Diorama I Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan dome kesembilan pada Diorama I adalah Diorama Adegan adegan pasukan Jepang memasuki Kota Yogyakarta dari arah timur (Jl. Solo) kemudian mengarah ke selatan menuju Gedung Agung di Perempatan Tugu, Jetis, Yogyakarta pada tanggal 6 Maret 1942.
Pada tanggal 8 Desember 1941 pasukan Jepang telah menyerang Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour. Sehingga pecahlah Perang Pacifik yang sesungguhnya merupakan bagian dari Perang Dunia II yang telah berlangsung sejak tahun 1939 di Eropa. Selanjutnya Jepang terus menyerbu negara-negara Asia. Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintah Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang menyerang Sumatra yaitu Dumai, Pakan Baru dan Palembang. Terakhir Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu dan Banyuwangi pada bulan Maret 1942 di bawah pimpinan Jenderal Imamura. Dan dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Hingga akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Mereka diwakili oleh masing-masing Jenderal Ter Poorten Panglima Pasukan Hindia Belanda dan Panglima Tertinggi Tentara Jepang Jenderal Imamura. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia.
Sebelum terjadi Perjanjian Kalijati, pada tanggal 6 Maret 1942 Tentara Jepang sudah memasuki Kota Yogyakarta. Mereka datang dari Jalan Solo, berjalan ke barat dan setelah sampai ke perempatan Tugu kemudian belok ke selatan menuju Jl. Malioboro dan Gedung Gubernuran (Gedung Agung sekarang). Pasukan bergerak dengan menggunakan kendaraan truk, bersepeda dan bahkan ada yang jalan kaki. Untuk menarik simpati rakyat, khususnya rakyat Yogyakarta serdadu Jepang menyerukan “Nippon Indonesia Sama-sama”, mengumandangkan lagu Indonesia Raya, serta secara demonstratif membawa gambar Ratu Belanda dan ditusuk-tusuk dengan bayonet.
Sebelum tiba ke Indonesia, melalui Radio Tokyo, Jepang telah mengutarakan maksud kedatangannya bahwa akan membebaskan Bangsa Indonesia dari penjajahan Bangsa Barat. Lagu Indonesia Raya diperbolehkan berkumandang. Bahkan Merah Putihpun bebas berkibar. Hal itu untuk menarik simpati rakyat agar tidak menyusahkan usahanya dalam melumpuhkan Belanda di Indonesia. Propaganda Jepang Nampak berhasil untuk sementara. Rakyat seakan-akan merasa terbebas dari belenggu penjajahan Belanda, dan datanglah si Saudara Tua sebagai penolong. Dengan demikian Jepang dengan mudah tanpa perlawanan dalam menguasai Kota Yogyakarta.
Kedatangan Jepang di Yogyakarta telah mengubah jalannya sejarah. Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertindak tegas dan mantap. Di hadapan pembesar Jepang, Beliau berkata bahwa untuk segala hal yang berhubungan dengan masalah Kasultanan Yogyakarta hendaknya dibicarakan terlebih dahulu dengan Sultan. Hal ini dilakukan agar raja Yogyakarta tersebut dapat terus memimpin rakyatnya secara langsung. Karena sikap tegasnya tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikukuhkan kedudukannya sebagai penguasa dan Sultan Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1942 oleh Pembesar Tentara Jepang di Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang Daerah Kasultanan berstatus Kochi (Daerah istimewa). Demikian pula kasunanan Surakarta.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta