Sanging Serri

0
6010
Hamparan padi di Kabupaten Sidrap, salah satu kabupaten yang dikenal sebagai lumbung padi di Sulawesi Selatan

Salah satu mitologi masyarakat Bugis yang sampai sekarang masih dianggap sakral adalah tentang asal mula padi, yang berasal dari penjelmaan Sangiang Serri (Dewi Padi), anak Batara Guru. Mitos ini termuat di dalam naskah kuno masyarakat Bugis yaitu sureq Galigo.

Inti cerita Sangiang Serri sebenarnya hampir sama dengan kisah Dewi Padi yang terdapat di daerah lain seperti, Dewi Sri (Sanghyang Sri) di Jawa Tengah, Nyi Pohaci Sanghyang Asri pada masyarakat Sunda. Bahwa padi berasal dari penjelmaan seorang perempuan.

Asal usul Sangiang Serri termuat dalam Sureq Galigo episode Meong mpalo karallae‘ (kucing belang). Dalam naskah tersebut tertulis sebagai berikut:

Transliterasi

Na lilu keteng We Saunriwu; Na tellu keteng babuwanna; Nari puppunna cero datue; Na pitumpuleng pegammuwana babuwana; Najaji tau; Napitumpenni muwa jajinna; Sesu We Oddanriwu; Le na mapaddeng banampatinna; Nari sappareng alek karaja; Tenri suwiyye; Naritarowang gossali senri; Panrem malilu tatawengenna banampatinna; Natellum penni muwa matena; Nacabbengngiwi; Aruddaninna manurungnge ri jajianna; Le nassaliweng maka ri gossalinna sebbukatinna; Napoleiwi makkapareng ase; Ridiye engka maeja engka padi maridi; Engka mapute engka malotong; Engka magau; Ala engkaga lompok malowang; Tanete malampe bulu matanre; Tenna pennnoi ase ridiye; Kerem pulunna manurungnge; Tenre alena tuju nyilik I; Le makkappareng ase ridiye; Natijam muwa Batara Guru; Mampaeriwi le tarau we; Naolai menrek ri bottillangi; Natakkadapi sennek; Lolangeng ri Ruwa Lette; Arekga sia puwang kuwae; Le makkappareng; Engka maridi engka malotong; Engka maeja engka magauk; Ala engkaga tanete malampe; Lompok malowang tenna pennoiwi; Kuwa adanna PatotoE; Iya na ritu anak; Riyaseng Sangiasserri; Anakmu ritu mancaji ase.

Terjemahan

Maka hamillah We Saunriwu; Dan tiga bulan kehamilannya; Diupacarakanlah sang janin; Dan tujuh bulan persis kandungannya; Maka lahirlah; Dan hanya tujuh malam; Dan lahirlah We Oddanriwu; Lalu ia meninggal; Lalu dicarikan hutan belantara; Yang belum terjamah; Lalu dibuatkan pusaranya; Tempat peristirahatan terakhirnya; Dan tiga hari dari kematiannya; Dia menangis; Merindukan anaknya yang meninggal; Ia pun pergi ke pusara anaknya; Didapatinya penuh padi; Kuning ada yang merah dan ada kuning; Ada yang putih dan ada yang hitam; Ada yang biru; Seluruh lembah yang luas; Padang yang panjang, gunung yang tinggi; Dipenuhi dengan padi yang menguning; Berdiri bulu romanya Manurung; Gemetar badannya menyaksikan; Penuh dengan padi yang menguning; Berdirilah Batara Guru; Meraih pelangi; Dilaluinya naik ke petala langit; Dan sampailah dia; Di negeri Ruwa; Apa gerangan wahai paduka; Memenuhi tempat; Ada yang kuning ada yang hitam; Ada yang merah ada yang biru; Tidak ada padang yang panjang; Semua dipenuhinya; Adapun ucapan Dewa PatotoE; Itulah anak; Dinamai Sangiang Serri; Anakmu yang menjadi padi.

(Koleksi H. A. Abdullah Petta Torang, Bone)

Secara ringkas, kisah mitologi Sanging Serri menceritakan penjelmaan arwah bayi perempuan yang bernama We Oddanriwu menjadi berbagai jenis padi-padian, yang kemudian menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan. Bayi ini adalah anak Batara Guru dari istrinya We Saunriwu. Batara Guru, dalam bagian lain sureq Lagaligo dikisahkan sebagai anak sulung Dewa patotoE, penguasa dunia atas (bottinglangi), yang ditugaskan turun ke dunia tengah (bumi) yang saat itu masih tidak berpenghuni. Dengan kata lain, Batara guru adalah manusia pertama di bumi.

Adapun beberapa interpretasi yang dapat dikemukan dari kisah Sanging Serri antara lain; pertama, Batara Guru sebagai manusia pertama di bumi pada awalnya tidak mengenal jenis tanaman yang tiba-tiba saja ditemukannya itu, dan baru mengetahuinya setelah mendapat penjelasan dari ayahnya yaitu Dewa PatotoE. Kedua tokoh Sangiang Serri yang dilambangkan sebagai penjelmaan arwah We Oddanriwu tidak mustahil adalah pendatang yang berasal dari suatu suku bangsa di suatu negeri yang memang sudah mengenal sistem pertanian pangan. Apabila dugaan ini benar, maka istilah Bottillangi (petala langit) dalam sistem kosmogoni masyarakat Bugis itu hanya merupakan suatu simbol budaya yang melambangkan ketinggian budaya yang telah dicapai suku bangsa tertentu ketika itu.

Lepas dari benar tidaknya dugaan kemungkinan-kemungkinan interpretasi yang dilambangkan oleh tokoh Sangiang Serri tersebut, maka yang jelas bahwa warga masyarakat Bugis terutama yang bermata pencaharian sebagai petani, sejak lama memuja Sangiang Serri yang juga biasa disebut Datunna Ase (Ratu Padi). Dalam konteks ini sang tokoh Sangiang Serri dianggap sebagai personifikasi jiwa alam. Bertolak dari anggapan tersebut, maka masyarakat petani Bugis pun sebagian besar mengonsepsikan Sangiang Serri sebagai dewi yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran tersendiri.

Sumber: Pananrangi Hamid, Mitos Sangia Seri sebagai Sumber Informasi Nilai-nilai Luhur Budaya Bugis di Daerah Sulawesi Selatan. Bosara Nomor: 13 Tahun V/1999, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang