Buya Hamka, Sosok Suri Tauladan Bermulti Talenta

0
12417

Putra dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Siti Safiyah Binti Gelanggar, Buya Hamka adalah seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang dihormati dan disegani di kawasan Asia hingga Timur Tengah. Pengabdian dan pengorbanan Buya Hamka dalam membangun kesadaran umat Islam mendapat apresiasi dari Pemerintah berupa gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011.

Hamka sendiri merupakan akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Tak seperti kebanyakan para tokoh, pendidikan formal Buya ditempuh hanya sampai kelas dua SD Maninjau. Saat Buya berumur 10 tahun, pada 1906, ia mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah islam yang didirikan ayahnya sepulang dari Makkah.

Buya Hamka adalah seorang yang selalu haus akan ilmu. Beliau adalah sosok yang ingin terus belajar dan berkembang. Sejak sekolah itu, Buya mulai mendalami agama Islam dan Arab, serta menambah wawasan di surau dan masjid bersama sejumlah ulama terkemuka. Pada 1927, Buya Hamka memulai karirnya sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Buya pun mengabdi di Padang juga sebagai guru agama dan mendirikan Madrasah Mubalighin.

Tak hanya agama, Buya juga menguasai berbagai ilmu yakni filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Buya mempelajari semua itu secara otodidak, tanpa pendidikan khusus. Jurnalistik pun menjadi salah satu ketertarikannya. Sejak awal 1920-an, Buya menekuni ilmu jurnalistik dan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit di berbagai surat kabar.

Hamka juga menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya. Pada waktu bersamaan, Buya ikut mendirikan Muhammadiyah dan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Selang 5 tahun, Buya pindah ke Medan dan pada 1945 kembali ke kampung halaman. Pada saat itulah, bakat pengarang beliau mulai tumbuh.

Buku pertama yang berhasil diterbitkannya berjudul Khathibul Ummah dan disusul dengan sederet judul lainnya. Saat perang revolusi pun, Buya turut mengusir penjajah dengan cara mengobarkan semangat pejuang. Pada 1957, Hamka kembali ke dunia pendidikan dan menjadi dosen UI dan Universitas Muhammadiyah. Karirnya pun terus menanjak dan terpilih sebagai rektor Perguruan Tinggi Islam Indonesia.

Muhammadiyah mengabadikan namanya menjadi sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta dan Jakarta sebagai bentuk apresiasi perjuangan dan pengabdian Buya Hamka dalam bidang pendidikan. Berbagai kegiatan dalam rangka 100 tahun Buya Hamka pun kerapkali dilakukan, salah satunya peluncuran buku 100 tahun Buya Hamka.