You are currently viewing Diorama Perebutan Percetakan Harian Sinar Matahari di Yogyakarta- Diorama II Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama Perebutan Percetakan Harian Sinar Matahari di Yogyakarta- Diorama II Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama II Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945  sampai dengan meletusnya Agresi Militer Belanda I tahun 1947. Salah satu adegan dome kedua pada Diorama II adalah Diorama adegan Perebutan percetakan Harian Sinar Matahari dibawah pimpinan Samawi dan Sumantoro Berlangsung di Sebelah selatan Hotel Garuda Jl. Malioboro Yogyakarta  tanggal pada 17 Agustus 1945.

Pada zaman kolonial Belanda, sekitar tahun 1930-an satu-satunya koran yang terbit di Yogyakarta berhuruf latin berbahasa Jawa adalah Sedya Tama. Direksi penerbitan koran tersebut adalah R. Roedjito dan dicetak oleh penerbit Mardi Moelja. Pimpinan redaksi dipercayakan pada Bramono (Alfonsius Soetarno Dwijosarojo). Ketika Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang segalanya kemudian dikuasainya, termasuk media komunikasi massa seperti surat kabar, majalah, kantor berita, radio, film, sandiwara dan sebagainya.

Semua surat kabar dan majalah yang tidak mendapat izin istimewa dilarang terbit. Pers dikenakan sensor preventif. Waktu itu badan yang mengawasi surat kabar – surat kabar yang terbit adalah  Shimbun Kai. Surat kabar baik pers Indonesia maupun Tionghoa, Melayu dan Belanda dihentikan penerbitannya.

Pada tahun 1942 masa pendudukan Jepang, Sendenbu (barisan propaganda Jepang) masih membiarkan Sedya Tama terbit tetapi dengan syarat harus menggunakan bahasa Indonesia.  Namun karena adanya banyak tekanan dari pemerintah Jepang akhirnya R. Roedjito segera menutupnya. Selanjutnya kantor yang  terletak di Jl. Malioboro itu (sekarang sebelah selatan Hotel Garuda) dirampok oleh Jepang. Kemudian dijadikan sebagai kantor penerbitan koran Jepang dengan nama Sinar Matahari.  Para pemuda Yogyakarta yang dimusuhi Belanda  waktu itu bekerja di harian Sinar Matahari. Waktu itu dipimpin oleh Raden Mas Gondhojuwono (ex interneer Digul).  Juga para pemuda lain seperti Bramono, Soemantoro dan Samawi.

Pada waktu itu (jaman pendudukan Jepang)  setiap berita yang diterima dari Jakarta sebelum disampaikan kepada Sinar Matahari  terlebih dahulu harus diperiksa oleh Badan Sensor. Saat itu pegawai Badan Sensor terdiri dari Madikin Wonohito, G. Nobels (bekas redaktur Yogya Bode) dan Sie. G. Nobels selain bekerja untuk Badan Sensor juga bertugas menyalin  berita-berita  serta tujuk rencana dari Sinar Matahari ke dalam bahasa Inggris untuk keperluan pembesar Jepang setempat.

Setelah berita Proklamasi 17 Agustus 1945 berhasil diterima oleh Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta pada siang hari sekitar pukul 12.00 WIB dari Kantor Berita Domei Pusat di Jakarta mendapat tanggapan positif dari kalangan pemuda pelajar Yogyakarta. Mereka tidak hanya berpangku tangan saja, tetapi aktif bergerak tanpa takut meski harus berhadapan dengan serdadu Jepang dengan sangkur terhunus.

Ketika terjadi aksi nasionalisasi gedung-gedung dan kantor-kantor yang dipergunakan oleh Jepang, gedung percetakan Harian Sinar Matahari di sebelah selatan Hotel Garuda Jl. Malioboro menjadi salah satu sasaran mereka. Dibawah pimpinan pejuang pers waktu itu yaitu Samawi dan  Sumantoro, dibantu oleh para pekerja Harian Sinar Matahari yang berjiwa nasionalis seperti Bramono, Moeljono, Soeprijo Djojosupadmo, Djoemadi, Boerhan, Moehammad Noer, Drijodipoero serta  para pemuda pelajar segera mengambil alih gedung percetakan tersebut bersama dengan peralatan yang ada. Aksi ini berjalan lancar tanpa pertumpahan darah. Pada waktu itu pula Sumarmadi juga berhasil mengambil alih Radio Jepang  dan berkumandanglah RRI yang pertama di Yogyakarta.

Setelah dikuasai oleh bangsa Indonesia, percetakan tersebut kemudian berkiprah untuk kempentingan bangsa dan negara. Antara lain seperti memuat berita proklamasi 17 Agustus 1945 dan teks UUD 1945 yang terbit tanggal 19 Agustus 1945. Memuat sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berisi menghimbau seluruh rakyat untuk rela berkorban demi kepentingan nusa dan bangsa yang dimuat pada harian tersebut tanggal 20 Agustus 1945.

Untuk mengantisipasi di saat suasana hubungan RI dengan Jepang sedang memanas, maka pada bulan September 1945 dengan bantuan Samawi, Sumantoro dan Bramono, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta segera menyegel Harian Sinar Matahari. Waktu itu Samawi dan Sumantoro berkedudukan sebagai anggota Pleno KNID Yogyakarta.

Karena kebutuhan rakyat akan informasi tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia dan dunia pada umumnya, maka muncul tekad Samawi dan teman-teman untuk menerbitkan koran baru. Tanggal 26 September 1945, segel Harian Sinar Matahari dibuka. Nama baru akhirnya diperoleh dari Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo (ketua KNID Yogyakarta), yaitu Kedaulatan Rakyat.

Keesokan harinya, hari Kamis Kliwon 27 September 1945 lahirlah harian Kedaulatan Rakyat ditengah kancah revolusi. Ketika Belanda mencoba menjajah Indonesia lagi, harian ini giat menyajikan berita-berita penting sehingga rakyat dapat menyimak situasi yang terjadi saat itu. Harian tersebut masih terbit hingga kini dan menjadi harian terkenal yang terbit di Yogyakarta yaitu Kedaulatan Rakyat.

Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta