Politik Etis, sebagai awal lahirnya tokoh-tokoh Pergerakan Nasional

Multatuli dengan Bukunya Max havelaar

Bogor (21/5) Sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Belanda sejak masa VOC hingga masa pemerintahan Hindia Belanda ternyata tidak diterima baik oleh semua orang Belanda. Penderitaan rakyat Nusantara yang tiada tara telah menggugah hati nurani sekelompok orang-orang Belanda dengan melancarkan kritik. Pada tahun 1863 sistem tanam paksa dihapuskan dan Belanda mulai menerapkan sistem ekonomi liberal, dimana modal-modal swasta mulai diperkenankan masuk ke Nusantara. Politik ekonomi ini secara tidak langsung membuka ruang yang sangat besar bagi swasta untuk bersatu di usaha-usaha ekonomi di Hindia Belanda. Keadaan ini telah melahirkan perkebunan milik swasta yang semakin meluas, bahkan mencapai wilayah di Sumatera Timur. Namun pada pelaksanaannya, sistem ini ternyata tidak mengubah nasib rakyat. Sistem ekonomi ini sama-sama mengejar keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat pribumi. Sistem politik ekonomi tersebut menimbulkan kritik dari kaum sosialis di Belanda. Pemerintah kolonial dengan birokrasinya menjaga kepentingan-kepentingan modal sebaik-baiknya namun akibatnya adalah tekanan terhadap rakyat semakin kuat, pembelaan hak rakyat terhadap keganasan kapitalisme modern semakin lemah, dan kemerosotan kesejahteraan hidup semakin pesat.

Inilah awal mula munculnya ide untuk menciptakan sebuah kebijakan yang dinamakan Politik Etis. Politik Etis atau politik balas budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda memegang hutang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat Nusantara. Politik ini dipelopori oleh Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer yang membuka mata pemerintah kolonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib rakyat pribumi.

Politik etis bertendensi pada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat dan efisiensi. Program yang dilaksanakan dalam politik etis adalah tiga bidang yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi. Irigasi merupakan program pembangunan dan penyempurnaan sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini dilakukan dengan membuat waduk-waduk besar penampung air hujan untuk pertanian, dan melakukan perbaikan sanitasi untuk mengurangi penyakit. Selain itu dilakukan juga perbaikan sarana infrastruktur terutama jalan raya dan jalur kereta api sebagai media untuk pengangkutan komoditi hasil pertanian dan perkebunan. Edukasi merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumlah buta huruf yang berimplikasi baik untuk pemerintah Belanda sendiri yaitu mendapatkan tenaga kerja terdidik namun dengan gaji yang murah. Sementara itu emigrasi merupakan program pemerataan penduduk Pulau Jawa dan Madura yang telah padat dengan jumlah sekitar 14 juta jiwa pada tahun 1900. Kawasan perkebunan yang begitu luas tidak berbanding dengan kawasan pemukiman yang semakin sempit. Maka dari itu dibuatlah pemukiman baru di Pulau Sumatera dimana pemukiman tersebut pada awalnya adalah perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pegawai.

Dampak yang ditimbulkan oleh politik etis tentunya ada yang negatif dan positif namun yang perlu diketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan awal dari politik etis banyak yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu program yang berdampak positif dengan sifat jangka panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang pendidikan yang melahirkan golongan terpelajar dan terdidik yang di kemudian hari akan membuat pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya organisasi-organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam.