You are currently viewing Diorama Agresi Militer Kedua Belanda – Diorama III Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama Agresi Militer Kedua Belanda – Diorama III Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama III Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak disepakatinya Perjanjian Renville tahun 1949 sampai dengan adanya pengakuan Kedaulatan RIS tahun 1949. Salah satu adegan Dome keempat pada Diorama III adalah Diorama Adegan Pasukan Belanda setelah berhasil menguasai lapang Maguwo (sekaran Adisucipto) mengadakan sapu bersih terhadap apa yang ditemui di sapanjang jalan menuju Kota Yogyakarta (Jalan Solo). Berlangsung   di Jl. Solo Yogyakarta  pada  tanggal  19 Desember 1948.

Kekacauan-kekacauan yang terjadi di dalam pemerintah Republik Indonesia yang diwarnai dengan pertentangan politik yang semakin tajam antara yang pro dan kontra terhadap persetujuan Renville, Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang, Pembentukan Negara Indonesia Serikat, ditambah dengan terjadinya pemberontakan PKI Madiun dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyusun kekuatan dalam usahanya ingin menjajah lagi Indonesia.

Perundingan-perundingan antara RI dan Belanda yang dilakukan dibawah pengawasan KTN (Komisi Tiga Negara) selalu mengalamai jalan buntu. Hal ini terjadi karena Belanda selalu mengajukan usul yang jelas tidak mungkin dapat diterima RI.  Pada tanggal 11 Desember 1948 delegasi Belanda yang dipimpin oleh Abdul Kadir Widjojoatmodjo, menyatakan tidak dapat melanjutkan perundingan lagi, itu berarti bahwa persetujuan Renville yang telah ditanda tangani tanggal 17  dan 19 Januari 1948 mengalami kegagalan.

Pada tanggal 17 Desember 1948 Belanda menyampaikan ultimatun melalui KTN yang meminta RI harus mengakui  sepenuhnya kedaulatan Belanda, dan ikut serta dalam pemerintah yang dirancang oleh Belanda. Jawaban RI harus sudah diterima pada tanggal 18 Desember 1948 jam 10.00 WIB. Tetapi jawaban pemerintah pusat RI di Yogyakarta tidak dapat segera dirumuskan dan disampaikan. Hal itu mengingat  batas waktu yang terlalu singkat, sehingga tidak sempat merundingkan dulu dengan BPKNIP dan partai-partai. Lagi pula waktu itu hubungan komunikasi Yogyakarta – Jakarta terputus. Pada tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30 Dr. Beel secara resmi melalui KTN menyampaikan pernyataan bahwa  terhitung sejak tanggal 19 Desember 1948 mulai pukul 00.00 WIB Belanda tidak mengakui lagi de facto  RI dan tidak terikat lagi dengan persetujuan Renville.

Pada pukul 06.00 WIB Belanda telah mulai dengan serangannya atas kota Yogyakarta dan sekitarnya. Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo dengan 5 buah pesawat pemburu disusul dengan 6 buah pesawat lainnya. Pasukan  Belanda terus menduduki pos-pos penting sekitar lapangan.  Para anggota yang bertugas jaga lapangan terbang Maguwo (sekarang Adisucipto) pimpinan Perwira Kadet Udara Kasmiran mencoba melakukan perlawanan. Perlawanan yang dipimpin oleh Kadet Udara Kasmiran berkekuatan lebih kurang 40 orang, berlangsung kurang lebih hampir satu jam (pukul 06.00 s.d. 07.00 WIB). Perwira Udara Kasmiran, Sersan Mayor Tanumiharjo, Kopral Tohir bersama anak buahnya gugur dalam mempertahankan lapangan terbang Maguwo. Pukul 08.00 WIB Maguwo telah jatuh ke tangan Belanda disusul mendaratnya Dakota pertama Belanda. Selang beberapa menit kemudian sudah mendarat 5 pesawat dengan mengangkut rombongan Resimen Speciale Troepen yang kemudian mempelopori serangan atas kota Yogyakarta.

Setelah tentara Belanda berhasil menduduki lapangan terbang Maguwo, pasukan Belanda Brigade T di bawah pimpinan Kolonel Van Langen bergerak menuju pusat kota Yogyakarta sambil menembak apa saja yang ditemui. Sementara pasukan Belanda bergerak menuju kota Yogyakarta, dalam keadaan darurat Presiden Soekarno  mengadakan sidang. Dalam sidang tersebut diputuskan  bahwa Presiden, Wakil Presiden dan beberapa menteri tetap tinggal di kota dengan kemungkinan ditawan, namun tetap dekat dengan KTN. Selanjutnya juga diputuskan bahwa Mr. Syaffrudin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Sumatra) dengan perantara radio diberi kuasa membentuk Pemerintah Darurat RI. Mandat semacam itu juga  diberikan kepada Dr. Sudarsono dan Mr. A.A. Maramis yang berada di New Delhi.  Dengan maksud apabila Mr. Syaffrudin Prawiranegara gagal membentuk pemerintahan darurat di Sumatra, keduanya dapat membentuk Excile Gouverment (Pemerintahan Pelarian).

Kurang lebih pukul 16.00 WIB  tentara Belanda telah berhasil menguasai seluruh kota Yogyakarta. Tempat-tempat penting seperti Istana Presiden (Gedung Agung), Benteng Vredeburg (Sekarang Museum Benteng Yogyakarta), dan Markas MBKD sudah jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, H. Agus Salim, KSAU Suryadi Suryadarma  ditawan Belanda dan selanjutnya diasingkan ke Bangka dan baru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949 sebagai pelaksanaan hasil persetujuan Roem Royen yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949.

Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta