You are currently viewing Diorama Pemerintah Republik Indonesia Hijrah ke Yogyakarta-Diorama II Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama Pemerintah Republik Indonesia Hijrah ke Yogyakarta-Diorama II Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

 

Diorama II Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945  sampai dengan meletusnya Agresi Militer Belanda I tahun 1947. Salah satu adegan dome kesebelas pada Diorama II adalah adegan Presiden Soekarno dan para pembesar negara yang lain tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta ketika hijrah dari Jakarta yang  berlangsung di Stasiun Tugu Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946

Kedatangan pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies) pada bulan September 1945 ternyata diboncengi oleh NICA (Netherlands Indie Civil Administration) Belanda. Dalam usahanya untuk menjajah kembali Indonesia, NICA kemudian mengadakan provokasi.  Bahkan penculikan, pembunuhan dan penangkapan para pemuda pejuang makin sering  terjadi di kota-kota besar akibat ulah NICA. Sementera itu keadaan kota Jakarta makin tidak aman. Pembunuhan dan penculikan oleh tentara NICA sering terjadi. Adanya usaha pembununuhan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir tanggal 26 Desember 1945, juga terhadap Amir Sjarifudin tanggal 28 Desember 1945 menjadi indikasi keadaan Jakarta kurang menjamin keselamatan para pemimpin negara. Ditambah lagi dengan adanya pendaratan pasukan marinir Belanda yang mendarat di Tanjung Priuk tanggal 30 Desember 1945.

Oleh karena itu dalam sidangnya tanggal 3 Januari 1946, kabinet memutuskan untuk sementara memindahkan ibukota RI I dari Jakarta ke Yogyakarta.  Pemilihan Yogyakarta sebagai ibukota RI didasari dengan pertimbangan antara lain :

– Sikap tegas Sri Sultan HB IX sebagai orang nomor satu di Yogyakarta dalam mendukung berdirinya negera Republik Indonesia.

– Ketika itu, di  Yogyakarta Jiwa kemerdekaan rakyat sedang memuncak.

Pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan para pemimpin negara lainnya hijrah ke Yogyakarta dengan menggunakan Kereta Api. Kemudian diikuti oleh pindahnya instansi-instasi dan jawatan pemerintah yang lain. Ketika itu Sutan Sjahrir masih tetap di Jakarta. Hal itu untuk mempermudah jika sewaktu-waktu terjadi perundingan dengan Belanda.

Pada tanggal 4 Januari 1946, di Stasiun Tugu Yogyakarta banyak orang menyambut kedatangan Presiden dan Wakil Presiden beserta para ibu. Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII masuk gerbong dan menyambut kedua pemimpin negara terebut. Sebuah lokomotif seri C buatan Henschel (Jerman) tahun 1921, dijadikan loko penarik kereta kepresidenan. Loko itu yang  mengantar perjalanan Presiden Sukarno dari Jakarta ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946. Loko C2849 waktu itu, menarik dua gerbong kayu IL7 dan IL8. Kedua gerbong itu kini mengisi koleksi Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.

Selanjutnya para pemimpin negara diantar dengan mobil. Presiden Soekarno satu mobil dengan Sri Sultan HB IX. Wakil Presiden M. Hatta satu mobil dengan Sri Paku Alam VIII. Sedangkan Ibu Fatmawati Soekarno dan Ibu Rahmi Mohammad Hatta satu mobil. Rombongan segera menuju ke Gedung Negara. Sejak saat itu (4 Januari 1946) Yogyakarta menjadi ibukota RI. Sebagai rumah dinas, Presiden Soekarno menempati Gedung Agung. Sedang Wakil Presiden Mohammad Hatta menempati Gedung di Jl. Reksobayan 4 Yogyakarta (sekarang Makorem 072 Pamungkas Yogyakarta).

Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta