Diorama II Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 sampai dengan meletusnya Agresi Militer Belanda I tahun 1947. Salah satu adegan dome keenambelas pada Diorama II adalah adegan Para pekerja di pabrik senjata Demakijo Yogyakarta sedang bekerja membuat senjata pada masa revolusi yang Berlangsung di Demakijo, Yogyakarta pada tahun 1946
Pada masa awal kemerdekaan, ketika revolusi sedang berjalan persenjataan bagi para pejuang sangatlah kurang. Senjata-senjata yang dipergunakan adalah senjata rampasan yang jumlahnya jauh tidak seimbangan dengan personil yang ada. Bisa dibayangkan nasib bangsa Indonesia jika tentaranya yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan nyaris tanpa senjata.
Permasalahan ini akhirnya mengusik pimpinan TKR, untuk mengusahakan tersedianya laboratorium senjata dalam tubuh TKR. Selanjutnya Kapten Kavaleri Suryasumarno dengan mengatasnamakan KSU (Kepala Staf Umum) Letjend Oerip Soemohardjo mengirim surat kepada seorang ahli fisika bernama Herman Johannes yang waktu itu berada di Jakarta. Melalui Osman Abdullah seorang bekas guru teman Herman Johannes surat berhasil diselundupkan ke Jakarta dan sampai ke tujuan pada tanggal 4 November 1946. Setelah menerima surat tersebut Herman Johannes berangkat ke Yogyakarta dengan menumpang kereta api malam.
Sesampainya ke Yogyakarta, Herman Johannes diberi tugas untuk membangun sebuah laboratorium senjata, seperti yang pernah digelutinya di Jakarta. Sejak itulah maka Herman Johannes direkrut menjadi anggota militer dengan pangkat mayor (Pour, 1993 : 56-60). Sejak tanggal 5 November 1945, Herman Johannes menetap di Yogyakarta dan tinggal di Bausasran 169 Yogyakarta (Arsip UGM : 60). Sedangkan kantor resminya berada di Markas Tertinggi TKR dan Korem 072 (sekarang Museum Pusat TNI AD Dharmawiratama).
Untuk mendukung terselenggaranya laboratorium persenjataan, harus didukung dengan ketersediaan bahan baku dan peralatan serta tenaga kerja. Herman Johannes kemudian memerintahkan kepada para bekas asistennya sewaktu di Jakarta. Bahan baku dan berbagai literatur mulai dikumpulkan. Itulah langkah awal terwujudnya laboratorium persenjataan militer di Yogyakarta (Pour, 1993 : 60). Berdirinya laboratorium militer di Yogyakarta tidak lepas dari adanya dukungan dari alat-alat dan bahan dari laboratorium Sekolah Menengah Tinggi di Kotabaru, serta bahan-bahan dari pabrik senjata di Gunung Susuruh di sekitar Bandung Jawa Barat yang bersama-sama para pekerjanya diboyong ke Yogyakarta pada akhir tahun 1945. Pekerjaan itu dapat terlaksana dengan baik atas kerjasama yang bagus antara para petugas dari Markas Tertinggi TKR, beberapa mahasiswa, Kepala Stasiun Kereta Api Padalarang, Supriyadi, dan ribuan massa yang dikoordinir oleh Seno Sastroamidjojo atau lebih dikenal dengan Nang Seno (asisten bagian fisika Fakultas Kedokteran) yang merupakan staf Herman Johannes (Pour, 1993 : 55-65).
Botol-botol berisi asam, belerang pekat, asam sendawa pekat, alkohol dan air raksa yang merupakan bahan-bahan pokok dalam pembuatan bahan peledak segera disimpan dan diamankan di kompleks SMT (Sekolah Menengah Teknik) yaitu sekolah setingkat SMA sekarang di Kotabaru. Sementara itu perangkat keras lainnya seperti mesin-mesin pembuat detonator berikut sumbu-sumbu dan segala macam piranti lainnya ditempatkan di bekas bangunan Pabrik Gula Muja-muju, dan sebagian lagi ditempatkan di bangunan bekas pabrik gula Demakijo dan Medari. Dengan begitu laboratoruim persenjataan berjalan dari SMT Kotabaru yang didukung oleh pabrik-pabrik senjata yang berada di Muja-muju, Medari dan Demakijo (Pour, 1993 : 61). Untuk laboratorium knalkwik, bahan peledak dan granat tangan ditempatkan di SMT Kotabaru, pabrik detonator dan sumbu granat di Muja-muju, pabrik trekbom, mortir dan tommy-gun ditempatkan di Demakijo dan Medari (Arsip UGM, 1993 : 61).
Pabrik senjata Demakijo Yogyakarta menempati bangunan bekas pabrik gula pada masa penjajahan Belanda. Pabrik tersebut merupakan pindahan dari pabrik senjata yang berada di Bandung. Pabrik senjata ini hanya beroperasi selama 2 tahun sejak tahun 1946 sampai dengan 1948 karena adanya Agresi Militer Belanda II. Dalam pabrik tersebut bekerja lebih kurang 1.000 orang pekerja. Adapun jenis senjata yang dihasilkan antara lain pistol, granat gombyok, mortir maupun sten gun. Di pabrik tersebut juga dimodifikasi senjata-senjata rampasan yang mungkin sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Bahan-bahan yang dipergunakanpun juga sangat sederhana antara lain bekas tiang kabel telepon maupun tiang kabel listrik sebagai laras untuk meriam. Bekas pipa saluran air untuk laras senapan dan lain sebagainya.
Waktu itu pemimpin pabrik dijabat oleh Mayor Ario Damar dari SAD IV. Sedangkan pemimpin laboratorium dijabat oleh Letnan Barnas dibantu oleh Ir. H. Johanes. Hasil produksi dari pabrik tersebut sangat berguna dan berperan penting dalam perjuangan pada masa revolusi fisik.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta