Diorama III Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak disepakatinya Perjanjian Renville tahun 1949 sampai dengan adanya pengakuan Kedaulatan RIS tahun 1949. Salah satu adegan pada dome pertama Diorama III adalah Diorama adegan Pasukan hijrah Siliwangi tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta diterima oleh Pangsar Soedirman serta para pemimpin negara yang lain Berlangsung di Stasiun Tugu Yogyakarta pada tanggal 11 Pebruari 1948.
Tindakan Belanda terhadap RI dalam agresi militernya yang pertama tanggal 21 Juli 1947, mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Antara lain Inggris, Amerika Serikat (AS), India dan Australia. Tetapi Inggris dan Amerika masih ragu-ragu karena mereka menganggap apa yang terjadi di Indonesia adalah semata-mata urusan Belanda. Sebaliknya India dan Australia segera mengirim resolusi bersama yang diajukan ke Dewan Keamanan (DK) PBB tanggal 30 Juli 1947. Karena resolusi yang diajukan India dan Australia itu dianggap terlalu keras, maka AS mengajukan usul kompromi yang akhirnya diterima oleh DK PBB tanggal 1 Agustus 1947. Usul kompromi tersebut berisi antara lain RI dan Belanda menghentikan permusuhan dan menyelesaikan perselisihan dan melaporkan kepada DK PBB segala kemajuan yang dicapai.
Pada tanggal 3 Agustus 1947 Belanda menerima resolusi DK PBB. Mulai tanggal 5 Agustus 1947 dilaksanakan penghentian tembak-menembak. Akan tetapi Belanda sering melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama. Ketika Sjahrir berkesempatan berbicara di sidang DK PBB, menyatakan bahwa untuk menyelesaikan pertikaian RI dan Belanda harus dibentuk suatu komisi pengawas yang bertugas menjamin terlaksananya resolusi DK PBB.
Setelah dilakukan pembicaraan intensif, DK PBB menerima usul AS untuk dibentuk suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa Baik). Setelah teks resmi pembentukan Komisi Jasa Baik diterima tanggal 27 Agustus 1947 maka pada tanggal 18 September 1947 RI memilih Australia (Richard Kirby), Belanda memilih Belgia (Paul Van Zeeland) dan RI dan Belanda memilih AS (Prof. Graham) sebagai negara ketiga. Mereka kemudian dikenal dengan KTN (Komisi Tiga Negara). Pada tanggal 29 Oktober 1947 mereka tiba di Yogyakarta.
Atas jasa KTN itu akhirnya Belanda dan RI dapat dipertemukan pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal USS Renville milik AL AS yang berlabuh di teluk Jakarta (Tanjung Priuk). Perundingan selanjutnya berjalan sangat alot dan berbelit-belit. Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 naskah persetujuan Renville ditandatangani. Pihak RI diwakili oleh PM. Amir Sjarifudin sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Terdiri dari dua naskah berisi persetujuan gencatan senjata dan dasar-dasar politik untuk menyelesaikan pertikaian secara damai. Sedang naskah ketiga ditandatangani tanggal 19 Januari 1948 tentang 6 pasal tambahan dari KTN yang berisi ketentuan bahwa kedaulatan Indonesia ditangan Belanda selama masa peralihan sampai kedaulatan diserahkan pada NIS (Negara Indonesia Serikat). Selama perundingan berjalan pihak Belanda selalu melakukan aksi sepihak. Antara lain pada tanggal 29 Agustus 1947 memproklamasikan garis demarkasi Van Mook sebagai garis batas antara daerah RI dan Belanda tanpa koordinasi dengan KTN dan RI. Garis ini nantinya akan dipakai sebagai garis status quo Renville.
Secara de facto dari Perjanjian Renville penegasan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia terdiri atas Pulau Jawa, Sumatra dan Madura oleh Belanda. Pulau Jawa hanya diakui sebagian. Pemerintah RI juga harus mengakui daerah-daerah atau kota-kota lain yang dikuasai oleh Belanda yang disebut kantong-kantong. Sehingga semua aset pemerintah yang tidak berada di daerah RI harus dipindahkan ke wilayah RI. Oleh karena keputusan politik kenegaraan harus dilaksanakan maka semua anggota pasukan TNI yang berada di Jawa Barat harus dipindahkan, karena menurut garis Van Mook daerah tersebut tidak termasuk daerah RI. Selanjutnya mereka memilih ke ibukota Yogyakarta, maka pasukan Siliwangi dari Jawa Barat melalui jalan darat dan laut melakukan hijrah ke Yogyakarta. Pada tanggal 11 Pebruari 1948 sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta. Pimpinan pasukan Mayor Mokoginto melapor kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman. Hadir juga menerima kedatangan pasukan hijrah ini para pemimpin negara antara lain Wakil Presiden Mohammad Hatta, Arudji Kartawinata dan ibu-ibu Kowani. Untuk selanjutnya pasukan hijrah tersebut segera di salurkan ke pos-pos yang ditentukan.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta