Dusun Turunan Pada Masa Revolusi ( 1948-1949 ) Oleh Hisbaron Muryantoro (Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta)

A. Latar Belakang

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 belum final, Belanda kembali masuk Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada 21 Juni 1947 dan Agresi Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi Belanda II ini diarahkan dan dikonsentrasikan ke Yogyakarta, karena kota ini menjadi Ibukota Republik Indonesia. Agresi Belanda II ini sudah barang tentu membuat masyarakat kota Yogyakarta dan sekitarnya menjadi panik. Kepanikan tidak hanya terjadi di kalangan rakyat biasa saja, tetapi juga dikalangan pucuk pimpinan baik sipil maupun militer.

Ketika terjadi Agresi Belanda II para pucuk pimpinan sipil yang berhasil ditangkap pihak Belanda kemudian dibuang keluar Jawa. Bagi para pimpinan militer serangan itu menyadarkan mereka untuk tetap melakukan perlawanan. Para pimpinan militer dan pasukannya berhasil meninggalkan kota menuju ke pedesaan-pedesaan untuk melakukan gerilya. Di daerah pedesaan inilah para pemimpin militer dan pasukannya menyusun strategi untuk melawan tentara Belanda. Kawasan pedesaan dijadikan basis perjuangan dan perlawanan menghadapi Belanda. Sudah barang tentu langkah yang diambil para arsitek militer Indonesia itu sangatlah tepat dan cermat. Mengingat kawasan pedesaan mempunyai potensi yang cukup memadai untuk mendukung jalannya perjuangan.

Setelah kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 jatuh ke tangan Belanda seketika itu juga TNI meninggalkan kota dan melakukan gerilya semesta yang berbasis pedesaan. Kenyataan ini bisa dikatakan bahwa pertahanan dan ketahanan TNI sangat tergantung dari partisipasi rakyat pedesaan. Pada saat itu dengan sukarela dan spontan para petani menyediakan tempat dan makan bagi para pejuang. Bahwa mereka berusaha melindungi para gerilyawan apabila ada konvoi Belanda yang masuk ke wilayahnya. Salah satu dusun yang menjadi aktivitas perjuangan yaitu di Kelurahan Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, tepatnya di Dusun Turunan.

 

B.   Dusun Turunan Pada Masa Revolusi ( 1948-1949 )

Menurut informasi Dusun Turunan pada masa Revolusi (1948-1949) pernah digunakan sebagai tempat tinggal Bupati Klaten dan stafnya untuk menjalankan pemerintahan. Bupati Klaten Drg. Sudomo pernah tinggal di Dusun Turunan, Kelurahan Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Bupati Klaten ini menempati rumah Kepala Dusun atau Bayan Dusun Turunan yang pada waktu itu dijabat oleh Karsodimejo. Sudah barang tentu ada berbagai pertimbangan mengapa Dusun Turunan dipilih menjadi tempat melakukan aktivitas bupati dalam menjalankan kendali roda pemerintahannya. Salah satu faktor yaitu dilihat dari segi keamanan. Mengingat Kelurahan Japanan umumnya dan Dusun Turunan dipandang relatif lebih aman, karena letaknya yang jauh dari jalan besar Yogya-Solo.

Diperoleh informasi bahwa di rumah Karsodimejo selain Bupati Klaten juga tinggal Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten yang pada waktu itu dijabat oleh Dr. Suraji Tirtonegoro. Para pejabat Klaten itu menetap di rumah Karsodimejo kurang lebih selama enam hingga sepuluh bulan. Bupati Klaten Drg. Sudomo selama berada di Dusun Turunan dalam menjalankan tugasnya selalu menyamar sebagai petani. Masyarakat atau penduduk setempat tidak tahu bahwa rumah Bayan Karsodimejo dipakai sebagai aktivitas pemerintah Kabupaten Klaten. Terkecuali bagi keluarga Bayan Karsodimejo, bahwa yang ada ditengah-tengah mereka itu adalah seorang bupati. Namun keluarga Bayan Karsodimejo juga tidak tahu aktivitas apa saja yang dilakukan Drg. Sudomo sehari-hari.

Kebutuhan sehari-hari bupati dan stafnya dipenuhi oleh keluarga Bayan Karsodimejo. Menurut para informan selama berada di rumah itu para pejabat kabupaten selalu nrimo dengan hidupnya yang telah disediakan oleh keluarga besar Bayan Karsodimejo. Tidak ketinggalan pula para tetangganya turut menyumbang tenaga baik sebagai pemasak, penyedia kayu bakar bahkan bantuan bahan sayur mayur. Untuk kebutuhan beras selalu dicukupi oleh bayan tersebut. Bagi keluarga besar Bayan Karsodimejo selama rumahnya dipakai sebagai tempat tinggal ataupun aktivitas pemerintah Kabupaten Klaten merasa tidak terbebani. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan salah satu bentuk tolong-menolong terhadap sesama.

Perlu diketahui selama bupati beserta staf Kabupaten berada di Dusun Turunan pasukan Belanda belum pernah menginjakkan kakinya di dusun tersebut. Hal ini disebabkan adanya kewaspadaan penduduk guna menjaga kemungkinan buruk yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Kewaspadaan itu diwujudkan dengan cara membuat rintangan-rintangan dan galian-galian, sehingga akan mempersulit patroli pasukan Belanda yang akan memasuki wilayah tersebut. Jalan dari Pedan menuju ke Cawas dimana markas tentara Belanda berada dipenuhi dengan galian, sehingga jalan itu berlubang-lubang. Selain dibuat rintangan-rintangan ternyata pada waktu itu sungai Jengkang yang berada dekat dengan wilayah tersebut sedang mengalami banjir. Keadaan seperti itu justru dimanfaatkan oleh penduduk setempat dengan cara membobol bendungan sungai tersebut, sehingga luapan air menggenangi wilayah di sekitarnya. Tujuan pembobolan bendungan dimaksudkan untuk menghambat gerak pasukan Belanda yang akan masuk ke desanya.

Kenyataannya Kelurahan Japanan pada umumnya dan Dusun Turunan pada khususnya berada dalam kondisi aman. Dengan demikian Bupati Klaten beserta stafnya dapat menjalankan tugasnya di pengungsian dengan tenang. Disamping itu tentu rumah yang ditempati oleh Bupati Klaten itu sangat mendukung aktivitasnya. Kebetulan letak rumah milik Bayan Karsodimejo berada di tengah-tengah dusun yang dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk sekitar. Selain itu tentu tidak bisa diabaikan peran yang dilakukan oleh Bayan itu sangat mendukung segala bentuk jalannya perlawanan yang sedang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia yang cinta kemerdekaan.

Sebenarnya jika diperhatikan di Dusun Turunan, maka kepemimpinan masyarakat dapat dibedakan melalui fungsi dan peranan mereka. Kepemimpinan tersebut adalah :

(1). Pemimpin formal, yaitu kepala dukuh dan para aparat setempat yang ada di Kelurahan Japanan. Mereka merupakan penguasa yang bertugas melaksanakan keputusan serta mengurus berbagai kepentingan penduduk. Pedukuhan sebagai tempat kediaman yang tetap bagi masyarakat Jawa merupakan satu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah yang paling kecil. Dengan adanya perang dan ditempatinya Dusun Turunan oleh Bupati Drg. Sudomo, maka tugas seorang kepala dukuh (bayan) menjadi semakin berat sebab harus dapat menyelesaikan segala persoalan yang menyangkut kepentingan perjuangan.

(2).   Pemimpin informal, yaitu mereka yang tidak duduk dalam aparat pemerintahan desa, tetapi mempunyai pengaruh di masyarakat.

Kedudukan seorang dukuh atau bayan menjadi sangat penting dan berat oleh sebab itu, pada tanggal 22 Desember 1948 Panglima Tentara Teritorium Djawa (PTTD) mengumumkan diberlakukannya pemerintahan militer, maka dukuh (bayan) masuk dalam struktur pemerintahan militer. Instansi pemerintahan militer itu ialah :

  1. Panglima Besar Angkatan Perang.
  2. Panglima Tentara Teritorium Djawa.
  3. Gubernur Militer.
  4. Komando Militer Daerah.
  5. Komando Distrik Militer.
  6. Komando Onder Distrik Militer.
  7. Kader Desa dan
  8. Kader Dukuh.

Perangkat desa atau pamong desa masuk dalam struktur pemerintahan militer, karena mereka merupakan orang yang sangat dipercaya oleh rakyatnya. Para pamong desa itu merupakan figur yang mampu mengatur serta menyalurkan aspirasi perjuangan rakyat. Pamong desa itu merupakan pimpinan rakyat buat pertahanan rakyat. Itulah sebabnya, Drg. Sudomo selaku bupati Klaten dalam menjalankan pemerintahannya memilih tinggal di daerah pedesaan. Dari Dusun Turunan itu Drg. Sudomo menjalankan roda pemerintahannya dengan aman. Tepatnya di rumah Dukuh atau Bayan Karsodimejo.

 

  1. Penutup

Sebagaimana telah diuraikan dimuka bahwa Pedukuhan atau pedusunan merupakan pusat pemerintahan tingkat daerah yang paling kecil diharapkan mampu menggerakkan dan memobilisir penduduknya untuk kepentingan perjuangan. Melalui seorang kepala dusun inilah pemerintah berharap agar penduduk pedesaan berpartisipasi aktif dalam perjuangan. Perintah-perintah yang dilakukan oleh seorang kepala dusun tentu akan ditaati oleh penduduk. Bagi penduduk seorang kepala dusun merupakan sosok yang disegani dan dihormati. Dengan demikian, maka jalinan kerjasama antara sipil dan militer itu sangatlah tepat pada masa perjuangan. Kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan perjuangan akan dibantu sepenuhnya oleh kepala dusun dan warganya. Seperti Dusun Turunan dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan, tepatnya di rumah Bayan Karsodimejo. Dengan demikian tidak bisa diragukan lagi bahwa rumah Bayan Karsodimejo mengandung nilai-nilai historis dan nilai-nilai perjuangan. Hal itu ditunjukkan pada waktu perang kemerdekaan jalannya pemerintahan Kabupaten Klaten dikendalikan dari rumah Bayan Karsodimejo.

                                                                                           

DAFTAR PUSTAKA

A.H. Nasution, 1953, Pokok-Pokok Gerilya. Djakarta : Pembimbing.

Hisbaron Muryantoro, 1993/1994, Klaten Pada Saat Revolusi Tahun 1945-1949 dalam Laporan Penelitian Jarahnitra. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN Balai Pustaka

………………… 1871, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Djambatan

Mohammad Hatta, 1978, Mohammad Hatta Memoir. Jakarta : Tintamas

Suhartono (dkk), 2002, Yogyakarta Ibukota Republik Indonesia. Yogyakarta : Percetakan Kanisius

Tashadi (dkk), 1982, Peranan Desa dan Perjuangan Kemerdekaan : Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 1945-1949. Jakarta : Depdikbud.

Zainul Azizah, 2007, Laporan Peninjauan Permohonan Pendaftaran Bangunan sebagai BCB Rumah di Dusun Turunan, Desa Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten.