Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan terhadap ibukota RI di Yogyakarta. Akhirnya Ibukota RI dapat dikuasai Belanda. Kedatangan Belanda tersebut ingin berkuasa kembali di Indonesia. Namun berkat persatuan antara TNI dan rakyat dalam serangan umum 1 Maret 1949, niat Belanda dapat di patahkan. Belanda dapat ditarik mundur dari ibukota dan Ibukota kembali kepangkuan Republik.
Adanya serangan tanggal 19 Desember 1948, Pak Dirman selaku Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia itu memberikan perintah kilat ketika berada di Istana Negara. Perintah kilat itu sebagai pemantik bermulanya strategi Perang Gerilya. TNI bersama laskar rakyat bahu-membahu menghimpun kekuatan di luar kota Yogyakarta. Dalam strategi perang gerilya ini peran rakyat tidak dapat diabaikan. Penyediaan logistik hingga penghimpunan informasi yang bersifat rahasia yang dilakukan pelajar sebagai spionase atau telik sandi.
Dalam acara Temu Tokoh yang dilaksanakan oleh Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dalam rangkaian acara Pameran Temporer Peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949, menghadirkan bapak Edy Sukamto pelaku sejarah yang pernah menjadi “Telik Sandi Cilik” masa Perang Kemerdekaan II. Eddy Soekamto, berusia 84 tahun, menuturkan kenangannya sebagai telik sandi cilik pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dihadapan siswa-siswi SD Keputran 2 dan mahasiswa Jurusan Sejarah UNY beliau menceritakan perjalannya pada saat menjalankan tugas sebagai Telik Sandi Cilik.
Edy Sukamto menuturkan, pada saat Agresi Belanda II semua sekolah diliburkan atas perintah dari Sultan HB IX. Edy Soekamto, pada saat itu usianya 13 tahun, masih berstatus sebagai pelajar SMP kelas 2 di Perguruan Tamansiswa. Namun usia muda bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa untuk Republik. Sukamto bergabung dalam kelompok belajar ysng direkrut untuk dijadikan telik sandi. Tugas telik sandi adalah memberikan informasi secara lisan dan berantai kepada TNI. Pelajar yang dijadikan Telik Sandi bukan hanya dari SMP Taman Siswa tetapi dari sekolah yang lain seperti SMP Muhammadiyah, SMP Pangudi Luhur. “Saya adalah telik sandi dari SWK (Sub-Wehrkreise) 101 di bawah Letnan Satu Amir Murtono. Menurut Edy Sukamto, Strategi Wehrkreise atau daerah perlawanan itu diadopsi dari strategi Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Fungsinya, mempertahankan sebuah wilayah dengan kekuatan militer.
Yogyakarta termasuk dalam wewenang Divisi III. Brigade X yang bertanggung jawab atas keamanan kawasan ini pun berubah menjadi Wehrkreise III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Wehrkreise III dibagi menjadi beberapa Sub-Wehrkreise, salah satunya Sub-Wehrkreise 101 yang bertugas mengonsolidasi penyediaan perbekalan di setiap kampung, membuka dapur, menghimpun relawan medis, dan berperan sebagai pemberi petunjuk sasaran SWK lainnya. Kesatuan ini dipimpin oleh Komandan Letnan Satu Marsoedi, yang daerah pertahannya meliputi dalam Kota Yogyakarta.
Senjata apa yang digunakan pada saat Serangan Umum 1 Maret Eyang Tanya Aji siswa SD Keputran II?. Kalau TNI menggunakan senjata api seperti pistol, senapan. Tetapi kalau rakyat ada menggunakan senjata bamboo runcing, pedang ata keris. Apakah senjata yang digunakan Eyang pada saat menjadi telik sandi tanya Ilham salah satu siswa SD Keputran II? “Kita telik sandi tidak dipersenjatai,” ujarnya. Tetapi mencari informasi penting untuk disampaikan kepada TNI. Cara penyampaiannya informasi dilakukan secara berantai. “Kalau langsung ya ketahuan kata eyang Edy. Setiap kesatuan yang terlibat dalam rencana Serangan Umum 1 Maret 1949, biasanya memiliki spionase.
Pelajar-pelajar itu mengawali pengabdiannya sebagai salah satu telik sandi. Kendati berusia belasan, mereka berdedikasi untuk selalu jujur dan dapat dipercaya. Penyerbuan pada tanggal 1 Maret 1949 itu menjadi bagian dari perjalanan menuju Indonesia berdaulat. Kendati pasukan gerilyawan hanya menguasai kota selama enam jam, kabar yang tersiar ke penjuru dunia telah menunjukkan bahwa TNI ini masih ada. (liputan: winarni)