Diorama II Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 sampai dengan meletusnya Agresi Militer Belanda I tahun 1947. Salah satu adegan dome keempat pada Diorama II adalah Diorama adegan Pesawat RAF (Royal Air Force) Sekutu melakukan terhadap Gedung RRI, Balai Mataram (Senisono) dan Gedung Sonobudoyo Yogyakarta Berlangsung di Balai Mataram (Senisono, sekarang) Jl. A. Yani Yogyakarta pada tanggal 25 dan 27 November 1945.
Senisono didirikan pada tahun 1818. Tanah yang dipakai untuk mendirikan bangunan yang berukuran cukup besar tersebut adalah tanah miliki Sultan. Jika ditaksir, harga bangunan waktu itu sekitar 2.800 gulden. Dalam perkembangannya bangunan mengalami beberapa kali pemugaran atau renovasi. Seperti renovasi yang terjadi pada tahun 1868, 1884, 1879, 1912, hingga tahun 1915. Kemudian pada tahun 1920 dalam pemugarannya dilengkapi dengan adanya schouwburg atau teater, tempat pertunjukan. Gedung Senisono memang merupakan bangunan yang cukup megah, besar dan luas pada zamannya.
Sejak awal dibangun, bangunan tersebut adalah milik sebuah perseroan yang menyediakan minuman (minuman keras) dan tempat ngobrol orang-orang Eropa. Karena menyediakan minuman keras, maka bangunan tersebut juga dikenal dengan Geneverhuis. Genever adalah salah satu jenis minuman keras yang berkembang pada waktu itu, sedangkan huis berarti rumah. Dalam perkembangannya gedung ini selalu dipakai untuk kegiatan sebuah club yang diberi nama Vereeniging. Karena kerapnya organisasi Vereeniging menggunakan gedung ini, maka gedung ini kemudian dikenal dengan nama Societeit de Vereeniging. Pada jaman Jepang gedung itu berubah nama menjadi Balai Mataram.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu yang diboncengi pasukan NICA mendarat di Jakarta. Selanjutnya di bawah pimpinan Jenderal Bethel tanggal 20 Oktober 1945 mendaratkan pasukannya di Semarang, kemudian menuju Ambarawa terus ke Magelang tanggal 26 Oktober 1945. Kontak senjata dengan Belanda mulai terjadi di Magelang ketika tentara Sekutu membebaskan secara sepihak para interneeran Belanda. Setelah terjadi perundingan antara Presiden Soekarno dan Jenderal Bethel, Sekutu mundur ke Ambarawa pada tanggal 21 November 1945. Pertempuran demi pertempuran makin sering terjadi di Ambarawa pada bulan November sampai dengan Desember 1945.
Untuk menghadapi pasukan Sekutu di Ambarawa, dari Yogyakarta dikirim batalyon gabungan dibawah pimpinan Letkol Umar Slamet dan Komandan Resimen II Letkol Palal. Kedua tokoh tersebut memegang tampuk pimpinan secara bergantian sebagai komandan sektor pertempuran. Batalyon gabungan ini terdiri dari Batalyon 10 (Mayor Suharto), Batalyon 8 (Mayor Sardjono), Batalyon 15 (Mayor Sukandar), Batalyon 20 (Mayor Pranoto Reksosamodro), Batalyon 24 (Mayor Ismulah) dan Batalyon 17 (Mayor Ngatidjo).
Di samping kekuatan tersebut pasukan lain yang juga dikirim ke medan pertempuran Ambarawa antara lain pasukan Polisi Istimewa (PI) Yogyakarta dibawah pimpinan Oni Sastoatmodjo, Laskar Tentara Rakyat Mataram dibawah pimpinan Bung Tardjo dan Laskar Tentara Rakyat Mataram Putri dibawah pimpinan Widayati. Masih ditambah lagi dengan Laskar Barisan Macan yang terdiri dari bekas narapidana yang dipersenjatai.
Selain mengirimkan pasukan bersenjata, Radio Republik Indoneia Yogyakarta, yang berada di Jl. Ngabean 1 (sekarang BNI 1946) ikut mengambil peranan penting dalam menyiarkan dan mengobarkan semangat perjuangan rakyat. Di samping itu terdapat pemancar gelap yang bernama Radio Pemberontak Mataram yang berada di Kampung Kadipaten yang mengudara tiap malam di bawah komando Bung Tardjo. Hal ini menyebabkan timbulnya kekhawatiran pihak Sekutu.
Oleh karena itu dengan dalih membungkam siaran kaum ektrimis, teroris tersebut tentara Sekutu dengan pesawat RAF (Royal Air Force) menjatuhkan bom di atas kota Yogyakarta dengan sasaran RRI di Jl. Ngabean 1. Tanggal 25 November 1945 bom mulai dijatuhkan dan mengenai sebagian bangunan Museum Sonobudoyo. Akibatnya atap bangunan runtuh dan sebagian koleksi hangus terbakar. Meski demikian siaran radio tersebut tetap mengudara sehingga menjadikan jengkel Sekutu. Untuk kedua kalinya bom dijatuhkan. Kali ini terjadi tanggal 27 November 1945, dan mengenai bagian depan Balai Mataram sehingga hancur rata dengan tanah.
Sehubungan dengan peristiwa itu, pada sore harinya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII meninjau lokasi. Setelah mempelajari segala sesuatunya maka segera mengirim telegram kepada Presiden Soekarno tentang peristiwa yang terjadi di Yogyakarta oleh ulah Sekutu serta memprotes keras dan segera diambil tindakan seperlunya. Hal serupa juga dilakukanoleh KNID Yogyakarta.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta