Diorama I Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan dome kesepuluh pada Diorama I adalah Diorama adegan pelaksanaan latihan kemiliteran bagi anak-anak sekolah dan pemuda pada masa pendudukan Jepang di Lapangan Bumijo, Jl. Tentara Pelajar (Depan Gedung SMU 17 I) pada Tahun 1942-1945.
Setelah secara resmi Jepang berkuasa di Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942 melalui Perjanjian Kalijati, segera dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 yang menyatakan bahwa Tentara Jepang melangsungkan pemerintahan militer. Wilayah bekas Hindia Belanda (Indonesia) dibagi dalam 3 daerah pemerintahan antara lain :
- Pemerintahan Militer Angkatan Darat berkedudukan di Jakarta untuk Jawa dan Madura.
- Pemerintahan Militer Angkatan Darat untuk Sumatra berkedudukan di Bukit Tinggi.
- Pemerintahan Militer Angkatan Laut berkedudukan di Makasar untuk daerah Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat.
Dengan sistem militer yang dilaksanakan oleh tentara pendudukan Jepang tersebut, di segala bidang diterapkan sistem militer. Termasuk anak-anak sekolah. Bagi mereka sebelum pelajaran dimulai terlebih dahulu diawali dengan senam “Taiso” kurang lebih setengah jam dengan iringan musik lewat siaran radio. Mereka juga mengikuti kebiasaan orang Jepang dengan kepala gundul memakai pet atau topi model serdadu Jepang dan ikut latihan baris berbaris atau perang-perangan. Di sekolah ditanamkan Semangat Kebaktian (Hokoseisyin) yang melipti tiga hal yaitu mengorbankan diri, memepertebal persaudaraan dan melaksanakan sesuatu dengan bukti.
Disamping itu Jepang juga mengadakan latihan bagi para pemuda di Seinen Kuurensyo (pusat latihan pemuda). Mereka dididik kurang lebih selama satu setengah bulan. Peserta latihan pemuda ini pada umumnya pemuda yang berasal dari berbagai macam kepanduan dan tujuannya adalah untuk menghidupkan semangat satria. Pada tahap pertama dilatih sejumlah 250 pemuda. Pendidikan pejuda ini dilaksanakan atas prakarsa H. Wakabeysyi Syimizu.
Pada tanggal 29 April 1943 tepat hari ulang tahun Kaisar Jepang, didirikanlah organisasi pemuda Seinendan dan Keibodan yang langsung berada di bawah Gunseikan. Organisasi Seinendan dan Keibodan diberi latihan kemiliteran menggunakan senjata tiruan. Persyaratan menjadi anggota Seinendan adalah pemuda-pemuda Asia yang berusia 15 sampai dengan 25 tahun. Sebagai pembina Seinendan adalah Naimbu Bunkyo-kyoku (Departemen Urusan dalam negeri bagian pengajaran, olah raga dan seinendan). Seinendan juga dibentuk di pabrik-pabrik, desa-desa maupun perusahan-perusahaan. Pada bulan Oktober 1944 dibentuk Josyi Seinendan (Seinendan Putri). Dalam peperangan seinendan bertugas di garis belakang.
Berbeda dengan Seinendan, Keibodan beranggotakan para pemuda yang berumur 20 sampai dengan 35 tahun. Tugasnya sebagai pembantu polisi, yaitu mengatur lalu lintas, menjaga keamanan desa dll. Sebagai pembina keibodan adalah Keimubu (Departemen Kepolisian). Keibodan ini masuk dalam organisasi kepolisian sehingga kepala polisi daerah harus bertanggung jawab atas keibodan yang ada di daerahnya. Pihak Jepang juga membuka kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit yang kemudian di kenal dengan Heiho.
Untuk melatih para perwira di kalangan bangsa Indonesia maka dibentuklah PETA (Pembela Tanah Air). Permohonan untuk mendirikan PETA disampaikan oleh tokoh nasionalis Gatot Mangkuprojo pada tanggal 7 September 1943. Tanggal 3 Oktober 1943 permohonan dikabulkan. Calon perwira PETA dilatih di Bogor. Pusat latihan PETA waktu itu bernama Jawa Boei Giyugun Kanbu Rensietai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Kelak para anggota PETA ini menjadi cikal bakal lahirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Ketika mulai terdesak dan mengalami kekalahan di beberapa medan pertempuran, Jepang merobah strategi pertahanannya dalam perang Pasifik yang banyak memerlukan dukungan rakyat. Pada tanggal 1 Nopember 1944 didirikan Badan Pelopor atau Suisyintai. Pada bulan Desember 1944 dibentuklah barisan berani mati atau Jibakutai. Di kalangan pelajar juga dibentuk korp pelajar yang mendapat latihan kurang lebih dua jam selama seminggu, disebut Gakukotai.
Demikianlah, dengan diikutsertakannya rakyat Indonesia dalam bidang kemiliteran itu, lalu timbul pengalaman yang sangat berguna bagi kebangkitan keprajuritan nasional dan sekaligus merupakan pengembangan di bidang pertahanan.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta