Diorama I Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan dome kedelapan pada Diorama I adalah Diorama Adegan adegan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di dampingi Gubernur Lucian Adam saat penobatannya sebagai sultan di Kasultanan Yogyakarta yang berlangsung di Bangsal Manguntur Tangkil, Siti Hinggil Kraton Kasultanan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada masa kecil bernama Gusti Raden Mas (GRM) Dorojatun. Lahir tanggal 12 April 1912, hari Sabtu Pahing 25 Rabingulakir tahun Jimakir 1842 di Jl. Ngasem 13, Kampung Sompilan, Yogyakarta (sekarang Jl. Pakuningratan). Ayahnya bernama Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo. Ketika GRM Dorojatun berusia 3 tahun, ayahnya diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putera Narendra Ing Mataram. Sedang ibunya bernama Raden Ajeng (RA) Kustilah.
Jiwa GPH. Puruboyo (kelak Sri Sultan HB VIII) yang juga ayah dari GRM. Dorojatun adalah seorang bangsawan yang demokratis dan berjiwa modern. Sejak kecil putra-putranya dititipkan kepada keluarga Belanda tanpa seorang pengasuh khusus dari kasultanan, demikian pula terhadap GRM. Dorojatun. Sejak masuk taman kanak-kanak (Frobel School) di Bintaran Kidul sampai dengan lulus sarjana muda dan meraih ijazah Candidaat Indologie tahun 1937 di perguruan tinggi Leiden selalu dititipkan kepada keluarga Belanda.
Pada bulan September 1939 adanya penyerangan Jerman terhadap Polandia menandai terjadinya Perang Dunia II. Sehingga sikap netral yang semula dapat dipertahankan oleh Belanda akhirnya gagal, dan Jerman akan menduduki Belanda. Oleh karena itu Sri Sultan HB VIII segera mengirimkan telegram dan meminta putra-putranya segera kembali ke tanah air. Karya tulis yang tinggal mempertahankannya di dewan penguji akhirnya ditangguhkan dulu dan dibawa pulang ke tanah air. Dengan kapal Dempo, pada bulan September 1939 GRM. Dorojatun kembali ke tanah air dan baru tanggal 18 Oktober 1939 sampai di Tanjung Priuk. GRM. Dorojatun kemudian menuju ke Hotel Des Indes (sekarang Komplek Pertokoan Duta Merlin Jakarta), dan disanalah kemudian bertemu dengan ayahandanya. Dikamar tempat ayahandanya itulah, keris Joko Piturun langsung diberikan oleh ayahnya kepada GRM. Dorojatun. Peristiwa itu merupakan isyarat bahwa Sri Sultan HB VIII telah berkenan mengangkat GRM. Dorojatun sebagai putra mahkota yang kelak akan menggantikannya.
Tanggal 21 Oktober 1939 rombongan raja Yogyakarta berangkat ke Yogyakarta dengan kereta api satu hari (Eendaagse). Karena terlalu lelah Sri Sultan HB VIII jatuh sakit. Setibanya di Yogyakarta, langsung dibawa ke rumah sakit Onder De Bogen di Yap Boulevard (sekarng, Rumah Sakit Panti Rapih Jl. Cik Ditiro). Namun akhirnya jiwanya tak tertolong dan wafat pada tanggal 22 Oktober 1939. Pada tanggal 24 Oktober1939 kemudian dimakamkan di Imogiri.
Dengan wafatnya sultan terjadilah kekosongan kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta. Sehingga kekuasaan diambil alih oleh Gubernur Dr. Lucian Adams. Kemudian segera dibentuk panitia yang bertugas mengatur pemerintahan Kraton, yang waktu itu diketuai oleh GRM. Dorojatun. Pada tanggal 26 Oktober 1939, GRM. Dorojatun segera mengumpulkan seluruh kerabat kraton Kasultanan Yogyakarta. Dalam musyawarah itu tercapai kesepakatan bahwa GRM. Dorojatun disetujui sebagai pengganti Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sehingga GRM. Dorojatun merasa mantap menghadapi Gubernur Dr. Lucian Adam dalam perundingan penyusunan kontrak politik.
Perundingan penyusunan kontrak politik antara GRM. Dorojatun dengan Gubernur Dr. Lucien Adam berlangsung kurang lebih 4 bulan (Nopember 1939-Maret 1940). Pokok perundingan meliputi kurang lebih 17 bab yang terdiri dari 59 pasal yang harus dikaji secara mendalam. Hampir setiap pasal selalu terjadi beda pendapat. Namun tiga hal yang menemui jalan buntu yaitu masalah kedudukan dan fungsi pepatih dalem, masalah dewan penasehat, dan masalah prajurit kraton.
Dalam keadaan letih karena perundingan, di suatu senja pada akhir bulan Pebruari 1940 GRM. Dorojatun seperti mendapat petunjuk yang diyakininya berasal dari ayahnya. Petunjuk itu berisi bahwa GRM. Dorojatun agar menandatangani kontrak politik tersebut, karena tidak lama lagi Belanda akan segera meninggalkan Indonesia. Kemudian pada malam hari itu juga GRM. Dorojatun langsung menemui Gubernur Dr. Lucian Adams. Waktu itu tidak ada perdebatan, dan pertemuan hanya berlangsung kurang lebih 10 menit. Setelah bertemu dengan Gubernur Dr. Lucien Adam GRM. Dorojatun minta disiapkan kontrak politik, dan akan segera ditandatangani.Dua minggu lamanya kontrak politik disiapkan dan di tulis dalam bahasa Belanda serta disampingnya ditulis dengan huruf jawa dalam bahasa Jawa. Pada tanggal 12 Maret 1940, GRM. Dorojatun selaku Sultan Hamengku Buwono IX menandatangani kontrak politik di Tratag Prabayeksa (rumah kediaman resmi), di lingkungan Kraton Yogyakarta. Tetapi tanggal yang dicantumkan adalah tanggal 18 Maret 1940, tanggal dimana GRM. Dorojatun dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta.
Satu minggu setelah penandatanganan kontrak politik tersebut acara penobatan dilaksanakan yaitu pada hari Senin Pon tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871 dan bertepatan dengan tanggal 18 Maret 1940. Sebelumnya pada upacara-upacara resmi kenegaraan pemerintah Belanda tidak perlu mengundang pers nasional. Tetapi pada hari penobatan Sri Sultan HB IX ada dua wartawan Indonesia yang diundang dan duduk sejajar dengan para pejabat Belanda. Mereka adalah R. Roedjito dan Bramono dari majalah Pustaka Timur dan Mardi Mulyo.
Waktu itu secara resmi GRM. Dorojatun masih bersetatus pangeran, belum Putra Mahkota. Sehingga pada waktu itu dilaksanakan sekaligus dua upacara penobatan. Tepat jam 11.00 WIB GRM. Dorojatun dinobatkan sebagai Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Lima menit kemudian dinobatkan menjadi Sultan Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah kaping IX. Setelah upacara penobatan selesai lalu dibunyikan tembakan salvo dan dentuman meriam sebanyak 13 kali, dan dilagukan gendhing monggang dengan khidmad.
Setelah itu Sri Sultan HB IX duduk di sebelah kanan Gubernur Dr. Lucien Adam, karena statusnya sudah sebagai Sultan. Kemudian dalam pidatonya yang pertama sebagai sultan Yogyakarta segera disampaikan dengan bahasa Belanda yang terjemahan dalam bahasa Indonesianya antara lain berarti sebagai berikut :
“Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Kraton yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji semoga saya dapat bekerja untuk kepentingan Nusa dan Bangsa sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta