, 2012 “Belajar dari Mohammad Hatta: Nasionalisme Masa Lalu, Kebangsaan Masa Kini, dan Indonesia Masa Depan”, Makalah, diseminarkan di UNY Yogyakarta

Scherer, Savitri, 2012, Keselarahan dan Kejanggalan Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa awal Abad XX. Jakarta: Komunitas Bambu.

Usman, S. 1999, “Arah gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik ataukah Gerakan Moral” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol 3, No 2, November 1999.

Van Miert, Hans, 2003, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu.