Ngangsu Kawruh ke Situs Sangiran

0
612

Pageblug Korona benar-benar membuat kita letih, emosi, dan bingung. Terlebih lagi muncul cuitan yang sering dikutip warganet bahwa siapa yang kuat, dialah yang akan bertahan dan melanjutkan peradaban seperti zaman purba. Mendadak istilah “purba” lekas menerbangkan imajinasi historis saya pada Situs Sangiran. Area yang menyimpan warisan sejarah zaman prasejarah itu bercokol di Kabupaten Sragen.

Makin terbentang jauh jarak umur kita dengan obyek historis, maka makin tipis pula kedekatan emosional kita dengan obyek. Untuk itulah, Situs Sangiran terus bersolek dan berbenah demi mencuri perhatian publik, sekaligus merawat heritage. Situs yang dikukuhkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia no. C. 593 tahun 1996 dengan nama The Sangiran Early Man Site ini sulit ditandingi. Mutu sejarahnya di atas situs sejenis yang masuk dalam daftar warisan dunia seperti Sterkfontain (Afrika Selatan), Olduvai (Tanzania), Danau Wilandra (Australia), dan Zhoukoudian (China).

Sungguh suatu berkah Indonesia punya Situs Sangiran. Sebab, ia merupakan situs manusia purba yang bereputasi dunia. Situs ini menunjukkan berbagai aspek evolusi fisik dan budaya manusia dalam konteks natural, dalam suatu periode yang panjang. Menurut ahli prasejarah yang juga pernah menahkodai Situs Sangiran, Hary Widianto (2008), semenjak ditemukan oleh G.H.R von Koenigswald lewat temuan konsentrasi alat serpih di Desa Ngebung tahun 1934, situs tersebut telah menorehkan gambaran panjang perihal evolusi manusia selama lebih dari 1,4 juta tahun terakhir, diwakili oleh evolusi Homo erectus ke homo sapiens. Homo erectus ialah takson terpenting dalam sejarah kehidupan manusia, sebelum sampai tahapan Homo sapiens, manusia modern. Fosil-fosil Homo erectus ditemukan secara sporadic dan berkesinambungan di areal situs seluas 8 x 7 kilometer, sedari tahun 1936. Hingga kini, sudah ditemukan lebih dari 100 individu Homo erectus di situs legendaris itu, yang mewakili lebih dari 50 persen populasi Homo erectus di dunia.

Beberapa tahun lalu, saya menemani rombongan ratusan guru sejarah ngangsu kawruh ke Situs Sangiran. Para pendidik dari berbagai daerah di Indonesia difasilitasi Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencecap pengetahuan periode purba. Tak sedikit peserta yang terperangah mendapati kekayaan warisan masa lampau yang tersimpan di Sangiran. Terlebih lagi pihak pengelola Sangiran bikin terobosan guna mengembangkan museum supaya dilihat, dirasa dan dimiliki masyarakat luas. Didirikanlah sentra-sentra informasi secara representatif di kawasan situs, baik yang berupa museum dengan tampilan modern, eksplanatif, dan komprehensif sebagai sebuah visitor center, maupun dalam derajat yang lebih kecil lingkupnya, yakni pondok-pondok informasi yang tematis di beberapa titik kawasan.

Ada empat klaster informasi yang dipilih dalam pengembangan kawasan, dan saat itu sedang dalam proses penggarapan. Pertama, klaster Krikilan yang merupakan payung bagi klaster lainnya di kawasan Sangiran sekaligus muara infomasi berbagai situs manusia purba di Indonesia. Kedua, klaster Ngebung menyuguhkan informasi sejarah penemuan Situs Sangiran yang spektakuler oleh ilmuwan Koenigswald. Di sini akan direalisasikan pondok informasi yang terdiri atas indoor dan outdoor museum, audio visual, sampai kios cindera mata. Ketiga, klaster Bukuran yang didedikasikan secara khusus untuk informasi perihal fosil manusia burba selama ini, berikut cerita evolusi manusia secara singkat. Keempat, klaster Sedayu yang memuat kabar mengenai ragam hasil riset mutakhir. Kian menarik, pengunjung bisa turun ke lokasi penggalian dengan mengamati endapan sungai purba berusia 1,2 juta tahun, lengkap dengan stratigrafi dan temuan artefaknya. 

Terus terang, negara tak bakal rugi mengeluarkan duit sekarung untuk mengembangkan Sangiran sebagai situs tersohor sampai belahan dunia ini. Pasalnya, Situs Sangiran berikut beberapa titik museum yang dibangunnya menghimpun sejuta informasi manusia purba di Indonesia mewakili dimensi yang luas, yang tak ternilai bagi ilmu pengetahuan dan sejarah peradaban manusia di jagad. Suatu kenyataan yang menggembirakan bahwa situs tersebut bukan hanya lapangan kerja para pakar prasejarah, namun peneliti paleoantropologi, geolog, museolog, dan ahli pariwisata dapat ikut menceburkan diri di situ mengais pengetahuan atau sekadar mencari hiburan.

Kini, geliat pariwisata lesu akibat pageblug Korona. Turis dan pelancong domestik dilarang bepergian. Banyak obyek sejarah senyap laksana kuburan, tanpa kecuali Situs Sangiran. Kondisi yang tak mengenakkan itu bukan berarti kita mandeg belajar. Justru dalam keheningan ini, kita ikut memikirkan strategi mengangkat Situs Sangiran seraya menunggu pandemi mereda. Barangkali cerita kehebatan manusia purba dalam mengarungi zaman dan menaklukkan alam yang masih ganas perlu diudari. Tidak lupa pula promosi Sangiran rajin digulirkan lewat media online. Hal ini merespon kenyataan faktual bahwa wabah Covid-19 mengantarkan manusia sedunia menceburkan diri di jagad online, dan tetap bisa ngangsu kawruh perihal Sangiran. Inilah langkah nyata dan wujud apresiasi kita terhadap situs yang memesona mata dunia. Keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia memperoleh pengakuan Sangiran sebagai Warisan Dunia dari UNESCO semestinya tidak boleh sia-sia gara-gara virus Korona. Semangat inilah yang kelak dikisahkan kepada anak-cucu kita. (Heri Priyatmoko)